Usia Reformasi memasuki angka 20 tahun. Sejarah itu adalah gerakan mahasiswa dan masyarakat yang kritis terhadap rezim Orde Baru yang otoriter. Perubahan Indonesia yang kian baik adalah cita-cita yang diÂinginkan Gerakan Reformasi 1998.
Kini di 2018, Indonesia diniÂlai telah kehilangan aktivis-aktivis yang kritis terhadap kondisi berbangsa dan berneÂgara. Mantan Aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Jhon Roy P Siregar menyampaikan, kondisi saat ini hampir semua sektor, termasuk mahasiswa, sudah kian indiÂvidualistik.
Selain itu, sikap rela berkorban dan berjuang kian surut. Bahkan, banyak aktivis mahasiswa saat ini jijik dengan kondisi miskin, namun malah masuk ke ruang-ruang hegemoni kekuasaan dan pengusaha rakus, tanpa berupaya melawan kemiskinan dengan berjuang sungguh.
"Aktivis zaman now sudah enggak mau berjuang. Maunya tampil keren dalam publikasi, cuap-cuap kosong, maunya punya uang banyak, terkenal, aset di mana-mana. Kepengen hidup enak, tanpa usaha. Malu dong. Tapi kok malah mengaku aktivis?" cetusnya.
Menurut Jhon, kondisi berÂsakit-sakit dahulu yang pernah dialami para aktivis yang kritis di masa lalu, kini sudah ditingÂgalkan generasi zaman now.
Menurut pria yang pernah menjadi Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) di era pasca Reformasi ini, roh pergerakan mahasiswa masih terasa kental di awal-awal reformasi.
"Kalau sekarang, semua kepengen segera jadi pejabat, duduk jadi komisaris perusaÂhaan, mengekor ke lingkaran kekuasaan yang membelenggu dan membuat daya kritisnya tumpul," keluhnya.
Menurut Jhon, kepentingan kekuasaan yang banyak didomiÂnasi para aktivis tua yang sudah merasa nyaman dengan kekuaÂsaan, membutakan para aktivis mahasiswa saat ini. Karena itulah, daya kritis aktivis kian lemah, redup dan tak mampu menyuarakan apa-apa.
Entah ada hubungannya denÂgan perkuliahan di kampus-kampus saat ini yang juga sudah tidak membentuk daya kritis maÂhasiswa. Namun, menurut Jhon, budaya membaca dan menulis, serta berdiskusi secara kritis pun sudah hilang di kalangan aktivis mahasiswa zaman now.
"Saat ini aktivis mahasiswa pun seolah gampang dibeli. Urusannya uang melulu. Malas belajar, berdiskusi mengkaji kondisi sehari-hari dan konÂdisi bangsa secara obyektif. Atau juga penakut, kalau ada seniornya yang dari lingkaran kekuasaan menelepon, enggak bakal bunyi lagi tuh aktivis. Kita menyebutnya aktivis kardus," tuturnya.
Hal senada disampaikan manÂtan Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Medan Badia Sitorus berpendaÂpat, aktivis saat ini sudah sangat jarang ditemukan. Padahal, Indonesia sangat butuh aktivis mahasiswa yang kritis, yang berani dan tidak memikirkan diri sendiri.
Menurut dia, saat ini, aktivis sudah masuk ke ruang krisis. "Kalau krisis itu ya miskin. Maka aktivis yang krisis sangat diperlukan juga, dan diberÂdayagunakan seturut kemauan pemilik modal dan penguasa, karena mereka kebanyakan miskin. Kalau aktivis yang kritis ya hanya jadi bahan dasar untuk penangkaran manusia saja dibuat," tuturnya.
Mantan aktivis kampus, Anthony Yudha juga mengataÂkan, kebanyakan aktivis mahaÂsiswa saat ini sudah eksodus ke pola-pola menguntungkan diri sendiri. Mantan Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gunadarma itu mengatakan, harapan keÂpada aktivis mahasiswa kian menurun.
"Sekarang lebih konsisten orang-orang yang bergerak di NGO (
non governmental orgaÂnization) daripada organ mahaÂsiswa," ujarnya.
Aktivis mahasiswa asal Medan, Sumatera Utara ini memÂpertanyakan pergerakan aktivis mahasiswa hari ini. Menurut pria yang kini melanjutkan studinya di Jakarta itu, sangat tidak jelas ukuran dan pergerakan aktivis mahasiswa saat ini.
"Apa indikasi seseorang bisa dikatakan sebagai seorang akÂtivis? Apakah karena dia aktif mengorganisasikan rakyat? Atau aktif mengorganisir jaringan dan kolega lewat teori-teori kerakyaÂtan?," tuturnya. ***
BERITA TERKAIT: