Berlatar Belakang Kultur Maritim

Mengenal Inklusi Visme Islam Indonesia (34)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 05 Maret 2018, 08:31 WIB
Mengenal Inklusi Visme Islam Indonesia (34)
Nasaruddin Umar/Net
JIKA kita menganalisis lokus turunnya agama-agama, hampir semua agama diturunkan di da­lam masyarakat yang berkultur daratan (con­tinental culture), seper­ti Hindu, Budha, Khon­ghucu, Yahudi, Nasrani, dan tidak terkecuali Islam. Sudah barang tentu kitab suci agama-agama tersebut difahami berdasarkan alam bawah sadar masyarakat yang berkultur maritim. Persoalannya ialah semua agama diturunk­an untuk manusia secara keseluruhan tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, warna ku­lit, kewarganegaraan, termasuk kultur. Setiap etnik memiliki hak-hak kultural (cultural right). Jika pada masyarakat kontinental memiliki cultural right untuk menafsirkan kitab suci maka masyarakat yang berbudaya kelautan (maritime cultures) juga memiliki hak-haknya untuk menafsirkan kitab suci menurut kondisi obyektifnya masing-masing.

Secara sosio-antropologis kita bisa meme­takan perbedaan cara pandang (world views) dan kosmologi antara masyarakat continen­tal dan masyarakat maritime. Masyarakat continental sering dicirikan dengan sebuah masyarakat yang memiliki lapis-lapis masyarakat (social stratifications) yang be­ragam.

Anggota masyarakatnya memiliki kelas-kelas sosial (social structure) yang bert­ingkat-tingkat. Semakin tinggi kelas suatu kelompok semakin banyak mereka memi­liki hak-hak privacy dan privilege. Elit-elit masyarakat continental dalam lintasan se­jarah sering dicirikan sebagai 'tuan tanah', memiliki peluang politik lebih besar untuk menguasai masyarakat, dan sering dijadikan sebagai referensi di dalam masyarakat da­lam berbagai negeri.

Masyarakat maritim juga memiliki world views dan kosmologi tersendiri juga sering dicirikan dengan sifat dan karakternya yang lebih terbuka, egalitarian, dengan stratifika­si dan struktur masyarakat yang sederhana. Alamnya berupa pulau yang bentangan pan­tainya sangat panjang membuatnya lebih terbuka dan lebih gampang menerima per­bedaan. Filosopi masyarakat maritime pantai adalah milik bersama. Siapapun berhak me­nambakkan perahu di pantai manapun. Den­gan demikian wajar kalau masyarakatnya lebih bersifat egaliter, akomodatif, adaptatif, tolerans, bertenggang rasa, dan ramah. Karakter seperti ini tidak mudah ditemukan di negeri continental seperti di Kawasan Timur Tengah.

Agaknya inilah rahasianya, mengapa Tu­han menurunkan hampir semua agama di dalam masyarakat continental, terutama agama-agama besar seperti Hindu, Bud­ha, Yahudi, Kristen, Khonghucu, dan Islam. Demikian pula semua Nabi dan Rasul-Nya diturunkan di negeri continental. Tidak per­nah dikenal ada Nabi atau Rasul turun di negeri maritime. Mungkin rahasianya antara lain, justru tantangan dunia kemanusiaan itu pada umumnya datang dari masyarakat continental. Sikap ketidak adilan, diskrimi­nasi, dan penindasan lebih banyak melekat pada masyarakat continental ketimbang masyarakat maritim.

Dalam masyarakat maritim seperti di ka­wasan Nusantara, Tuhan tidak perlu menu­runkan wahyu, Nabi, dan atau Rasul di sana karena basic karakternya sudah lebih soft. Cukup Ia mengutus Wali Songo maka masyarakat Nusantara sudah bisa menjadi muslim/muslimah yang baik. Begitu mudah Wali Songo mengislamkan wilayah Nusan­tara. Tidak perlu melalui peperangan dan ketegangan. Kemudahan penduduk meme­luk agama Islam karena nilai-nilai Islam di­anggap bukan 'benda asing' tetapi sudah inherent di dalam diri dan kepribadian bangsanya.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA