Hal itu terungkap di persidanÂgan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta keÂmarin. Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan saksi Ratih Amrin, Direktur Legal dan Corporate Secretary PT Vale Indonesia (dulu Inco).
Ratih mengungkapkan Nur Alam pernah meminta Inco untuk melepaskan lahan konsesi di Blok Malapulu. "Yang saya ketahui ada surat di bulan September dan Oktober 2009. Intinya Pemda minta kalau tidak ada rencana pembangunan (di Blok Malapulu), minta dilepasÂkan," ungkapnya.
Inco memiliki beberapa lahan konsesi di Sulawesi Tenggara. Yakni Blok Lasolo (4.086 hekÂtare), Blok Paopao (6.785 hekÂtare), Blok Torobulu (13.817 hektare) dan Blok Malapulu (3.329 hektare).
Menyikapi permintaan Nur Alam, Inco mengajukan perÂmohonan penciutan lahan konsÂesi ke Kementerian ESDM. "Permintaan itu baru dipuÂtus Kementerian ESDM pada Oktober 2010," kata Ratih.
Restu Kementerian ESDM belum turun, Nur Alam telah lebih dulu menerbitkan persetujuan penÂcadangan wilayah pertambangan 3.329 hektare di Blok Malapulu untuk PT AHB. Persetujuan diberÂikan November 2009.
Lantaran persetujuan yang dibuat Nur Alam, menurut Ratih, terjadi tumpah tindih lahan konÂsensi di Blok Malapulu antara Inco dengan PT AHB sebelum terbit keputusan Kementerian ESDM. Tumpang tindih laÂhan konsesi itu diketahui dari petugas lapangan Inco di Blok Malapulu.
Setelah menyetujui pencadanÂgan wilayah pertambangan PT AHB, Nur Alam lalu menerÂbitkan IUP Eksplorasi pada 17 Desember 2009 dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 815 Tahun 2009.
IUP PT AHB seharusnya baru keluar setelah ada persetujuan penciutan wilayah konsesi PT Inco dari Kementerian ESDM.
Lahan eksplorasi PT AHB ternyata berada di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana. Untuk itu perlu rekomendasi dari Bupati Buton dan Bupati Bombana sebelum IUP diterÂbitkan.
Bupati Buton Sjafei Kahar dan Bupati Bombana Atikurahman dikirimi surat rekomendasi IUP PT AHB yang dikemudian diÂteken dengan tanggal mundur (backdated).
Setelah mendapatkan IUP Eksplorasi, PT AHB diambil alih PT Billy Indonesia melalui Widdi Aswindi, konsultan Nur Alam saat pemilihan gubernur.
PT Billy menguasai 95 persen saham PT AHB. Tiga persen saham milik Widdi. Sisanya, dua persen atas nama Ikhsan Rifani. Saham dua persen atas nama Ikhsan sebenarnya bagian Nur Alam.
Pada Juli 2010, Nur Alam menerbitkan IUP Operasi Produksi untuk PT AHB. Perusahaan itu menambang nikel hingga 7,1 juta metrik ton kurun 2011 hingga 2014. Hasilnya dijual ke PT Richcorp International Ltd dan Well Victory International di Hongkong.
Perbuatan Nur Alam dianggap merupakan negara Rp4,32 triliun atau setidaknya Rp 1,59 triliun. Sebaliknya, memperkaya PT Billy Indonesia Rp1,5 triliun.
Izin PT AHB Digugat Keputusan Nur Alam yang menerbitkan persetujuan penÂcadangan wilayah pertambahan PT AHB bukan hanya terjadi di lahan konsesi Inco. Tapi juga dengan lahan konsesi PT Prima Nusa Sentosa.
PT Prima Nusa Sentosa pun menggugat ketiga izin yang dikeÂluarkan Nur Alam untuk PT AHB. Bukan hanya persetujuan penÂcadangan wilayah pertambangan, tapi hingga izin usaha pertambanÂgan (IUP) Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi PT AHB.
PT Prima Nusa Sentosa meÂnang telak di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kendari. Nur Alam mengajukan banding ke PTUN Makassar. Namun putusan PTUN Makassar justru menguatkan putusan PTUN Kendari.
PTUN Makassar menilai keputusan Nur Alam menerÂbitkan izin-izin kepada PT AHB secara prosedural formal dan substansi materiil bertentanÂgan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor: 1603.K/40/M.EM/2003, serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. ***
BERITA TERKAIT: