Gugatan praperadilan diaÂjukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Jaksa Agung M Prasetyo.
Organisasi yang dipimpin Boyamin Saiman itu menilai penanganan kasus ini mandek lantaran tak kunjung naik ke tahap penuntutan.
Boyamin menjelaskan, gugaÂtan praperadilan terhadap Kapolri dilayangkan karena Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) tak mampu memenuhi petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU), sehingga berkas perkara selalu dikembalikan dan belum dinyaÂtakan lengkap atau P-21 hingga saat ini.
Sementara Jaksa Agung M Prasetyo digugat karena anak buahnya salah memberikan petunjuk kepada penyidik Bareskrim. Menurutnya, petunjuk jaksa bersifat subyektif dan sulit dipenuhi penyidik Bareskrim.
Boyamin mencurigai kasus korupsi dengan nilai kerugian jumbo ini hendak dialihkan ke persoalan perdata. Lantaran itu, MAKI turut menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Alasannya, lembaga antirasuah tak melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) penanganan perkara ini.
Boyamin berharap dengan gugatan ini masyarakat bisa mengetahui kendala yang dihadapi Polri-Kejagung dalam menunÂtaskan kasus kondensat
"Kami paksa Kapolri dan Jaksa Agung buka-bukaan siapa sebenarnya yang tidak becus meÂnangani perkara, karena tampak selama ini saling lempar tangÂgung jawab," dalihnya.
Kemarin, Boyamin menyerÂahkan salinan gugatan praperaÂdilan kepada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim. Perkara kondensat ditangani direktorat yang dipimpinBrigadir Jenderal Agung Setya itu. "Supaya penyidik lebih siap menghadapi gugatan," katanya.
Sebelumnya, Agung Setya menegaskan perkara ini tak mandek. "Koordinasi dengan jaksa penuntut umum (JPU) terus dilakukan," katanya.
Jenderal bintang satu itu mengungkapkan, penyidik telah empat kali melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Agung. Namun dikembalikan lagi lanÂtaran kejaksaan menilai belum lengkap. "Hal biasa berkas perkara bolak-balik. Penyidik dan JPU bekerja sama menyempurnakan berkas perkara untuk suksesnya penuntutan di pengaÂdilan," ujar Agung.
Hal senada disampaikan Kepala Penerangan Masyarakat Humas Polri Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal. Ia menjelasÂkan, penyidik telah menyelesaiÂkan berkas perkara sesuai arahan kejaksaan.
Berkas perkara dipecah (splitsing) menjadi dua. "Pertama, berkas tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono. Kedua, berkas perkara dengan tersangka Honggo Wendratno," kata bekas Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya itu.
"Namun JPU belum memberikan pernyataan P21 (berkas perkara lengkap) walaupun telah dilakukan ekspose (gelar perkara) bersama," ujar Iqbal. Bareskrim akan mengundang kejaksaan melakukan ekspose bersama lagi.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Adi Toegarisman dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, M Rum tak memberikan tanggapan mengenai bolak-baÂliknya berkas perkara kondensat.
Pada pelimpahan berkas perkaraterakhir, penyidik Bareskrim telah menambahkan keterangansaksi dan ahli. Tersangka Priyono dan Djoko Harsono juga telah diperiksa ulang.
Saat itu, Priyono dan Djoko sudah berstatus tahanan. Sementara tersangka Honggo Wendratno masih di Singapura dan sedang diupayakan pemulangannya.
Bareskrim siap melimpahkan tersangka dan barang bukti jika kejaksaan menyatakan berkas perkara P21. Lagi-lagi, kejakÂsaan mengembalikan berkas perkara ke Bareskrim supaya dilengkapi.
Dalam kasus ini, Bareskrim menetapkan tiga tersangka yakni bekas Kepala Badan Pengelola Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) Raden Priyono, bekas Deputi Finansial BP Migas Djoko Harsono, dan bekas pemiÂlik TPPI Honggo Wendratno.
Priyono dianggap mengabaiÂkan instruksi Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla agar menjual kondensat jatah negara kepada Pertamina. Namun TPPI yang ditunjuk BP Migas malah menÂjualnya kepada pihak lain.
Penunjukan TPPI sebagai penjual kondensat jatah negÂara juga tanpa proses lelang. Padahal TPPI sedang mengalami masalah keuangan.
Penunjukan dilakukan pada Oktober 2008. Sementara perÂjanjian kontrak dengan TPPI baru ditandatangani pada Maret 2009. Uang hasil penjualan konÂdensat sebelum kontrak diteken tak disetor ke kas negara.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 35 triliun.
Para tersangka pun dituduh melakukan korupsi. Mereka dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Kilas Balik
Penyidik Bareskrim Gagal Periksa Bekas Pemilik TPPI Di Singapura Kasus dugaan korupsi penjualan kondensat jatah negara oleh Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) tak kunjung berujung di meja hijau. Bekas perkara tersangka masih bolak-balik Bareskrim-Kejaksaan Agung.
Direktur Tindak Pidana Ekonomidan Khusus Bareskrim, Brigadir Jenderal Agung Setya membenarkan berkas perkara kasus ini dikembalikan untukdiÂlengkapi. "Ada beberapa petunjuk dari jaksa yang perlu dilengkapi," katanya pada Februari 2017.
Salah satunya, keterangan terÂsangka Honggo Wendratno, beÂkas pemilik TPPI. "Dibutuhkan keterangan lanjutan dari tersangÂka yang kini sakit di Singapura," kata Agung.
Penyidik Bareskrim, sebut dia, sudah dikirim ke Singapura untuk menemui Honggo. Namun gagal melakukan pemeriksaan tambahan. Agung juga menÂgaku belum bisa memulangkan Honggo untuk dimintai pertangÂgungjawabannya dalam kasus yang merugikan negara hingga 27 miliar dolar Amerika atau sekitar Rp 35 triliun.
Honggo kini bermukim di Singapura. Ketika kasus ini masih tahap penyelidikan, dia pergi ke negara tetangga dengan dalih akan berobat. Sejak itu tak pernah kembali. Bareskrim akhirnya menerbitkan red notice dan meminta bantuan Interpol untuk memantau keberadaan Honggo di luar negeri.
Kepala Bareskrim Polri, Komisaris Jenderal Ari Dono mengatakan, berkas perkara akan kembali dilimpahkan ke kejakÂsaan setelah keluar hasil audit tambahan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ia menjelaskan, BPK perlu melakukan audit tambahan kerugian negara karena ada perkembangan dalam penyidikan.Kondensat jatah negara ada yang diolah menjadi aromatik lalu dijual TPPI. "Kan harusnya hanya jual kondensat saja. Tapi hasil kondensat bisa diolah jadi aromatik dan ini dijual. Makanya perlu audit tambahan," kata Ari.
Dalam penyidikan kasus ini, Bareskrim menetapkan tiga orang tersangka. Yakni Honggo, Raden Priyono (bekas Kepala BP Migas) dan Djoko Harsono (bekas Deputi Finansial dan Pemasaran BP Migas).
Dua tersangka yang berada di dalam negeri, Priyono dan Djoko kemudian ditahan. Namun peÂnahanan terhadap Priyono tak berlangsung lama.
Pada Mei 2016, Bareskrim memberikan penangguhan penahÂanan terhadap Raden Priyono karÂena menderita sakit. "Tersangka RP mendapat penangguhan penaÂhanan," kata Agung saat itu.
Menurut dia, penangguhan peÂnahanan itu diberikan atas pertimÂbangan kemanusiaan. "Sebelum mendapat penangguhan, kondisinya drop. Sakit," ujarnya.
Berdasarkan riwayat medisyang disampaikan kuasa hukum, Priyono disebutkan mengidap sakit jantung. Tak percaya begitu saja, Bareskrim membentuk tim medis untuk memperoleh
second opinion atas kondisiPriyono. "Hasilnya sama. Tersangka mengidap jantung," kata Agung.
Penyidik gabungan dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus dan Direktorat Tindak Pidana Korupsi sepakat mengabulkan permohonan penangguÂhan penahanan yang diajukan kuasa hukum Priyono.
Apa tak khawatir tersangka kaÂbur? Agung mengatakan Priyono sudah dicekal sehingga tak bisa ke luar negeri. "Kita sudah antisipasi semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi," katanya. ***
BERITA TERKAIT: