Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Usman Dan Harun, Dua Prajurit Indonesia Yang Digantung Di Singapura Karena Tuduhan Teroris

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 19 Oktober 2020, 10:00 WIB
Usman Dan Harun, Dua Prajurit Indonesia Yang Digantung Di Singapura Karena Tuduhan Teroris
Ledakan Bom Singapura 1965, yang menghancurkan gedung sekitar dan menewaskan tiga orang/Net
rmol news logo Ini adalah salah satu kisah sedih yang melegenda di antara pejuang Indonesia. 17 Oktober 1968, dua prajurit harus menghadapi hukuman gantung yang diberikan pemerintah Singapura. Menjadikan tanya tak berkesudahan, apakah benar Usman Janatin dan Harun Thohir prajurit andalan Indonesia adalah teroris?

Usman Janatin dan Harun Tohir dituduh meletakkan bom di MacDonald House (MDH), kawasan Orchard Road, Singapura. Keduanya adalah anggota satuan elite KKO (Korps Komando, yang kini disebut Korps Marinir) yang ditugaskan dalam misi rahasia untuk melancarkan aksi sabotase di Singapura pada 1965. 

Sore itu, 10 Maret 1965, sebuah ledakan hebat terjadi di dalam Gedung MacDonald House, Orchard Road, Singapura. Membuat semua dinding runtuh, mengguncang gedung-gedung di sekitarnya, juga merusakkan mobil-mobil yang terparkir di halaman, termasuk kantor Komisi Tinggi Australia (Australian High Commission) juga ikut hancur.

Tim penyelidik mengatakan, ledakan berasal dari bom yang merupakan bahan peledak nitrogliserin dengan bobot sekitar 9-11 kilogram. Berdasarkan penuturan saksi mata, bom meledak dari sebuah tas travel yang berada di lantai mezzanine gedung, seperti dikutip dari laman Singapore Infopedia.

Puluhan luka berat, tiga orang tewas, dan sejumlah gedung rusak parah. Saat kejadian, ratusan karyawan The Hongkong and Shanghai Bank sedang sibuk bertransaksi dengan nasabahnya.

Serangkaian penyelidikan berhasil mengungkap bahwa pelaku pemboman adalah dua anggota KKO, Usman Janatin dan Harun Tohir. Kedua tentara tanah air tersebut ditangkap di perairan, saat hendak melarikan diri dari Singapura, tiga hari kemudian setelah insiden berdarah itu. Mereka pun ditahan.

Kembali ke belakang, pada 1962 Indonesia sedang terlibat konfrontasi dengan Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu, yang kemudian bernama Malaysia setelah resmi dideklarasikan pada 16 September 1963.

Dalam buku 'The Indonesia Reader: History, Culture, Politics' yang ditulis Hellwig dan Tagliacozzo tahun 2009, Presiden Republik Indonesia Sukarno, tidak senang melihat tingkah Federasi Malaya yang berambisi mencaplok Sabah, Sarawak, bahkan Brunei Darussalam, yang terletak di Pulau Kalimantan bagian utara, berdampingan persis dengan wilayah NKRI.

Upaya pembentukan negara Malaysia dengan mengincar sebagian wilayah Kalimantan, adalah bentuk baru imperialisme yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia. Di mata Sukarno, Federasi Malaya hanyalah negara boneka-nya Inggris.

Sukarno kemudian menyerukan gerakan 'Ganyang Malaysia'. Artinya, Usman Janatin dan Harun Tohir sebagai anggota satuan elite KKO akan memainkan peran yang sangat penting. Keduanya masuk dalam misi rahasia dalam operasi militer Komando Mandala Siaga setelah mengajukan diri sebagai sukarelawan.

Operasi militer itu dipimpin oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara Omar Dhani yang ditunjuk langsung oleh Sukarno. TNI saat itu membutuhkan 3 sukarelawan. Selain Usman Janatin, ada pula Harun Thohir dan Gani bin Arup.

Tanggal 8 Maret 1965, ketiga sukarelawan tersebut diberikan misi penting, yakni melakukan aksi sabotase di Singapura. Singapura saat itu menjadi bagian dari Federasi Malaysia dan merupakan salah satu titik terpenting yang harus dilumpuhkan.

Usman, Harun, dan Gani sempat melarikan diri. Namun, akhirnya Usman dan Harun tertangkap tiga hari setelah insiden tersebut, sementara Gani berhasil lolos dan kembali ke Indonesia.

Usman dan Harun pun diajukan ke pengadilan dan divonis hukuman mati.

Pada saat yang sama, di dalam negeri, pemerintahan Indonesia sedang terguncang. Sukarno sedang dalam masa tertekan pasca Gerakan 30 September.

Dalam sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi Singapura 4 Oktober 1964, Usman dan Harun membanah tuduhan telah melanggar control area, melakukan pembunuhan, serta menempatkan alat peledak dan menyalakannya.

Usman dan Harun menolak dakwaan tersebut dengan beralasan bahwa aksi tersebut bukanlah kemauan mereka tetapi karena tugas yang diemban dan harus dilakukan karena dalam situasi perang. Keduanya meminta agar mereka diperlakukan sebagai tawanan perang. Bukan teroris. Namun, pengadilan Singapura menolak.

Tanggal 15 Oktober 1965, pemerintah Indonesia mengirimkan utusan ke Singapura untuk menyelamatkan nasib Usman dan Harun. Namun, usaha tersebut gagal. Berbagai upaya pendekatan pun tidak berhasil. Bahkan pengajukan permohonan grasi kepada Presiden Singapura saat itu, Yusuf bin Ishak, juga gagal.

Yang menyedihkan, Usman dan Harun juga tidak diijinkan bertemu dengan keluarga sebelum hukuman mati dilaksanakan.

Pagi yang kelam penuh air mata di tanggal 17 Oktober 1968. Pukul 06.00 waktu Singapura, Usman dan Harun dihukum gantung di Penjara Changi. Siang harinya, jenazah keduanya dipulangkan ke tanah air dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada hari itu juga.

Duka mendalam menyelimuti tanah air Indonesia. Ratusan ribu pelayat mengiringi pemakaman Usman dan Harun.

Di mata Singapura, Usman dan Harun dikenal sebagai teroris. Tapi bagi Indonesia sebaliknya, Usman dan Harun merupakan pahlawan. Keduanya menunaikan tugas di bawah perintah Presiden Sukarno, menentang penggabungan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam satu Malaysia.

Ketika proses hukuman gantung berjalan, Kedutaan Besar (Kedubes) Singapura di Menteng, Jakarta, dirusak massa dengan menggunakan bambu runcing.

Usman Jannatin bin H. Muhammad Ali, kelahiran Dukuh Tawangsari, dan Harun Tohir bin Mandar, kelahiran Pulau Bawean, adalah dua prajurit yang dikenang atas keberaniannya. Keduanya dianugerahi tanda kehormatan Bintang Sakti dan gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah.

Nama Usman-Harun kemudian diabadikan sebagai nama Kapal Perang Republik Indonesia yang diluncurkan pada Juni 2001.
Nama Usman dan Harun juga dijadikan nama jalan. Jalan Prapatan (Kwitang) yang berada persis di depan Markas Komando diubah menjadi Jalan Prajurit KKO Usman dan Harun.

Perubahan nama jalan itu diresmikan dalam suatu upacara militer pada 19 Febuari 2016, yang dipimpin langsung oleh Wagub DKI Jakarta saat itu, Djarot Saiful Hidayat.

"Perubahan nama tersebut berlandasan hukum dan perizinan, sesuai Surat Keputusan Gubernur 758/2013, tertangal 13 Mei 2013 yang menetapkan Nama Jalan Prajurit KKO Usman dan Harun mengantikan nama Jalan Prapatan," kata Djarot ketika itu. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA