Lantaran itu, pria yang menÂgakhiri dinas militernya pada 2017 itu hanya tiga jam berada di gedung KPK. Lewat tengah hari, Agus sudah keluar didampingi pengacara dan dikawal Polisi Militer TNI AU.
"Dalam proses pemeriksaan, dari informasi yang kami dapÂatkan dari penyidik, saksi tidak bersedia memberikan keteranÂgan dengan alasan saat kejadian saksi menjabat sebagai KSAU dan merupakan prajurit aktif. Sehingga terkait dengan rahasia militer," kata juru bicara KPK Febri Diansyah.
Menyikapi penolakan Agus, KPK akan berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Febri meyakini Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mendukung penegakan hukum kasus ini. Apalagi, Presiden Joko Widodo sejak awal sudah menolak pengadaan heli ini.
"Kami percaya komitmen Panglima TNI masih sama kuatÂnya dalam pengusutan dugaan korupsi di pengadaan heli AW 101 ini," kata Febri.
Rencananya, Agus diperiksa KPK sebagai saksi bagi tersangka Irfan Kurnia Saleh, Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri. Perusahaan itu ditunjuk sebagai rekanan TNI AU dalam pengadaan heli buatan Inggris- Italia itu.
Dalam kasus ini, Agus meruÂpakan saksi penting. Sebab, pengadaan heli yang merugikan negara Rp 220 miliar itu terjadi saat Agus menjabat KSAU.
Sebelum meninggalkan KPK, Agus berdalih tak bisa buka-buÂkaan soal pengadaan heli AW 101 karena terikat sumpah prajurit.
Ia sempat menunjukkan buku saku berwarna biru gelap dari dalam jaket hitam yang dikeÂnakan. Buku kecil itu berisi peraturan dan sumpah prajurit TNI. "Sumpah prajurit kelima: memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya. Itu enggak boleh (dibuka)," katanya.
Kepada awak media, Agus menganalogikan pembelian heli canggih itu seperti membeli mobil sport Ferrari, yang bisa dipakai berkendara sehari-hari di jalan maupun untuk balapan.
"Saya pernah datang ke showÂroom mobil Ferrari. 'Ini Ferrari untuk apa nih? Ini untuk jalan, Pak'. 'Oh buat jalan begini toh Ferrari-nya. Berapa nih, segini oke'. Tapi saya inginkan Ferrari ini suatu saat saya pakai untuk balapan, untuk trek-trekkan jadi fungsinya sampai beberapa fungÂsi yang digunakan," ujarnya.
Agus melanjutkan, "Sehingga orang yang di showroom itu mengatakan 'Oh begini, Pak, berarti nanti di mesinnya, saya akan tambah ini, Pak. Wearing-nya akan tambah ini. Body-nya harus pasang spoiler, Pak.' Jadi bermacam-macam ada di pesaÂwat itu sudah dipasang, sorry jadi pesawat deh, mobil ya. Jadi di mobil itu sudah dipasang bermacam-macam wearing tapi itu adalah yang tadi saya samÂpaikan rahasia."
Dalam penyidikan kasus ini, Puspom TNI menetapkan bekas Kepala Dinas Pengadaan TNI AU Marsekal Pertama Fachri Adamy sebagai tersangka. Fachry adaÂlah pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan heli itu.
Tersangka lainnya adalah Letnan Kolonel TNI AU (Adm) WW selaku Pejabat Pemegang Kas, Pembantu Letnan Dua SS selaku staf Pemegang Kas, dan Kolonel FTS selaku Kepala Unit Layanan Pengadaan. Belakangan, Asisten Perencanaan (Asrena) KSAU Marsekal Muda Supriyanto Basuki turut menjadi tersangka.
Sementara dari pihak sipil baru satu orang yang ditetapkanterÂsangka. Yakni Irfan Kurnia Saleh, Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri. Penyidikan pelaku dari kalangan sipil ditangani KPK.
Kilas Balik
Bos Diratama Ajukan Perusahaan Pendamping Ikut Tender Heli
KPK menelusuri transaksi pemÂbayaran uang proyek pengadaan helikopter Agusta Westland (AW) 101. Ratna Komala Dewi,
marketing funding officer Bank BRI cabang Mabes TNI Cilangkap dikorek mengenai hal itu.
Ratna Komala Dewi diperiksa sebagai saksi perkara tersangka Irfan Kurnia Saleh, bos PT Diratama Jaya Mandiri. PT Diratama adalah rekanan yang ditunjuk TNI Angkatan Udara untuk menyediakan helikopter angkut buatan Inggris-Italia itu.
"Bagaimana prosedur pembaÂyaran uang muka heli AW-101. Kapan dilaksanakan, bagaimana pembahasannya, serta beraÂpa anggaran uang muka yang dibayarkan, tengah didalami," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Ratna Komala Dewi dipangÂgil karena mengetahui proses itu. Saksi diminta menjelaskan mengenai sejumlah bukti dan keterangan yang telah dikanÂtongi penyidik.
Namun Febri enggan memÂbeberkan peran yang dilakukan Ratna Komala Dewi. "Pokoknya soal-soal pembayaran uang muka yang menggunakan sarana perbankan," katanya.
Sebelumnya, Ratna Komala Dewi dan Bayu Nurpratama, keduanya
marketing fund ofÂficer BRI Cabang Mabes TNI Cilangkap pernah dipanggil KPK. Keduanya dijadwalkan diperiksa terkait kasus heli AW 101 pada 12 Oktober 2017. Namun mangkir.
Penyidik pun menjadwalkan pemeriksaan keduanya. Baru Ratna Komala Dewi yang diÂpanggil ulang.
Pengusutan kasus heli AW 101 dilakukan lewat mekanisme joint investigation antara KPK dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Pelaku dari kaÂlangan militer ditangani Puspom TNI. Sedangkan KPK menyidik pelaku dari kalangan sipil.
Dalam kasus ini, awalnya Puspom TNI menetapkan emÂpat tersangka. Yakni bekas Kepala Dinas Pengadaan TNI AU Marsekal Pertama Fachri Adamy yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pembelian heli, Kepala Unit Layanan Pengadaan TNI AU Kolonel FTS, Letnan Kolonel WW selaku Pejabat Pemegang Kas, dan Pembantu Letnan Dua SS yang berperan memberikan uang ke sejumlah pihak.
Belakangan, Asisten Perencanaan Kepala Staf TNI AU Marsekal Muda Supriyanto Basuki menyusul ditetapkan sebagai tersangka.
Sementara, Irfan Kurnia Saleh, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri ditetapkan sebagai terÂsangka dari kalangan sipil dan perkaranya ditangani KPK.
Dari hasil penyelidikan berÂsama, diduga tersangka Irfan telah mengatur proses lelang pengadaan heli. Irfan sudah meneken kontrak dengan Agusta Westland pada Oktober 2015, sebelum lelang heli dibuka. Adapun nilai kontrak sebesar 39 juta dolar Amerika atau Rp 514 miliar.
Namun setelah proses lelang dimenangkan pada bulan Juli 2016, PT Diratama mengajukan harga Rp 738 miliar kepada TNI AU. Pembengkakan biaya ini menyebabkan kerugian negara Rp 224 miliar.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengemukakan, tersangka Irfan Kurnia Saleh juga diduga sebagai pengenÂdali PT Karya Cipta Gemilang (KCG). Perusahaan itu menjadi pendamping PT Diratama Jaya Mandiri dalam lelang pengadaan heli AW 101.
Irfan disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. ***
BERITA TERKAIT: