Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bom Waktu Di Tahun Baru

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Jumat, 24 Januari 2020, 14:59 WIB
Bom Waktu Di Tahun Baru
Ilustrasi/RMOL
SERANGAN longsor dan banjir di atas dataran politik Indonesia termasuk sangat cepat. Bahkan superkilat.

Umur pemerintahan Jokowi–Maruf belum lagi genap 100 hari. Tiba-tiba bencana itu datang. Efeknya demikian deras sehingga memporakporandakan harapan stabilitas yang diupayakan dengan sangat terpaksa oleh Jokowi melalui jalan merangkul Prabowo Subianto ke dalam kabinetnya.

HN (Harun Masiku), seorang yang tidak dikenal tiba-tiba namanya melambung secara nasional di dalam kancah kekacauan dan kisruh politik. Kekacauan dan kisruh politik di awal 2020 ternyata pelakunya bukanlah seorang tokoh politik nama besar.

Karena nama-nama besar yang ditengarai bakal menjadi kerikil  pengganggu stabilitas pemerintahan, hampir semuanya telah berurusan dengan aparat keamanan dengan segala macam versi alasan untuk membungkam mereka.

Adalah kasus penangkapan WS (Wahyu Setiawan), komisioner KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang menjadi pintu masuk prahara politik dan pemantik instabilitas.

Bagaimanapun juga UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) itu pada dasarnya adalah amanat kontitusi. Perintah rakyat yang disalurkan melalui lembaga perwakilan di Senayan dan presiden di Istana. Keduanya adalah elected official.

Ketegangan merebak antara kubu presiden Jokowi (eksekutif), Megawati/PDIP (politisi), dan KPK (independen) dilandasi memuncaknya rasa mual rakyat menyaksikan praktik korupsi yang dilakukan oleh aktor politik. Baik eksekutif maupun legislatif. Menkopolhukam Mahfud MD menyebut ketegangan mendadak itu akibat adanya perubahan UU KPK. Yang oleh publik dimaknai sebagai perubahan “kelamin” antara jantan atau betina.

Sebagai rangkaian dari penangkapan WS, operasi senyap KPK yang menyasar elite PDIP membentur tembok gelap di dua tempat. Gagal memasuki kantor PDIP dan kompleks PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Tokoh kunci kasus korupsi berdasarkan konperensi pers pejabat KPK bernama HM sampai sekarang keberadaanya masih misteri.

Akibatnya, nama Menkumham Yasonna H. Laoly kini terbawa-bawa. Keterangannya yang simpangsiur mengenai keberadaan HM menuai reaksi masyarakat sipil yang bergerak cepat, memintanya dicopot dan mengadukannya kepada KPK.

Dia dituduh membuat berita bohong dan merintangi upaya pemberantasan korupsi. Posisi “dwi fungsi” Yasonna sebagai menteri dan pengurus teras PDIP membuka celah sasaran tembak dengan tuduhan: konflik kepentingan!

Apa yang terjadi di kantor PDIP, di kompleks PTIK, dan posisi Yasonna yang “double agent” menjadi kayu bakar yang cepat menyala dan berkobar.

Di tataran akar rumput lahir kekecewaan masyarakat karena PDIP terberitakan terkontaminasi bau amis korupsi. PDIP selama ini dipuja dan menjadi wadah berhimpun wong cilik yang dinarasikan sebagai rakyat kecil yang tertindas oleh kekuasaan.

Naluri sang wong cilik yang sensitif terhadap penyalahgunaan kekuasaan seakan bergetar menggugat aroma ketidakadilan dan anomali kekuasaan akhir-akhir ini. Sulitnya, karena aroma tidak sedap itu ditengarai  bersumber dari: balkon kekuasaan di mana PDIP sedang mengibarkan bendera kemenangan dengan setinggi-tingginya.

Petaka itu berawal dari perubahan undang-undang atas KPK. Sistem yang sudah ada, sudah rapi berjalan, hancur begitu saja lewat revisi undang-undang. Fakta yang terjadi dalam perkara korupsi komisioner KPU ini sangat menyakitkan penggiat antikorupsi. Meskipun pemerintahan Jokowi juga mempunyai alasan tersendiri.

Kelahiran Dewan Pengawas (Dewas) yang bertujuan mengawasi malah menjadi pencipta kegaduhan karena ketidakjelasan SOP-nya. Akibat panjangnya birokrasi dari Dewas kepada Komisioner KPU dan sebaliknya, membuat HM bisa menghilang seperti hantu.

Dan bom waktu yang bernama HM itu menjadi sentrifugal badai perpolitikan hari ini. Dia terlontar ke atas panggung sendirian,  lalu dicoba diframing sebagai “korban”.

Publik agak bingung melihat kader teras PDIP yang bekerja keras melindungi partainya dari tekanan publik yang terkesan overdosis dan defensif. Mengapa elite PDIP tidak memilih cara simpatik: pro aktif berdiri di depan bersama rakyat mencari dan menyeret HM lalu menyerahkan kepada yang berwajib. Toh sejumlah kader terbaik PDIP masih cukup banyak yang andal untuk mengawal perjalanan demokrasi bangsa ini.

Namun di samping itu, masyarakat luas pun menganggap perlu mengingatkan kepada kader PDIP agar di dalam upaya mengambil langkah membela diri -yang sesungguhnya sah-sah saja- hendaknya tidak dibungkus dan dikombinasi dengan nada intrik dan ancaman terselubung terhadap kebebasan berpendapat! rmol news logo article

Zainal Bintang

Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA