Tepatnya, saat Raden Wijaya menggunakan Suarabaya sebagai basis konsolidasi pada tahun 1293. Konsolidasi awal kerajaan Majapahit melibatkan Arya Wiraraja, tokoh penting masyarakat Madura. Dari Surabaya inilah kerajaan Majapahit akhirnya berdiri sebagai negara yang besar dan jaya. Bahkan mendapat predikat sebagai kerajaan terbesar di nusantara.
Di jaman Majapahit, agama Islam mulai menyebar yang pesat. Dalam perkembangannya, Surabaya kemudian juga menjadi basis dakwah islamiyah. Tokoh spiritual yang berdakwah dari Surabaya antara lain Kanjeng Sunan Ampel, salah satu anggota Wali Sanga. Sunan Ampel juga menjadi pengasuh utama Raden Patah, putra Raja Brawijaya yang di kemudian hari menjadi raja Kasultanan Demak Bintara.
Dalam konteks dakwah itu, peran istri Sunan Ampel, yaitu Nyi Ageng Maloka juga penting. Ia turut mendidik Raden Patah yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar Patah Jimbun Sirullah. Kelak, tahun 1478 Kasultanan Demak Bintoro berdiri sebagai kerajaan Islam di Tanah Jawa.
Semangat dakwah Islamiyah yang dipelopori Sunan Ampel dan Nyi Ageng Maloka memberikan keteladanan baru bagi para pendakwah generasi berikutnya. Mereka melakukan syiar Islam dengan pendekatan budaya. Slogannya: “Arab digarap, Jawa digawaâ€. Hasilnya adalah harmoni dalam kehidupan masyarakat. Pelopor keagamaan kota Surabaya ini berpegang teguh ajaran Rahmatan Lil Alamin.
Pemimpin-pemimpin Surabaya pada generasi pasca Majapahit memiliki ciri yang berbeda-beda. Pangeran Pekik, seorang adipati di jaman Mataram Islam yang juga intelektual pinilih, mengembangkan Surabaya menjadi bandar yang besar. Hal itu pada akhirnya juga memperbesar pundi-pundi dana yang dimiliki pemerintah kadipaten.
Kegemilangan Pangeran Pekik dalam membangun Surabaya menjadikan pengaruhnya sangat penting di jaman Mataram. Selama tenggang waktu tahun 1677-1708, kebijakan kerajaan Mataram sangat dipengaruhi pakar-pakar dari Surabaya.
Bahkan, Pangeran Pekik memberikan sokongan dana besar besaran saat ibukota Mataram dipindahkan dari Plered ke Kartasura. Ia menjadi salah satu perancang ibukota baru itu, dibantu pakar asal Surabaya yang bernama Sawungggaling. Tokoh bernama Sawunggaling itu amat disegani di Surabaya. Perpindahan ibukota Mataram ke Kartasura dibantu pula oleh ahli-ahli dari Makasar, Madura dan Surabaya.
Adipati Pangeran Pekik menikah dengan Ratu Wandansari, putri Prabu Hadi Hanyokrowati Khalifahtullah Panetep Panotogomo yang menjadi Raja Mataram. Ratu Wandansari juga adik kandung Kanjeng Sultan Agung. Dari pernikahan ini lahir Kanjeng Ratu Kencono. Beliau ibunda Kanjeng Sinuwun Amangkurat Amral.
Pangeran Pekik dan Ratu Wandansari mendidik sang cucu, Raden Rahmat putra Kanjeng Ratu Kencono, dalam tradisi Jawa Mataram berbalut kultur pesisiran yang lebih kosmopolit. Kelak Raden Rahmat pada tahun 1677 dinobatkan menjadi raja Mataram dengan gelar Kanjeng Sinuwun Amangkurat Amral.
Dr Purwadi SS M.HumKetua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lontara)
BERITA TERKAIT: