WAWANCARA

Zulkifli Hasan: Saya Tidak Sepakat Calon Kepala Daerah Diharuskan Punya Modal Finansial Kuat

Kamis, 18 Januari 2018, 09:30 WIB
Zulkifli Hasan: Saya Tidak Sepakat Calon Kepala Daerah Diharuskan Punya Modal Finansial Kuat
Zulkifli Hasan/Net
rmol news logo Beberapa hari lalu jagad politik digemparkan dengan pengakuan eks Ketua Umum PSSI, La Nyalla Mattalitti yang mengaku dimintai duit Rp 40 oleh Prabiwo Subianto jika kepengin didukung Gerindra untuk nyagub di Pilkada Jawa Timur.

Sebenarnya La Nyalla yang juga kader Gerindra itu me­nyanggupi permintaan Prabowo jika telah ditetapkan KPU seba­gai calon kepala daerah. Akan tetapi karena waktunya mepet hanya sampai tanggal 20, maka La Nyalla tidak menyanggupin­ya dan mengembalikan surat mandat ke Gerindra.

Lantas bagaimana tanggapan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan terkait mahar politik tersebut, mengingat PAN bersama Gerindra berkoal­isi di Pilkada Jatim? Berikut pemaparan selengkapnya.

Bagaimana pendapat Anda terkait mahar politik?
Saya tidak setuju penyebu­tan istilah mahar politik yang tengah ramai menjadi sorotan menjelang Pilkada 2018. Istilah mahar politik itu menyudutkan agama Islam. Kita kan tahu istilah mahar itu kalimat sakral, itu seolah-olah menyudutkan Islam itu.

Lantas kata apa yang pantas untuk menggantikan mahar?

Kenapa tidak dikatakan suap politik saja? Kenapa mesti me­nyudutkan Islam pakai istilah mahar. Suap politik, kan jelas.

Sebagai ketua umum partai Anda melihat mahar politik seperti apa?

Terus terang partai kan ikut pilkada terus, misalnya pemili­han bupati. Jangankan pilkada, pemilihan anggota DPR juga be­gitu. Saudara kalau mau menjadi anggota DPR perlu bikin kaos, spanduk, gambar-gambar itu tidak murah. Kalau tidak mem­buat bagaimana orang mau kenal dan orang mau memilih. Tapi yang jelas sekarang demokrasi Indonesia semakin maju.

PAN sendiri memberlakukan mahar untuk calon kepala daerah yang diusung enggak?
PAN tidak pernah meminta uang kepada calon kandidat. Namun, memang ada pembiayaan untuk operasional kegiatan kandidat, contohnya di Jawa Tengah. Ketika kami melakukan konsolidasi untuk Pak Sudirman Said, dana kegiatan di enam wilayah di Jawa Tengah untuk 13 ribu relawan berasal dari pa­tungan pengurus partai, anggota dewan, dan calon itu sendiri.

Jadi, bukan hanya calon kepala daerah yang mengeluarkan biaya untuk kampanye?
Partai politik kami keluar uang, DPR kami keluar biaya, tapi juga kandidat membantu ongkos pulang relawan-relawan. Saya kira itu suatu operasional. Atau namanya dalam rangka biaya untuk kemenangan di lapangan.

Kalau uang untuk saksi bagaimana itu?
Bagaimana ya, kalau tidak ada saksi nanti kami bisa dicurangi. Sekarang konsolidasi kami harus menempelkan gambar. Kami harus mengumpulkan relawan. Kemarin saya itu buat lima titik di Jawa Tengah dari 35 kabu­paten. Bayangkan datangnya saja enam jam masa tidak makan siang, mesti sewa bus pula.

Anda setuju bagi kepala daerah yang ingin maju di Pilkada 2018 harus memiliki modal banyak?
Justru saya tidak sepakat jika calon kandidat kepala daerah harus memiliki modal finansial yang kuat. Jika punya konsep dan gagasan yang baik, se­orang kandidat bakal mendapat dukungan. Seperti Pak Anies Baswedan tidak memiliki ban­yak uang, tapi kaya akan konsep dan gagasan yang bagus. Artinya tidak harus juga kandidat itu uangnya harus besar sekali, ter­gantung kandidat itu memenuhi syarat atau tidak.

Anda melihat apakah masyarakat masih bergantung den­gan uang ketika menentukan pilihannya?
Sekarang itu kecenderungan orang memilih karena diberi uang sudah kecil persentasenya. Masyarakat sekarang sudah cerdas, mereka memilih melihat dari konsep dan gagasan calon. Jadi politik uang membeli suara itu sudah tidak mempan. Jadi, tidak perlu lagi membeli, saya bayar kamu, saya bayar. Hal ini sudah tidak berlaku, masyarakat sudah pintar dikasih uang belum tentu dipilihnya.

Kalau tentang revisi Undang-Undang MD3 bagaima­na itu?
Saya setuju, karena dari awal kami setuju PDIP sebagai peme­nang pemilu. Pemenang pemilu masa tidak ada di pimpinan bagaimana ya? Apalagi kalau di MPR, teman saya, sahabat saya yang biasa saya sebut Prof Pancasila Ahmad Basarah. Tentu saya akan senang sekali jika ada Ahmad Basarah menjadi salah satu pimpinan MPR. Kami senang tetapi jangan dibuat kesebelasan. Kalau DPR 11 MPR 11-lah. Ini mah namanya kesebelasan bukan nambah.

Anda setuju merevisi Undang-Undang MD3 secera menyeluruh ?
Saya setuju MD3 itu untuk yang akan datang. Dan yg akan datang saya setuju profesional saja jadi tidak berkelahi terus. Sudah profesional saja, jadi kembalikan saja ke pemenang da­pat ketua berikutnya-berikutnya, kemudian ada MPR berikutnya-berikutnya. Masa kami harus buat lagi setiap tahun ganti lagi ganti lagi jengah rakyat melihatnya.

Menambah kursi DPR apakah revisi Undang-Undang MD3 harus selesai dulu?

Nanti kan ada peraturan pera­lihan kursi DPRkan bisa. Revisi Undang-Undang MD3 untuk yang akan datang, tapi ada peral­ihannya untuk menambah pimpi­nan yang sekarang. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA