"Meminta agar majelis hakim yang menyidangkan perkara ini menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," Jaksa Dody Sukmono membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Medan, kemarin.
Jaksa membeberkan Pangonal menerima suap Rp 42,28 miliar dan 218 ribu dolar Singapura (setara Rp 2,29 miliar) dari pemilik PT Binivan Konstruksi Abadi, Effendy Sahputra alias Asiong.
Suap itu terkait sejumlah proyek Pemkab Labuhanbatu tahun 2016, 2017, hingga 2018 yang dikerjakan Asiong.
Lantaran itu, jaksa KPK menuntut Pangonal membayar uang pengganti Rp 42,28 miliar dan 218 ribu dolar Singapura, sesuai yang pernah ia terima.
Jika uang bertotal Rp 44,58 miliar itu tak dilunasi, hukuman Pangonal ditambah 1 tahun penjara.
Jaksa KPK juga mengajukan tuntutan hukuman tambahan kepada Pangonal. Yakni pencabutan hak politik sementara sejak dia keluar penjara.
"Untuk menghindari Indonesia dipimpin orang yang pernah melakukan tindak pidana koÂrupsi, maka dipandang perlu memberi hukuman tambahan terhadap terdakwa berupa penÂcabutan hak dipilih selama 3 taÂhun 6 bulan," ujar Jaksa Dody.
Menurut jaksa, perbuatan Pangonal menerima suap memenuhi unsur dakwaan Pasal 12 huruf a UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1, juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Tamin 7 Tahun Sementara di Pengadilan Tipikor Jakarta, jaksa KPK memÂbacakan tuntutan hukumm terhadap Tamin Sukardi. Pemilik PT Erni Putra Terari itu ditunÂtut 7 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Menurut jaksa, Tamin terÂbukti menyuap hakim
ad hoc Pengadilan Tipikor Medan, Merry Purba.
Ia aktif melobi majelis hakim yang menangani perkara korupsi penjualan lahan eks HGU PTPN II di Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Tamin menjadi terdakwanya.
"Terdakwa terbukti merupaÂkan peserta atau pelaku aktif dalam melakukan peran yang cukup dominan dalam pelaksanaan kejahatan," kata Jaksa Luki Dwi Nugroho.
Lobi dilakukan sejak perkara Tamin diadili. Awalnya untuk mendapatkan perubahan status dari tahanan rutan menjadi tahÂanan kota.
Kemudian, untuk mendapatÂkan vonis bebas. Hakim Merry mengajukan beda pendapat atau dissenting opinion dalam putuÂsan perkara Tamin. Ia menyatakan Tamin tak bersalah.
Merry menyampaikan beda pendapat karena sudah menerima suap dari Tamin melalui Panitera Pengganti, Helpandi. "Pemberian uang yang diberikan kepada Helpandi agar diserahkan ke majelis hakim agar dipuÂtus bebas yang diistilahkan Tamin Sukardi sebagai dobel B," sebut Jaksa Luki.
Jaksa menyimpulkan Tamin menyuap Merry 150 ribu dolar Singapura bersama-sama Hadi Setiawan alias Erik. Kemudian berencana memberikan 130 ribu dolar Singapura kepada Hakim Sontan Merauke Sinaga melakuÂkan perantara Helpandi.
"Bahwa maksud pemberian uang 280 ribu dolar Singapura dari Tamin melalui Hadi di sebuah kamar hotel JW Marriot, Medan Barat adalah untuk keÂpentingan Merry Purba dan Sontan Merauke Sinaga selaku anggota majelis hakim perkara tindak pidana korupsi atas nama Tamin Sukardi di Pengadilan Negeri Medan," sebut jaksa.
Tamin memberikan uang suap agar hakim memberikan vonis bebas pada sidang putusan 27 Agustus 2018. Menurut jaksa, perbuatan Tamin memenuhi unsur dakwaan Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Perbuatan Tamin dianggap telah merusak nama baik lemÂbaga peradilan dan profesi hakim. Serta tak mendukung program pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
"Terdakwa memberikan keterangan yang berbelit-belit dan berusaha mengaburkan fakta perbuatan atau kejadian," Jaksa Luki memaparkan pertimbangan memberatkan.
Sedangkan hal-hal yang meÂringankannya adalah terdakwa Tamin belum pernah dihukum dan menyesali perbuatannya. Berusia lanjut dan menderita penyakit yang perlu perawatan yang berkesinambungan.
Selama pembacaan tuntutan, Tamin tertunduk. Sesekali ia membolak-balikkan dokumen di pangkuannya. Usai mendengarÂkan tuntutan, Tamin menyatakan bakal mengajukan nota pembelaan (pledoi). ***
BERITA TERKAIT: