Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bagian II

Hari-hari Terakhir PD II di Pasifik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/republikmerdeka-id-1'>REPUBLIKMERDEKA.ID</a>
LAPORAN: REPUBLIKMERDEKA.ID
  • Rabu, 30 September 2020, 21:14 WIB
Hari-hari Terakhir PD II di Pasifik
Tentara Amerika berkumpul di jalanan Paris untuk merayakan penyerahan Jepang/Repro
rmol news logo Invasi Jepang ke wilayah Asia Pasifik demi memenuhi ambisinya menjadi “Matahari Asia” akhirnya pupus. Jepang takluk tanpa syarat kepada sekutu 14 Agustus 1945. Kekalahan itu menandai berakhirnya perang dunia kedua di Asia Pasifik.

Proyek Manhattan

Konferensi Potsdam berlangsung pada 16 Juli sampai 2 Agustus 1945. Perjanjian ini dihadiri Presiden Amerika Serikat Harry S Truman, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet Iosif Stalin dan Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill kemudian dilanjutkan Clement Richard Attlee.

Saat itu, Truman mendapat berita keberhasilan percobaan Trinity (bom atom) pada awal konferensi dan menyampaikan informasi itu kepada delegasi Inggris. Percobaan bom atom itu dikenal dengan nama Proyek Manhattan, sebuah proyek riset sangat rahasia pengembang bom atom yang diusulkan Albert Einsten dan Leo Szilard pada tahun 1939 kepada Presiden AS masa itu, Franklin D Roosevelt.

Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J Robert Oppenheimer sebagai direktur pengarah bidang ilmiah. Bom atom pertama sukses diledakkan dalam percobaan 16 Juli 1945. Keberhasilan itu membuat AS mulai mempertimbangkan untuk menggunakannya terhadap Jepang.

Groves membentuk komite untuk menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka memilih 18 kota-kota di Jepang. Urutan paling atas adalah Kyoto, Hiroshima, Yokohama, Kokura, dan Niigata.

Pada akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam segi budaya dan sejarah.

Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi AS mempertimbangkan kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet.

Prioritas teratas AS adalah mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Sekutu. Kedua hal tersebut mungkin dapat dibantu dengan adanya campur tangan Uni Soviet, namun kemungkinan harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar yang dijanjikan di Yalta, dan mungkin Jepang akan terbagi dua seperti Jerman.

Dalam pertemuan dengan Stalin, Truman memutuskan untuk memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya.

Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, dia tidak terkejut.

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan untuk Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas arti kapitulasi Jepang bagi kedudukan Kaisar Jepang dan bagi Hirohito secara pribadi.

AS dan Inggris saling bertentangan mengenai butir terakhir. AS ingin menghapus posisi kaisar dan kemungkinan mengadilinya sebagai penjahat perang. Sebaliknya, Inggris justru ingin mempertahankan posisi kaisar Hirohito tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak selesai.

Deklarasi Potsdam dikeluarkan pada 26 Juli 1945 oleh Presiden AS Harry S Truman, PM Inggris Winston Churchill, dan Presiden sekaligus Panglima Tertinggi Republik Tiongkok Chiang Kai-shek. Setelah berunding di Potsdam, Jerman, ketiga pemimpin Sekutu itu tiba pada kesimpulan bahwa Jepang harus diberi kesempatan untuk mengakhiri perang.

Dalam deklarasi itu, sekutu menyatakan, keinginan Jepang untuk menaklukkan dunia harus dilenyapkan agar tercipta orde baru yang cinta damai, aman, dan berkeadilan.

Pemerintah Jepang harus memberikan jalan bagi kebebasan dan demokrasi. Kebebasan untuk mengemukakan pendapat, beragama, dan berpikir harus ditegakkan seperti halnya penghormatan atas hak-hak asasi manusia.

Yang terpenting, Sekutu mengimbau pemerintah Jepang untuk menyerah tanpa syarat. Jika Jepang menolak, artinya akan terjadi kerusakan total dalam waktu segera.

Keesokan harinya, pada 27 Juli 1945, Pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tetapi Menlu Togo membujuk kabinet untuk tidak melakukan penolakan hingga dia mendapat reaksi dari Uni Soviet.

Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak isi Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan sebagai selebaran udara di atas Jepang.

Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki bertemu dengan pers, dan memberi pernyataan, “Saya menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo.”

Mengenai Deklarasi Potsdam, Pemerintah Jepang tidak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. “Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak akan melakukan apa-apa kecuali menanggungnya hingga akhir untuk mendatangkan akhir perang yang sukses,” kata Suzuki.

Selanjutnya pada 30 Juli 1945, Duta Besar Jepang untuk Moskwa Sato menulis, Stalin kemungkinan sedang berbicara dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. "Tidak ada alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita ingin mencegah partisipasi Rusia dalam perang," kata Sato.

Sebab bila perang tidak segera selesai, Uni Soviet masih punya cukup waktu untuk memindahkan pasukan mereka ke medan perang Pasifik, merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan kemungkinan Hokkaido. Invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido.

Kemudian 2 Agustus 1945, Menlu Jepang Togo menulis surat kepada Sato, "Sulit bagi Anda untuk mewujudkan hal itu terbatas waktu kita untuk berlanjut ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit untuk memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus”.

Pada Senin pagi,6 Agustus 1945, Presiden AS Harry S Truman mengumumkan pengeboman Hiroshima. Pesawat pengebom B-29 Enola Gay yang diterbangkan Kolonel Paul Tibbets menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima, sebelah barat daya Pulau Honshu.

Sepanjang hari itu berbagai laporan yang membingungkan sampai di Tokyo bahwa Hiroshima telah menjadi korban serangan udara yang meratakan kota dengan ledakan dahsyat dan kilatan yang membutakan.

Tidak lama kemudian Jepang menerima siaran radio Presiden AS Truman yang mengumumkan penggunaan bom atom untuk pertama kali. Pengumuman itu disertai ancaman bahwa Sekutu siap untuk memusnahkan setiap usaha produktif yang dimiliki Jepang di atas permukaan tanah di setiap kota.

Pada awalnya, sebagian orang tidak percaya AS telah membuat bom atom. Kepala Staf Umum Angkatan Laut Laksamana Soemu Toyoda mengatakan, bila memang benar AS sudah membuat sebuah bom, mereka sekarang sudah tidak punya lagi.

Pakar strategi Amerika Serikat yang menanti reaksi seperti Toyoda, merencanakan untuk menjatuhkan bom atom kedua tidak lama setelah bom atom pertama untuk meyakinkan Jepang bahwa Amerika Serikat punya banyak persediaan.

Tokyo menerima laporan terinci tentang skala kehancuran yang tidak diduga sebelumnya di Hiroshima. Namun dua hari telah lewat sebelum pemerintah mengadakan pertemuan untuk menimbang-nimbang situasi yang sudah berubah.

Selang beberapa hari kemudiam, pukul 04.00 tanggal 9 Agustus 1945, Tokyo menerima berita bahwa Uni Soviet telah melanggar Pakta Netralitas, Soviet menyatakan perang terhadap Jepang dan mulai melancarkan invasi ke Manchuria.

Serangan bom atom Hiroshima dan invasi Soviet langsung mengubah sikap PM Suzuki dan Menlu Togo Shigenori secara drastis. Keduanya pun sepakat pemerintah harus segera mengakhiri perang.

Namun, pemimpin senior Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menanggapi pengeboman Hiroshima dan invasi Soviet secara tenang, dan sangat meremehkan skala serangan tersebut. Bahkan mereka memulai persiapan untuk memberlakukan darurat militer dengan dukungan Menteri Perang Korechika Anami dengan maksud menghentikan siapa pun yang mencoba berdamai.

Menyerah Tanpa Syarat

Melihat kondisi yang terjadi, Kaisar Hirohito memerintahkan orang kepercayaannya yang juga Penjaga Cap Pribadi Kaisar, Koichi Kido untuk mengendalikan situasi karena Uni Soviet sudah menyatakan perang dan hari itu telah memulai peperangan terhadap Jepang.

Akhirnya Dewan Penasihat Militer Jepang bertemu pada pukul 10.30. PM Jepang Suzuki yang baru tiba dari pertemuan dengan Kaisar Hirohito berkata bahwa melanjutkan perang sudah tidak mungkin.

Menlu Jepang Togo Shigenori mengatakan, Jepang dapat menerima syarat-syarat Deklarasi Postdam, tapi perlu jaminan mengenai posisi Kaisar. Menteri Angkatan Laut Yonai berkata, mereka harus membuat beberapa proposal diplomatik. Tak ada lagi kesempatan yang lebih baik.

Di tengah-tengah rapat, tidak lama setelah pukul 11.00 datang berita Nagasaki di pesisir barat Kyushu telah dijatuhi bom atom kedua ("Fat Man") oleh AS.

Hingga rapat berakhir, pendapat enam anggota Dewan Penasihat Militer terbelah menjadi 3 lawan 3. PM Suzuki, Menlu Togo, dan Admiral Yonai memilih usulan Togo untuk menambah satu syarat tambahan di Deklarasi Potsdam.

Sebaliknya Jenderal Anami, Umezu, dan Laksamana Toyoda bersikeras untuk menambah tiga syarat-syarat lebih lanjut yang merevisi Potsdam. Yakni, Jepang mengurusi pelucutan diri sendiri, Jepang mengurusi semua penjahat perang Jepang, dan tidak boleh ada pendudukan atas Jepang.

Setelah pengeboman atom Nagasaki, Presiden AS Harry S Truman menyatakan, Pemerintahan Britania, China, dan Amerika Serikat telah memberikan cukup peringatan kepada Jepang mengenai apa yang tersedia untuk mereka.

“Kami akan terus menggunakannya sampai kita benar-benar menghancurkan kemampuan Jepang dalam berperang. Hanya kapitulasi (penyerahan) Jepang yang akan menghentikannya,” kata Truman.

Menangggapi hal tersebut, Pemerintah Jepang menggelar rapat kabinet lengkap pada pukul 14.30 tanggal 9 Agutus 1945. Rapat kabinet lengkap dilangsungkan mulai pukul 14.30 tanggal 9 Agustus 1945. Sebagian besar waktu rapat dihabiskan untuk memperdebatkan soal kapitulasi. Seperti halnya Dewan Penasihat Militer, pendapat kabinet terpecah dua. Sikap Menlu Togo ataupun sikap Menteri Perang Korechika Anami masing-masing tidak mendapat dukungan mayoritas.

Anami mengatakan kepada menteri kabinet yang lain bahwa, sewaktu disiksa, seorang pilot B-29 Amerika Serikat yang tertangkap mengatakan kepada para interogator bahwa Amerika Serikat memiliki 100 bom atom dan Tokyo serta Kyoto akan dijatuhi bom "dalam beberapa hari berikut".

Pada kenyataannya, bom atom ketiga Amerika Serikat akan siap untuk dipakai sekitar 19 Agustus, dan bom atom keempat pada bulan September 1945. Bom atom ketiga kemungkinan akan dijatuhkan di Tokyo.

Rapat kabinet ditunda pada pukul 17.30 tanpa ada konsensus. Rapat kedua berlangsung dari pukul 18.00 hingga 22.00 juga berakhir tanpa konsensus. Setelah rapat kedua selesai, PM Suzuki dan Menlu Togo bertemu Kaisar Hirohito, dan Suzuki mengusulkan rapat kekaisaran darurat yang dimulai sesaat sebelum tengah malam pada malam 9-10 Agustus.

Suzuki mengajukan proposal empat syarat Anami sebagai konsensus yang diambil Dewan Penasihat Militer. Anggota dewan yang lainnya ikut bersuara, seperti halnya Ketua Penasihat Kaisar Hiranuma Kiichiro yang menjelaskan ketidakmampuan Jepang untuk mempertahankan diri sendiri. Juga menceritakan masalah dalam negeri seperti kekurangan bahan makanan. Kabinet berdebat, namun tidak menghasilkan konsensus.

Pada akhirnya, sekitar pukul 02.00 (10 Agustus 1945), Suzuki lalu bertanya kepada Kaisar Hirohito memintanya untuk memilih di antara dua sikap.

“Saya telah berpikir serius tentang situasi sekarang di tanah air dan luar negeri, serta telah berkesimpulan bahwa meneruskan perang hanya dapat berarti penghancuran bangsa dan perpanjangan pertumpahan darah dan kekejaman di dunia. Saya tidak tahan melihat rakyat tak berdosa menderita lebih lama lagi,” kata Kaisar Hirohito.

“Saya menelan air mata dan memberikan persetujuan untuk usulan tersebut dan menerima proklamasi Sekutu berdasarkan garis besar yang dikemukakan Menteri Luar Negeri,” kata Hirohito lagi.

Setelah Kaisar meninggalkan ruangan, PM Suzuki mendesak kabinet untuk menerima keinginan Kaisar dan berhasil. Dini hari 10 Agustus 1945, Kementerian Luar Negeri mengirimkan telegram ke Sekutu, melalui Departemen Politik Federal Swiss dan khususnya Max Grassli mengumumkan bahwa Jepang menerima Deklarasi Potsdam tetapi tidak akan menerima syarat-syarat apa pun yang akan "merugikan hak prerogatif" kaisar.

Hal tersebut berarti tidak adanya perubahan dalam bentuk pemerintahan di Jepang, bahwa Kaisar Jepang tetap dalam posisinya memegang kekuasaan sebenarnya di dalam pemerintahan.

Selang dua hari berikutnya, 12 Agustus 1945, Sekutu memberikan jawaban yang ditulis oleh James F Byrnes dan disetujui oleh pemerintah Inggris, China, dan Uni Soviet, walaupun Uni Soviet setuju dengan rasa enggan.

Sekutu mengirimkan balasan (lewat Departemen Urusan Politik Swiss) atas penerimaan Jepang terhadap Deklarasi Potsdam pada 12 Agustus 1945. Mengenai status kaisar, dicantumkan, mulai dari saat kapitulasi, kekuasaan kaisar dan Pemerintah Jepang untuk mengatur negara akan tunduk kepada Komandan Tertinggi Sekutu yang akan mengambil langkah-langkah yang menurutnya layak sesuai dengan syarat-syarat kapitulasi yang berlaku.

Bentuk akhir pemerintahan Jepang akan, sesuai dengan Deklarasi Potsdam, akan didirikan oleh keinginan rakyat Jepang yang diungkapkan secara bebas.

Dalam usaha menghindari pihak Jepang mendapat kesan Sekutu telah mengabaikan usaha-usaha perdamaian dan meneruskan pengeboman, Presiden AS Harry S Truman kemudian memerintahkan penghentian pengeboman.

Dewan Penasihat Militer dan kabinet Jepang menghabiskan sepanjang hari 13 Agustus berdebat mengenai jawaban mereka atas tanggapan Sekutu, namun hasilnya masih buntu.

Sementara itu, Sekutu makin bertambah ragu-ragu menunggu jawaban Jepang. Pihak Jepang telah diinstruksikan untuk menjawab dalam teks polos, tetapi ternyata menjawab dalam pesan tersandi.

Peningkatan lalu lintas komunikasi diplomatik dan militer juga dideteksi oleh Sekutu yang mengartikannya sebagai bukti Jepang sedang menyiapkan sebuah "serangan banzai habis-habisan".

Presiden Truman memerintahkan dilanjutkannya serangan udara terhadap Jepang dalam intensitas maksimum. ehingga bisa meyakinkan pejabat-pejabat Jepang bahwa Sekutu sungguh-sungguh dan serius dalam membuat mereka menerima usulan damai tanpa ditunda.

Armada Ketiga Amerika Serikat mulai menembakkan meriam-meriamnya ke pantai Jepang. Dalam serangan udara terbesar sepanjang sejarah Perang Pasifik, Amerika Serikat mengerahkan lebih dari 400 pengebom B-29 untuk menyerang Jepang sepanjang hari pada 14 Agustus 1945, dan menambahnya lagi dengan 300 pesawat pengebom pada malam itu.

Total 1.014 pesawat dikerahkan dan semuanya kembali dengan selamat. Dalam misi pengeboman terpanjang dalam sejarah perang, B-29 dari Skuadrom Bombardemen 315 terbang 3.800 mil untuk menghancurkan pengilangan Nippon Oil Company di Tsuchizaki yang berada di ujung utara Honshu.

Pengilangan minyak tersebut merupakan satu-satunya pengilangan minyak Jepang yang masih beroperasi di Jepang dan menghasilkan 67% dari kebutuhan minyak Jepang.

Selain itu pesawat sekutu juga menyebarkan selebaran yang dijatuhkan di Jepang setelah pengeboman atom Hiroshima. Atas saran pakar operasi psikologis Amerika Serikat, pesawat-pesawat B-29 diberangkatkan pada 13 Agustus untuk menjatuhkan selebaran-selebaran di atas Jepang, menjelaskan rakyat Jepang tentang tawaran untuk menyerah dan sikap Sekutu.

Selebaran-selebaran ini berdampak drastis terhadap proses pengambilan keputusan Jepang. Pada dini hari 14 Agustus, PM Suzuki, orang kepercayaan kaisar Kido, dan Kaisar Hirohito menyadari bahwa hari itu akan berakhir dengan diterimanya syarat-syarat Amerika Serikat atau sebuah kudeta militer.

Kaisar bertemu dengan perwira angkatan darat dan angkatan laut paling senior. Seusai konferensi, Kementerian Luar Negeri Jepang mengirimkan perintah-perintah ke kedutaan di Swiss dan Swedia untuk menerima syarat-syarat kapitulasi yang ditentukan Sekutu. Pesan-pesan ini ditangkap dan diterima di Washington pada pukul 02.49 tanggal 14 Agustus 1945.

Naskah Perintah Kekaisaran selesai pada pukul 19.00, ditulis oleh ahli kaligrafi resmi istana, dan dibawa ke menteri kabinet untuk ditandatangani. Sekitar pukul 23.00, Kaisar Hirohito dengan bantuan seorang awak rekaman NHK membuat sebuah rekaman gramafon berisi pembacaan pidato naskah Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi.

Rekaman tersebut diberikan kepada pengurus rumah tangga istana Yoshihiro Tokugawa yang menyembunyikannya dalam tempat penyimpanan di kantor sekretaris Permaisuri Kōjun.

Tepat pukul 12.00 tengah hari Waktu Standar Jepang tanggal 15 Agustus 1945 diudarakan rekaman pidato Kaisar Jepang kepada rakyat yang berisi Perintah Kekaisaran mengenai Penghentian Perang. Sebagian di antara isinya:

Walaupun selama tahun empat tahun semua telah menunjukkan yang terbaik--kekuatan angkatan laut dan angkatan darat yang telah bertempur dengan gagah berani, ketekunan dan kegigihan banyak pegawai negeri kami, dan pengabdian setia seratus rakyat kami, situasi perang berkembang tidak selalu ke arah keuntungan Jepang, sementara situasi umum dunia tidak menguntungkan kepentingan kita.

Musuh kita telah mulai memakai sebuah bom baru yang kejam, membunuh dan melukai banyak orang tidak berdosa, kekuatannya dalam menimbulkan kerusakan, sungguh, tak terkira. Selain itu, bila kita terus berperang, tidak hanya akan berakhir dengan kemusnahan bangsa Jepang namun juga akan membawa kepunahan total peradaban manusia.

Bila memang sudah demikian, bagaimana kita akan menyelamatkan berpuluh-puluh juta rakyat kami, atau menebusnya di depan arwah suci para leluhur kaisar? Ini adalah alasan mengapa kami telah menerima syarat-syarat Deklarasi Bersama.

Bila dipikirkan, selanjutnya penderitaan yang akan dialami kekaisaran, pastinya akan sangat luar biasa. Kami mengetahui ketulusan hati Anda, rakyat sekalian.

Namun, ke mana pun tuntutan waktu dan nasib akan membawa kami, dengan menahan apa yang tak tertahankan, dan menderita penderitaan yang tak terperikan, kami menginginkan kedamaian abadi.

Kualitas rekaman yang rendah, ditambah dialek bahasa Jepang kuno yang dipakai Kaisar dalam naskah, membuat rekaman ini sangat sulit dimengerti oleh sebagian besar pendengar waktu itu.

Pada tengah hari 15 Agustus 1945, siaran radio Jepang yang mengumumkan penyerahan Jepang juga diterima di Jakarta. Salah satu tokoh pergerakan perjuangan yang mendengar kabar itu adalah Sutan Sjahrir.

Pada 17 Agustus 1945, Perdana Menteri Suzuki digantikan oleh paman Kaisar, Pangeran Higashikuni Naruhiko. Pergantian ini untuk mencegah kudeta atau usaha pembunuhan Kaisar Hirohito. Mamoru Shigemitsu menggantikan Togo sebagai menteri luar negeri.

Sementara itu, tentara Jepang masih bertempur melawan tentara Soviet dan juga tentara China, dan sulit mengatur soal gencatan senjata dan penyerahan mereka.

Pertempuran udara terakhir oleh penyerang Jepang melawan pengebom pengintai Amerika berlangsung pada 18 Agustus 1945. Uni Soviet terus menyerang hingga awal September dan berhasil merebut Kepulauan Kuril.

Saat itu, Uni Soviet memiliki rencana untuk menduduki Hokkaido. Namun tidak seperti pendudukan Soviet di Jerman Timur dan Korea Utara, rencana ini batal berkat ditentang Presiden AS Harry S Truman.

Upacara resmi kapitulasi berlangsung pada 2 September 1945 ketika wakil-wakil dari Kekaisaran Jepang menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang di Teluk Tokyo di atas USS Missouri. Menlu Jepang Shigemitsu membubuhkan tanda tangan sebagai wakil pemerintah sipil, sementara Jenderal Umezu membubuhkan tanda tangan sebagai wakil militer Jepang.

Selain 14 Agustus dan 15 Agustus, tanggal 2 September 1945 juga dirayakan sebagai Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day).

Di Jepang, tanggal 15 Agustus diperingati sebagai Hari Peringatan Berakhirnya Perang (Shuusen-kinenbi) dengan nama resmi "Hari Nasional Berkabung untuk Korban Tewas dalam Perang dan Berdoa untuk Perdamaian".

Di Korea, 15 Agustus diperingati sebagai Gwangbokjeol, dan Australia memperingati Hari Kemenangan di Pasifik (V-P Day).

Setelah Jepang menandatangani dokumen kapitulasi, berbagai upacara kapitulasi lainnya berlangsung di berbagai wilayah taklukan Jepang di Pasifik. Tentara Jepang di Asia Tenggara menyerah pada 12 September 1945 di Singapura.

Perang antara Amerika Serikat dan Jepang secara resmi berakhir ketika Perjanjian San Francisco mulai berlaku pada tanggal 28 April 1952. Sedangkan Jepang dan Uni Soviet secara resmi berdamai 4 tahun kemudian, dimana mereka menandatangani Deklarasi Bersama Soviet-Jepang 1956 yang menandai berakhirnya Perang Dunia II. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA