Kemarin penyidik komisi antirasuah memanggil bekas Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purnawirawan) Agus Supriatna untuk menjadi saksi tersangka Irfan Kurnia Saleh, bos PT Diratama Jaya Mandiri. Namun Agus tak datang.
"Kami ditugasin sebagai kuasa hukum untuk menyampaikan kepada KPK bahwa Pak AS sudah menerima panggilan itu. Kami sudah beritahu ke KPK bahwa Pak ASsedang umroh," kata Teguh Samudra.
Teguh menjanjikan, Agus akan memenuhi panggilan peÂmeriksaan penyidik KPK setelah kembali. "Insya Allah setelah pulang umroh baru bisa diperÂiksa," katanya.
KPK bisa menerima alasan ketidakhadiran Agus lantaran seÂdang di luar. "Penasihat hukum saksi datang dan memberikan informasi permintaan penjadÂwalan ulang pemeriksaan," kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah.
Menurut Febri, penyidik beÂlum menetapkan jadwal pemangÂgilan ulang terhadap Agus.
Penyidikan kasus heli AW 101 yang dilakukan KPK sempat tersendat lantaran Irfan memÂpersoalkan penetapan dirinya sebagai tersangka. Ia mengguÂgat KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun hakim tunggal PN Jaksel Kusno, menolak seluruh gugatan praperadilan yang diajuÂkan Irfan. Dalam pertimbanganÂnya, Hakim Kusno menganggap petitum yang diajukan pihak termohon (Irfan) tidak beralasan secara hukum.
"Mengingat, seluruh petitum pemohon telah ditolak karena tidak beralasan hukum maka permohonan praperadilan juga harus ditolak seluruhnya," putus Kusno.
Dalam gugatannya, tim penÂgacara Irfan mempermasalahkan penyelidik yang bukan berasal dari kepolisian dan kejakÂsaan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Pihak Irfan menggunakan dasar putusan praperadilan beÂkas Ketua BPK Hadi Purnomo, dimana gugatannya atas status penyidik KPK dikabulkan.
Namun, menurut Kusno, putuÂsan itu telah dibatalkan putusan Mahkamah Agung sehingga puÂtusan tersebut tidak bisa dijadikan alasan hukum. Ia pun menolak petitum soal status penyidik.
Kemudian, tim pengacara Irfan juga menganggap penetaÂpan tersangka tidak sah karena tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka.
KPK membeberkan bukti-bukti berupa Berita Acara Permintaan Keterangan sejumlah saksi, ahli dan dokumen yang menguatkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan heli.
Dokumen tersebut meliputi surat kontrak kerja antara TNI Angkatan Udara dengan PT Diratama Jaya Mandiri, surat kontrak jual-beli heli, hingga suÂrat pernyataan pembatalan pemÂbelian heli oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Irfan juga pernah dimintai keterangan di tingkat penyeÂlidikan. Menurut hakim, bukti-bukti tersebut dapat dianggap memenuhi bukti permulaan yang mengarah ke tindak pidana.
"Dengan demikian, saat pemohon ditetapkan sebagai tersangka, KPK telah menemuÂkan bukti permulaan dan ada peÂmeriksaan atas pemohon berupa berita acara," kata Kusno.
"Sehingga penetapan tersangka oleh KPK telah memenuhi perÂsyaratan sebagaimana disyaratkan MK(Mahkamah Konstitusi)," putus Kusno.
Kilas Balik
Dari Pabrikan Rp 514 M, Dijual Ke TNI AU Rp 738 M Pusat Polisi Militer TNI beÂrencana meminta keterangan bekas Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purnawirawan) Agus Supriatna dalam pengusutan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Agusta Westland (AW) 101.
Agus menjabat sebagai KSAU saat pembelian heli itu dilakuÂkan, sehingga diduga pensiunan jenderal bintang empat itu mengetahui proses pembelian heli pabrikan Inggris-Italia tersebut.
"Nanti kalau memang diperÂlukan pasti kita mintain keteranÂgan," kata Komandan Puspom TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko.
Soal waktu pemeriksaan Agus, Dodik belum bisa memastikan. Namun dia menyatakan bakal menyampaikan jadwal pemerikÂsaan tersebut. jika sudah ditenÂtukan. "Nanti kalau sudah ada kita sampaikan. Kalau belum ya belum," tuturnya.
Dodik mengungkapkan sejauh ini Puspom TNI sudah memerÂiksa 28 saksi untuk dimintai ketÂerangan dalam kasus pembelian heli tersebut. Namun, jenderal bintang dua itu tak merinci siapa saja dan terkait apa saksi-saksi itu diperiksa.
Ia memastikan Puspom TNI akan mengembangkan penyidiÂkan untuk mengungkap sejumÂlah oknum militer yang terlibat pembelian heli yang sebenarnya sudah ditolak Presiden Joko Widodo ini.
Dodik menyebutkan ada banÂyak kejanggalan dalam pembeÂlian heli yang kini disimpan di Lanud Halim Perdanakusuma. Diduga heli yang didatangkan merupakan pesanan negara lain yang dibatalkan.
"Kita akan mengecek sampai ke pabrik di mana heli dibuat," tutur Dodik.
Prajurit matra Angkatan Darat itu memastikan penyidikan kasus pembelian heli yang diÂduga merugikan negara hingga Rp 224 miliar ini tak berhenti pada empat tersangka yang sudah dijerat. Hal tersebut juga sebagai komitmen Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memberantas korupsi. "Rekan-rekan jangan khawatir, ini tak berhenti sampai di aini, masih sangat mungkin muncul terÂsangka baru," tuturnya.
Empat tersangka dari militer di antaranya, bekas Kepala Dinas Pengadaan TNI AU Marsekal Pertama Fachri Adamy yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pemÂbelian heli, Kepala Unit Layanan Pengadaan TNI AU Kolonel FTS, Letnan Kolonel WW seÂlaku Pejabat Pemegang Kas, Pembantu Letnan Dua SSyang berperan memberikan uang ke sejumlah pihak.
Puspom TNI bekerja sama dengan KPK dalam mengusut kasus korupsi pembelian heli ini. KPK menangani pelaku dari kalangan sipil.
Sejauh ini, KPK baru menÂetapkan satu tersangka dari kaÂlangan sipil. Yakni Irfan Kurnia Saleh, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM).
PT Diratama adalah rekanan TNI AU dalam pembelian heli AW 101. Irfan diduga ikut daÂlam skandal yang merugikan negara ratusan miliar rupiah ini. "Setelah dilakukan ekspose, ditetapkan seorang tersangka IKS, selaku Direktur PT DJM," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Basaria menjelaskan pada April 2016, TNI AU membuka lelang pengadaan helikopter AW 101. Lelang hanya diikuti dua perusahaan: PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang.
Berdasarkan hasil penyidikan, proses lelang diduga sudah diaÂtur agar proyek ini jatuh ke tanÂgan PT Diratama Jaya Mandiri. "Baik PT DJM atau PT KCG, dia (Irfan) sudah menentukan. Dia sudah tahu bahwa yang akan dimenangkan adalah PT DJM," beber Basaria.
Sebelum pelaksanaan lelang, Irfan telah mengadakan kontrak kerja sama pembelian dengan produsen heli AW 101 dengan harga Rp 514 miliar per unit.
Sedangkan nilai kontrak pembelian 1 unit heli dengan TNI AU adalah Rp 738 miliar. Sehingga terjadi selisih harga Rp 224 miliar yang dianggap sebagai kerugian negara.
Di tempat terpisah, Ketua KPKAgus Rahardjo menyaÂtakan korupsi dalam pembelian heli ini sangat kentara. "Di internet harganya 21 juta dolar Amerika (per unit). Tapi konÂtraknya mencapai 56 juta dolar Amerika," sebutnya.
Memang ada penambahan spesifikasi heli yang awalnya untuk angkutan VVIP itu. "Ya (ada penambahan) meski tidak banyak," ujar Agus.
Agus memastikan tersangka kasus korupsi kelas kakap ini bakal bertambah. "Baru satu tersangkanya dari swasta," kaÂtanya. ***
BERITA TERKAIT: