Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kudeta Pertama Yang Dimaafkan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/republikmerdeka-id-5'>REPUBLIKMERDEKA.ID</a>
OLEH: REPUBLIKMERDEKA.ID
  • Senin, 31 Agustus 2020, 13:02 WIB
Kudeta Pertama Yang Dimaafkan
Tan Malaka/Repro
rmol news logo Percobaan kudeta 3 Juli 1946, buntut dari perbedaan sikap tentang strategi perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamirkan. Peristiwa itu tercatat sebagai kudeta pertama dalam sejarah Republik Indonesia.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Pada tahun-tahun awal Republik Indonesia berdiri, para tokoh pejuang bangsa sempat berada dalam posisi terbelah. Keterbelahan itu bersumber dari cara pandang mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamirkan.

Indonesia memang telah memproklamasikan kemerdekaan. Namun faktanya, Belanda dan sekutunya belum enyah dari Ibu Pertiwi. Perbedaan strategi perjuangan dalam mengusir penjajah itu justru berkembang menjadi sengketa terbuka.

MC Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since C.1200 menggambarkan situasi Indonesia tahun 1946 itu tidak menentu. Terutama setelah Belanda kembali mencoba peruntungannya untuk menjajah Indonesia. Sejumlah daerah dibuat bergolak karenanya.

Ada dua arus utama yang mengemuka. Kelompok yang memilih politik diplomasi dan kelompok yang memilih jalan perang dan angkat senjata.

Arus pertama adalah kelompok yang mengutamakan politik diplomasi. Kelompok ini dikomandoi Sutan Sjahrir yang saat itu memimpin kabinet dan menjabat sebagai Perdana Menteri.

Pria 35 tahun dengan perawakan kecil ini dijuluki Bung Kecil oleh teman-temannya. Meski bertubuh kecil, Sjahrir dikenal sebagai diplomat kawakan yang memimpin diplomasi internasional Indonesia saat itu.

Sjahrir berpendirian, hanya dengan diplomasi Indonesia bisa mengalahkan Belanda dan Sekutu dalam mempertahankan kedaulatan negara. Pasalnya, Indonesia baru merdeka dan belum punya modal cukup untuk berdiri sendiri.

“Dialog atau perundingan adalah strategi mempertahankan kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang baru merdeka belum terlalu kuat untuk melawan Sekutu dan Belanda," kata Perdana Menteri Sjahrir (35 tahun) seperti tertuang dalam buku Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia yang ditulis Rudolf Mrazek, terbitan Yayasan Obor Indonesia, tahun 1996.

Langkah Sjahrir itu itu didukung oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta seluruh punggawa kabinetnya.

Akan tetapi, di sisi berseberangan, ada kelompok yang memandang politik diplomasi sebagai melemahkan semangat juang. Negosiasi dan kompromi membuat progresnya kemerdekaan berjalan lamban. Jalan diplomasi membuat Indonesia terlalu banyak mengalah dengan Belanda.

Pandangan ini diusung Tan Malaka dan kelompoknya. Pria bernama asli Ibrahim Datuk Sutan Malaka itu, meyakini perjuangan kemerdekaan tidak akan mencapai hasil maksimal dengan diplomasi. Perjuangan harus dilakukan dengan kekuatan fisik. Angkat senjata dan berperang.

“Diplomasi tidak akan menghasilkan kemerdekaan seratus persen. Perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan seratus persen dari Belanda dan Sekutu, tanpa itu nonsense," ujar Tan Malaka, dalam buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia" yang ditulis oleh Hary A Poeze, terbitan Yayasan Obor Indonesia, tahun 2009.

Seiring waktu, perbedaan cara pandang itu tidak berhenti dan bahkan semakin mengeras. Tak hanya 'perang' pernyataan tertulis dan lisan saja. Perbedaan itu berkembang menjadi sengketa terbuka.

Menggalang dukungan dengan tokoh-tokoh yang sepandangan dengannya, Tan Malaka mempelopori pendirian organisasi massa Persatuan Perjuangan. Tujuan organisasi ini menciptakan persatuan di antara organisasi-organisasi yang ada untuk mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia.

Saat didirikan di Purwokerto, Jawa Tengah, pada awal tahun 1946, Persatuan Perjuangan berhasil menghimpun 141 organisasi politik, laskar, dan partai politik yang tidak puas dengan lambannya pencapaian hasil diplomasi yang dilakukan pemerintah yang dikomandoi PM Sutan Sjahrir.

Deklarasi itu dihadiri wakil dari Partai Boeroeh Indonesia, Masyumi, Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia. Juga perkumpulan lain seperti pucuk pimpinan Serikat Rakyat Indonesia, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Gerakan Rakyat Indonesia, Persatuan Wanita Republik Indonesia, Partai Revolusioner Indonesia, Pesindo, KRIS, Hizbullah.
 
“Kita tidak suka berunding dengan siapa saja sebelum kemerdekaan tercapai 100% dan sebelum musuh meninggalkan pantai dan lautan kita dengan beres. Jangan kira kalau rakyat tidak mengerti diplomasi. Kita tidak suka berunding selama musuh masih di dalam negeri kita. Selama masih ada 1 kapal musuh, kita harus terus berontak,” demikian pernyataan Tan Malaka, dikutip Harian Merdeka, 11 Januari 1946.

Tidak berapa lama setelah deklarasi pendirian, Persatuan Perjuangan menggelar kongres di Solo, pada 15-16 Januari 1946.

Dalam kongres itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat pula hadir menyatakan dukungannya terhadap upaya merdeka penuh yang digalang Tan Malaka.

“Lebih baik kita dibom atom daripada merdeka kurang dari 100 persen!” kata Soedirman kala itu.

Kongres tersebut menghasilkan tuntutan politik yang dinamakan “Minimum Program.” Isi tuntutan itu antara lain; Berunding dengan tujuan pengakuan kemerdekaan 100 persen; Pemerintahan rakyat (kemauan pemerintah harus sesuai dengan kemauan rakyat); Tentara rakyat (kemauan tentara harus sesuai dengan kemauan rakyat); Menyelenggarakan tawanan Eropa; Melucuti senjata Jepang; Menyita hak dan milik musuh dan; Menyita perusahaan (pabrik, dll) dan pertanian (perkebunan, pertambangan, dll) dari musuh.

Terhadap tuntutan itu, kabinet Sjahrir bergeming. Sjahrir menilai, tuntutan Persatuan Perjuangan mustahil diwujudkan. Ia memilih untuk terus melanjutkan perjuangan melalui politik diplomasi.

Dukungan massa kepada kelompok Persatuan Perjuangan, menjadi tekanan politik yang kuat kepada Sjahrir. Tekanan itu memaksa Sjahrir meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri dan membubarkan Kabinet Sjahrir I.

Presiden Soekarno pun turun tangan membela Sjahrir. Ia meminta Sjahrir untuk kembali membentuk kabinet dan akhirnya terbentuklah Kabinet Sjahrir II pada 12 Maret 1946.

Bersama rekan-rekan yang sepaham, seperti Iwa Kusuma Sumantri, Adam Malik, Mohammad Yamin, Sukarni dan Chaerul Saleh, Tan Malaka terus menyuarakan penentangan.

Kekecewaan kelompok Persatuan Perjuangan semakin memuncak setelah melihat arah Perundingan Linggarjati yang dinilai merugikan Indonesia. Negosiasi dalam perjanjian itu mengarah pada Belanda hanya mengakui kemerdekaan Indonesia untuk wilayah Sumatera, Jawa dan Bali saja.

Diplomasi kabinet Sjahrir dinilai kelompok Tan Malaka terlalu lembek dan banyak mengalah terhadap Belanda. Persatuan Perjuangan menganggap Kabinet Sjahrir II gagal mewujudkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia seratus persen.

Kekecewaan demi kekecewaan itu menceruskan ide radikal dari Persatuan Perjuangan. Kabinet Sjahrir II harus digulingkan. Mereka berencana meruntuhkan kembali Kabinet Sjahrir II dengan menculik para anggota kabinetnya.

Sjahrir perlu “diamankan” agar proses melepaskan diri dari Belanda dapat berjalan lancar. Penangkapan Sjahrir diyakini dapat mengubah politik diplomasi Indonesia terhadap Belanda.

Tapi, rencana kelompok Tan Malaka itu tercium oleh pemerintah. Khawatir membahayakan persatuan, Pemerintah pun mengambil keputusan untuk meringkus tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan ini terlebih dahulu.

Pada 23 Maret 1946, Tan Malaka, Soebardjo, Soekarni dan beberapa pentolan Persatuan Perjuangan lainnya ditangkap pemerintah. Tanpa proses persidangan, mereka dijebloskan ke penjara.

Penangkapan Tan Malaka semakin membuat pendukung dan simpatisannya marah. Ketegangan pun semakin memuncak. Simpatisan dan kolega Tan Malaka terutama yang berasal dari kalangan militer tetap melanjutkan upaya kudeta terhadap Kabinet Syahrir II. Diantaranya adalah Panglima Divisi IV Mayor Jenderal R. P. Soedarsono, Kolonel Sutarto, serta A.K. Yusuf.

Alasan lain diungkap Rosihan Anwar dalam buku Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik. Rosihan mengatakan, kelompok oposisi menginginkan Tan Malaka yang tengah ditahan di Madiun dibebaskan dan kembali ke gelanggang politik. Mereka lebih memilih Tan Malaka ketimbang Sjahrir karena dianggap terlalu lemah dalam membangun Indonesia yang baru merdeka.


Sutan Sjahrir Diculik

Pada Rabu, 26 Juni 1946, operasi penangkapan terhadap Sjahrir dan anggota kabinetnya dijalankan sekelompok tentara pendukung Persatuan Perjuangan. Mereka mengetahui, pada hari itu Sjahrir singgah di Surakarta setelah melakukan perjalanan inspeksi ke Jawa Timur.

Dalam rombongan Sjahrir, antara lain ada Menteri Dalam Negeri Dr Soedarsono, Soemitro Djojohadikusumo, Mayjen Sudibjo, dan Darmawan Mangunkusumo. Rombongan ini mampir untuk rehat sejenak di Surakarta sebelum bertolak ke Yogyakarta untuk menghadiri sidang kabinet lengkap di Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta, bersama Bung Karno dan Bung Hatta.

Di Surakarta, rombongan menginap di bekas kediaman kepala Javasche Bank. Sebuah tempat eksklusif yang menjadi Hotel Merdeka. Urusan keamanan para anggota kabinet Sjahrir itu ditangani Polisi Militer.

“Tanpa sepengetahuan mereka, sekelompok tentara telah mulai bergerak. Yakni, golongan tentara yang menolak opsi diplomasi,” tulis M Yuanda Zara dalam buku Peristiwa 3 Juli 1946-Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia.

Kelompok yang dipimpin Mayor Abdul Kadir (AK) Yusuf Komandan Batayon 63. Mereka membawa surat penangkapan dari Panglima Divisi IV Mayjen TNI Soedarsono. Mengutip tulisan Abdul Amin, pada makalah sejarah berjudul "Peristiwa Penculikan PM Sjahrir 27 Juni 1946", Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, tahun 2013, berbekal surat penangkapan itu, AK Yusuf mengajak Brigjen Sutarto.

Kemudian, Sutarto meminta para agen kelompoknya menandatangani perintah penangkapan atas Sjahrir dan kelompoknya, seperti Sastrolawe, Komandan Batalyon di Tawangmangu, PT Solo, dan lain sebagainya. Sehingga para pengawal Sjahrir yakin jika tindakan rombongan Yusuf tidak melanggar hukum.

Dengan surat 'sakti' itu Mayor AK Yusuf tidak menemui halangan dari pihak keamanan. Kepala Polisi Surakarata, Domopranoto, sempat hendak mengklarifikasi surat tersebut kepada Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno. Namun AK Yusuf bersikeras bahwa surat yang dibawanya adalah sudah resmi tanpa harus diklarifikasi.

Kelompok Brigjen Sutarto menjawab, "Apakah kamu tidak percaya kepada kami, ini adalah sebuah pekerjaan resmi." Akhirnya, penangkapan ini mendapatkan persetujuan dari Domopranoto.

Mengutip buku Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama Dalam Sejarah Indonesia, aksi penculikan berlangsung tanpa kekerasan. Sjahrir dan anggota kabinet lainnya dibawa dengan sopan, tidak selayaknya orang yang tengah diculik.

“Saudara mesti saya tangkap,” kata AK Yusuf sembari menyodorkan surat penangkapan.

Sjahrir sempat mendebat, “Bagaimana ini, saya masih dibutuhkan oleh rakyat.”

Versi lain diceritakan Soebadio Sastrosatomo, salah seorang kepercayaan Sjahrir. Sekira pukul 11.16 malam, kata Soebadio, Mayor AK Yusuf bersama empat orang masuk ke dalam gedung Javasche Bank tempat mereka menginap.

Sambil menenteng senjata, mereka memaksa Sjahrir untuk ikut ke dalam mobil yang telah mereka siapkan. Sjahrir sempat protes dan berdebat. Namun di tengah ancaman senjata, akhirnya Kamis dini hari sekitar pukul 01.00 tengah malam, rombongan itu menuruti kemauan AK Yusuf.

Namun ternyata, tidak semua orang di Hotel Merdeka yang berhasil diamankan Mayor AK Yusuf. Dua anggota kabinet Sjahrir berhasil meloloskan diri, yakni Soebadio dan Soedarsono.

Keduanya langsung keluar dari ruangan setelah melihat gelagat aneh sesaat setelah perdebatan dimulai. “Saya yang melihat gelagat itu meloloskan diri dengan menggunakan bambu melompat dan mencebur ke dalam kali di sekitar Hotel Merdeka. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, kami naik kereta api di stasiun Gowok menuju Yogyakarta. Setibanya di Yogya saya lapor pada kabinet,” terang Soebadio saat diwawancarai Rosihan Anwar pada 8 Oktober 1994.

Sementara Sutan Sjahrir dan kawan-kawannya digiring ke mobil-mobil yang sedari tadi sudah menunggu. Rombongan itu langsung tancap gas membelah malam gelap dengan pendaran lampu-lampu rumah yang tak begitu terang.

Sjahrir dan kawan-kawannya dibawa ke rumah peristirahatan di Kasunanan Paras, Boyolali, Jawa Tengah. Rumah yang dahulu sering digunakan Pakubuwono X sebagai tempat meditasi.

Di sana, Sutan Sjahrir diserahkan kepada Komandan Batalyon Paras, Mayor Soekarto. Menurut keterangan Sutrisno, salah seorang perwira yang bertugas di Paras, para penjaga saat itu sana tidak mengetahui kalau yang dibawa oleh rombongan AK Yusuf itu adalah Perdana Menteri Sjahrir.

“Dikiranya seorang pembesar yang mau istirahat, makanya Sjahrir diterima dengan baik dan ditempatkan di sebuah pesanggrahan kepunyaan Susuhunan. Kini gedung itu sudah digusur,” ucap Sutrisno sewaktu diwawancarai Rosihan Anwar pada 10 Oktober 1994.

AH Nasution dalam buku berjudul Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 3: Diplomasi Sambil Bertempur, juga mengungkapkan hal yang sama. Sutan Sjahrir dibawa ke sebuah rumah peristirahatan di Boyolali.

Informasi tentang penculikan Sjahrir diketahui Presiden Soekarno keesokan harinya, 28 Juni 1946. Tapi pemerintahan RI di Yogyakarta belum mengetahui dengan jelas lokasi penahanan Sjahrir.

Soekarno pun berusaha secepatnya membuat siaran radio. Baginya kejadian itu merupakan peristiwa yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Untuk itu, demi menjaga pemerintahan tetap berjalan baik, Soekarno langsung melakukan pengambilalihan kekuasaan.

Pada Jumat 28 Juni 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Maklumat No 1 Tahun 1946. Isinya, Presiden untuk sementara mengambil kekuasaan penuh dan menggulirkan sistem presidensiil. Dengan Dekrit Istimewa itu, Soekarno mengambil alih kedudukan Sjahrir sebagai Ketua Dewan Pertahanan.

“Berhubung dengan kejadian-kejadian dalam negeri yang membahayakan keselamatan Negara dan perjuangan kemerdekaan kita, maka kami Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Kabinet dalam sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946 mengambil kekuasaan pemerintah sepenuhnya untuk sementara waktu sampai keadaan biasa yang memungkinkan kabinet dan lain-lain badan resmi bekerja sebagaimana mestinya,” demikian isi maklumat Presiden Soekarno.

Pada hari itu juga, Pemerintah Indonesia menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Keadaan Darurat Perang ditandatangani oleh Soekarno dan Amir Sjarifuddin, atas nama Dewan Menteri.

Pada Sabtu malam, 29 Juni 1946, Soekarno melakukan siaran radio. Soekarno mengecam aksi orang-orang yang melakukan penculikan terhadap Sjahrir dan menuntut pembebasan secepatnya. Bung Karno ingin Sjahrir dikembalikan ke Solo dalam keadaan baik.

“Ini Presidenmu! Kalau engkau cinta kepada Proklamasi dan Presidenmu, engkau cinta kepada perjuangan bangsa Indonesia yang insya Allah, de jure akan diakui oleh seluruh dunia. Tidak ada jalan kecuali. Hai, pemuda-pemudaku, kembalikanlah Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang engkau tawan di Negara Republik Indonesia yang kita cintai. Sadarlah bahwa perjuangan tidak akan berhasil dengan cara-cara kekerasan!"

Pada bagian lain pidatonya, Bung Karno menyatakan, “Saya tidak ingin menjadi diktator! Saya ingin adanya satu pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Saya oleh karena itu hanya untuk sementara waktu saja mengambil segala kekuasaan negara di tangan saya sendiri.”

“Kepada segenap rakyat berpikiran sehat, saya minta ikut berusaha untuk mengembalikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Kemakmuran Ir Darmawan Mangunkusumo, Mayor Jenderal Sudibjo dan lain-lain yang turut kena culik dengan selamat kepada kami. Ini adalah kewajiban tiap-tiap warga negara Republik Indonesia yang cinta pada Republiknya," kata Presiden Soekarno.

Mendengar siaran radio tersebut, orang-orang di Paras sadar bahwa tamu yang beristirahat di tempat mereka adalah Perdana Menteri Sjahrir dan anggota kabinetnya.

Pada saat yang bersamaan, AK Yusuf datang untuk membawa kembali Sjahrir. Namun permintaan itu ditolak oleh para penjaga di Paras. Mereka yang telah mengetahui identitas Sjahrir ingin mengembalikannya sendiri.

Dengan pengawalan Sutan Sjahrir dan rombongan diantarkan ke Istana Negara di Yogyakarta pada 30 Juni dini hari.

Pertemuan itu digambarkan Rosihan Anwar dalam buku Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik.

“Bung Karno dibangunkan dan waktu melihat Sjahrir dia langsung merangkul Sjahrir. Ibu Fatmawati juga bangun dan segera membuatkan kopi untuk pasukan yang mengawal rombongan Sjahrir,” tulis Rosihan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA