Kebijakan perikanan Indonesia dinilai belum berdampak positif bagi perlindungan Anak Buah Kapal (ABK) NeÂlayan.
Hal ini ditegaskan Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata. Setidaknya, ada empat temuan lapangan dari situasi pekerja ABK Nelayan.
Temuan ini menunjukkan, kebijakan perikanan terhadap perlindungan nelayan ABK kapal perikanan di atas 10 GT tidak berdampak positif terhadap perlindungan ABK Nelayan. "Padahal, berdasarkan penelusuran KNTI, ada tujuh peraÂturan yang mengikat komitmen pemerintah, untuk memastiÂkan berjalannya perlindungan pekerja perikanan sebagai ABK Nelayan," tuturnya.
Pada hasil temuan lapangan di Provinsi Sulawesi Utara, ungkap Marthin, menunjukkan tak ada kehadiran pemerintah daÂlam melindungi ABK Nelayan. Pekerja ABK Nelayan masih belum memiliki kontrak kerja atau perjanjian kerja di atas laut. Sehingga terjadi ketidakpastian hubungan kerja. Pihak ABK Nelayan pun dalam posisi lemah, tidak mendapatkan kedudukan hukum.
"Ini karena tak ada pengaÂwasan lapangan dari pemerintah terhadap perjanjian kerja laut dan tidak terintegrasi dalam perizinan," ujarnya.
Kedua, dari sisi pendapatan. Bentuk model bagi hasil perikaÂnan belum sesuai ketentuan bagi hasil perikanan. Padahal ini telah diatur sejak UU No. 16/1964 tentang Bagi Hasil Perikanan yang mengatur pembagian 40% hasil bersih pendapatan diperunÂtukan bagi ABK Nelayan.
Menurut Marthin, ini menunÂjukkan, pemerintah masih memÂbiarkan lemahnya perlindungan ekonomi dari ABK Nelayan. Di samping konteks pengawasan dan syarat perizinan yang tidak ditegakkan.
Ketiga, minimnya asuransi perikanan bagi ABK Nelayan. Padahal, usaha perikanan telah dinyatakan bersama sebagai proÂfesi yang tinggi risiko ancaman kecelakaan laut. "Tapi hal terseÂbut tidak mendorong asuransi perikanan diberikan kepada ABK Nelayan," ujarnya.
Keempat, pendekatan HAM yang terus digaungkan Pemerintah seolah hanya di atas kertas. Di lapangan, jelas Marthin, perusahaan tidak mengetahui berbagai kebijakan terkait serÂtifikasi hak asasi manusia untuk usaha perikanan.
Di arah yang sama, perusahaan tidak dalam pandangan yang sama untuk menerapkan hak asasi manusia dalam melakukan kegiatan usaha perikanan dengan menghormati dan melindungi hak asasi ABK Nelayan.
Akibatnya, meski banyak keÂbijakan, namun tidak membuat kesejahteraan ABK Nelayan jadi lebih baik. Minimnya impleÂmentasi dan pengawasan lapangan dari peraturan tersebut, menunjukkan tak ada inovasi implementasi kebijakan oleh Pemerintah di lapangan.
Ditambah lagi, kebijakan perlindungan ABK Nelayan yang substansial dan mendasar, belum terintegrasi dalam sistem perizinan perikanan usaha periÂkanan. Seperti kewajiban adanya perjanjian kerja laut dan asuransi perikanan tadi.
Di sisi lain, situasi perizinan yang terhambat masalah akses perizinan secara daring (online) mendorong pemerintah daerah mengambil jalan pintas melalui Surat Keterangan Melaut (SKM). "SKM ini dapat menyebabkan berÂbagai permasalahan baru. Misalnya dalam verifikasi berbagai syarat perizinan. Termasuk mark down ukuran kapal sebagai salah satu masalah umum yang telah lama ditemukan," tutup Marthin. ***
BERITA TERKAIT: