WAWANCARA

Wahyu Setiyawan: Kalau Di Pilkada Ada Calon Tunggal, Berarti Parpol Di Daerah Belum Efektif

Selasa, 16 Januari 2018, 09:47 WIB
Wahyu Setiyawan:  Kalau Di Pilkada Ada Calon Tunggal, Berarti Parpol Di Daerah Belum Efektif
Wahyu Setiyawan/Net
rmol news logo Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menutup masa pendaftaran bakal calon kepala daerah untuk Pilkada Serentak 2018. Dari hasil pendaftaran tersebut, tercatat ada 13 daerah yang pilkadanya hanya dii­kuti satu pasang bakal calon saja. Ke-13 daerah tersebut di antaranya Kota Prabumulih (Sumatera Selatan), Kabupaten Lebak (Banten), Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), dan Kabupaten Karanganyar (Jawa Tengah),

Jumlah calon tunggal di Pilkada 2018 ini lebih banyak jika dibandingkan dengan sebelum­nya. Pada 2017 hanya ada sem­bilan daerah dengan calon tung­gal. Sementara itu pada Pilkada 2015 hanya ada tiga daerah dengan calon tunggal. Lantas apa yang akan dilakukan KPU menghadapi realitas tersebut? Berikut penjelasan Komisioner KPU Wahyu Setiyawan kepada Rakyat Merdeka;

Apa tanggapan KPU atas fenomena calon tunggal ini?

Jadi prinsipnya, menurut PKPU (Peraturan KPU), jika pencalonan hanya satu pasangan calon, maka pendaftarannya diperpanjang. Cuma saya teknis­nya lupa itu diperpanjangannya sampai berapa hari. Tapi prinsip­nya diperpanjang dan itu dimulai dari sosialisasi lagi. Dengan kata lain, berarti kan memungkinkan koalisi calon tunggal itu berubah. Artinya memungkinkan, bisa iya tapi bisa juga tidak.

Kalau diulang lagi apakahtidak mengganggu proses pilkada?

Tidak dong. Karena kami kan sudah memperhitungkan jika hal itu terjadi. Jadi masalah ini sebetulnya masih dalam kendali kami. Setiap tahapan itu sudah kami rancang untuk menganti­sipasi jika ada yang calonnya tunggal. Jadi sebenarnya bagi KPU ini tidak mengagetkan. Ada atau tidak ada sudah kami antisipasi, sudah kami siapkan cadangan waktu tahapan.

Lalu kalau setelah itu kon­disinya tidak juga berubah bagaimana?

Pada 2015 dan 2017 ada daerah yang calonnya tunggal dan kami perpanjang, tapi tetap saja hasil­nya calon tunggal. Kalau ternyata sudah diperpanjang dan tetep calon tunggal, maka ya proses pilkadanya jalan terus. Nanti musuhnya kotak kosong.

Bisa lawan kotak kosong begitu?
Bisa, kan sudah terjadi periode sebelumnya. Jadi misalnya ini kan calon tunggal yang daftar. Kami perpanjang lagi tetap calon tunggal juga, ya tetap oke. Tetap kami tetapkan juga sebagai pasangan calon. Nah nanti, la­wannya itu kotak kosong.

Kalau seperti peluang calon tunggal itu untuk terpilih lebih besar dong?

Secara teoritis belum tentu. Lha kalau masyarakat maunya pilih kotak kosong? Ini lah uniknya. Jadi setelah diperpanjang tetap calon tunggal, maka KPU wajib memberikan so­sialisasi ke masyarakat bahwa memilih kotak kosong itu sah. Berbeda maknanya dengan golput. Kalau golput kan tidak memilih. Lha ini, memilih ko­tak kosong itu tetap bermakna sah suara itu. Sehingga bukan golput. Uniknya justru di situ.

Kalau ternyata kotak ko­songnya yang menang bagaimana?

Kalau kotak kosongnya ternyata yang menang, maka pemi­lihan yang ada di daerah itu diulang lagi pada pilkada beri­kutnya. Solusinya begitu.

Selama menunggu pemili­han berikutnya berarti kepala daerah sebelumnya tetap men­jabat?
Bukan, selama itu berarti pejabat bupatinya ditunjuk oleh pemerintah pusat melalui gubernur. Jika itu untuk ka­bupaten/kota. Tapi kalau itu provinsi ya itu oleh pemerintah pusat dalam hal ini menteri dalam negeri.

Sementara dipimpin Plt ya?

Iya semacam Plt. Jadi bukan berarti yang lama berlanjut terus. Yang lama yang habis masa jabatannya ya tetap habis. Untuk menjalankan tugas pe­merintahan ada Plt-lah, sampai diikutsertakan pada pilkada berikutnya.

Jadi untuk menghindari ter­jadinya kekosongan kekuasaan. Karena pemerintahan kan terus berlangsung, sementara pilka­danya tidak menghasilkan calon terpilih. Maka ya harus Plt su­paya semua berjalan normal.

Tren calon tunggal ini dari mulai 2015 hingga kini tren­nya kan cenderung mening­kat. Menurut KPU kenapa bisa begitu?
Kalau kami berpandangan cukup aneh juga. Artinya kan begini, di daerah-daerah itu kan juga ada parpol yang mem­peroleh kursi. Berarti yang perlu dipertanyakan bagaimana rekrutmen kader politik dari parpol-parpol.

Berarti kan parpol-parpol di daerah itu belum efektif. Kalau efektif kok bisa sampai calon tunggal? Padahal logikannya orangnya sebetulnya ada. Jadi KPU melihatnya pokok masalah­nya di situ.

Artinya kalau parpol-parpol itu punya kader terbaik mestinya bisa dicalonkan dong. Tapi kok bisa semua partai nyalonin satu pasangan? Itu kan aneh juga. Kecuali betul-betul tidak ada orang lain di situ.

Mungkin karena mahar politiknya mahal kali?
Bisa jadi, tapi kan kami tidak bisa menjangkau sampai wilayah itu ya.

Tapi memang minat masyarakat di daerah itu untuk maju masih tinggi enggak sih?
Sebenarnya kan ada progresi­fitas dari ketentuan ya. Jadi dalam pilkada itu kan dimung­kinkan adanya calon perseoran­gan. Artinya, regulasi membuka ruang yang luas bagi putra-putri daerah untuk jadi kandidat. Misalnya komunikasi politik dengan parpol menurut yang bersangkutan itu tidak nyaman, kan ada jalur lainnya yaitu perse­orangan. Tapi anehnya itu juga tidak dipakai.

Mungkin karena syarat calon perseorangan itu lebih berat?
Bisa jadi. Tetapi secara regu­lasi kan sudah ada jalan lain selain melalui parpol kan?Ada jalur perseorangan. Itu menurut saya norma yang membuka ruang bagi demokratisasi.

Tapi ternyata di daerah-daerah yang calon tunggal itu juga tidak ada calon dari perseorangan. Kalau ada yang daftar, tapi gagal maju itu lain ya. Ini sama sekali tidak ada kok.

Terkait syarat untuk calon perseorangan ini tidak bisa diringankan supaya meningkatkan partisipasi calon?

Ya kalau persyaratan itu kan ketentuan yang ada di undang-undang ya. Artinya KPU tidak mungkin membuat terobosan lain yang memperingan per­syaratan itu.

Lalu sekarang apa yang dilakukan KPU menyikapi banyaknya calon tunggal ini?
Ya tentu saja kewajiban ka­mi memperpanjang, kemu­dian diikuti kegiatan sosialisasi. Sosialisasi kepada partai politik untuk membuka ruang dilaku­kannya perubahan, sehingga ada calon lainnya.

Jika setelah itu tetap tidak ada, maka proses pilkada tetap kami lanjutkan sebagaimana mestinya. Dengan konsekuenso logis, satu pasangan melawan kotak kosong. Dan itu bukan barang baru, karena 2015 dan 2017 kami sudah mengalami itu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA