Secara sosio-antropologis kita bisa memeÂtakan perbedaan cara pandang (
world views) dan kosmologi antara masyarakat continenÂtal dan masyarakat maritime. Masyarakat continental sering dicirikan dengan sebuah masyarakat yang memiliki lapis-lapis masyarakat (
social stratifications) yang beÂragam.
Anggota masyarakatnya memiliki kelas-kelas sosial (
social structure) yang bertÂingkat-tingkat. Semakin tinggi kelas suatu kelompok semakin banyak mereka memiÂliki hak-hak
privacy dan
privilege. Elit-elit masyarakat continental dalam lintasan seÂjarah sering dicirikan sebagai 'tuan tanah', memiliki peluang politik lebih besar untuk menguasai masyarakat, dan sering dijadikan sebagai referensi di dalam masyarakat daÂlam berbagai negeri.
Masyarakat maritim juga memiliki
world views dan kosmologi tersendiri juga sering dicirikan dengan sifat dan karakternya yang lebih terbuka, egalitarian, dengan stratifikaÂsi dan struktur masyarakat yang sederhana. Alamnya berupa pulau yang bentangan panÂtainya sangat panjang membuatnya lebih terbuka dan lebih gampang menerima perÂbedaan. Filosopi masyarakat maritime pantai adalah milik bersama. Siapapun berhak meÂnambakkan perahu di pantai manapun. DenÂgan demikian wajar kalau masyarakatnya lebih bersifat egaliter, akomodatif, adaptatif, tolerans, bertenggang rasa, dan ramah. Karakter seperti ini tidak mudah ditemukan di negeri continental seperti di Kawasan Timur Tengah.
Agaknya inilah rahasianya, mengapa TuÂhan menurunkan hampir semua agama di dalam masyarakat continental, terutama agama-agama besar seperti Hindu, BudÂha, Yahudi, Kristen, Khonghucu, dan Islam. Demikian pula semua Nabi dan Rasul-Nya diturunkan di negeri continental. Tidak perÂnah dikenal ada Nabi atau Rasul turun di negeri maritime. Mungkin rahasianya antara lain, justru tantangan dunia kemanusiaan itu pada umumnya datang dari masyarakat continental. Sikap ketidak adilan, diskrimiÂnasi, dan penindasan lebih banyak melekat pada masyarakat continental ketimbang masyarakat maritim.
Dalam masyarakat maritim seperti di kaÂwasan Nusantara, Tuhan tidak perlu menuÂrunkan wahyu, Nabi, dan atau Rasul di sana karena basic karakternya sudah lebih
soft. Cukup Ia mengutus Wali Songo maka masyarakat Nusantara sudah bisa menjadi muslim/muslimah yang baik. Begitu mudah Wali Songo mengislamkan wilayah NusanÂtara. Tidak perlu melalui peperangan dan ketegangan. Kemudahan penduduk memeÂluk agama Islam karena nilai-nilai Islam diÂanggap bukan 'benda asing' tetapi sudah inherent di dalam diri dan kepribadian bangsanya.