Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengungkapkan, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman diduga mengumpulkan uang dari proses perekrutan, pengangkaÂtan, mutasi dan promosi aparatur sipil negara (ASN).
Kasus suap ini melibatkan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Ibnu Hajar; Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Harjanto; Kepala Bagian Umum Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Mokhammad Bisri; dan Kepala SMPNegeri 3 Ngronggot Suwandi.
Dalam kasus ini, KPK menyitauang suap sebesar Rp 298 juta. Uang itu dibungkus plastik hiÂtam yang ditaruh di dalam dua tas. "Faktanya ada dana yang diberikan dan diterima oleh tersangka (Taufiqurrahman)," kata Febri.
Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, Ibnu Hajar dan Suwandi ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan Bisri dan Harjanto sebagai pemberi suap. Kelimanya ditahan usai menjalani pemeriksaan.
Menurut Febri, penyidik masih mengorek keterangan dari Taufiqurrahman mengenai keperluan pengumpulan uang itu.Kabarnya, pengumpulan uang ini untuk keperluan istri Taufiqurrahman, Ita Triwibawati ikut pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Nganjuk 2018.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Jakarta dan Nganjuk, Rabu 25 Oktober 2017, tim KPK menciduk 20 orang. Lima belas orang akhÂirnya dilepas. Termasuk Ita Triwibawati.
Taufiqurrahman ditangkap di sebuah hotel di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Sejak Selasa, dia berada di ibukota untuk menghadiri perÂtemuan seluruh kepala daerah dengan Presiden Joko Widodo di Istana.
Selasa malam, istri Taufiqurrahman yang menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Jombang meÂnyusul ke Jakarta bersama ajuÂdan. Pada tengah malam, Ibnu Hajar, Suwandi dan seorang wartawan berinisial B juga tiba di ibukota dan menginap di hotel kawasan Gambir.
Rabu pagi, Ibnu Hajar dan Suwandi menuju hotel temÂpat Bupati Nganjuk menginap. Rombongan lainnya yang terÂdiri dari SA, lurah yang menÂjadi bakal calon Wakil Bupati Nganjuk; J Sekretaris Camat Tanjung Anom, dan S, bekas Kepala Desa, juga menemui Taufiqurrahman di hotel.
Mereka lalu berkumpul di restoran di hotel. Saat itu terjadi peÂnyerahan uang. Usai pertemuan, Taufiqurrahman, Ita, ajudan dan seorang wartawan keluar hotel.
Sementara rombongan lainnya tetap di hotel dan menitipkan dua tas berisi uang kepada Ibnu Hajar. "Saat itu tim mengamankÂan rombongan (Taufiqurrahman) yang bersiap berangkat. Mereka lalu dibawa ke Gedung KPK unÂtuk diperiksa," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Lima orang yang masih di hotel juga dicocok dan dibawa ke KPK untuk diperiksa. Rabu sore, tim KPK menangkap Mokhammad Bisri yang sedang ada kegiatan di Jalan Sudirman, Jakarta.
Pada hari yang sama, di Nganjuk tim KPK menciduk delapan orang. Mereka dibawa ke markas Kepolisian Resor (Polres) Nganjuk untuk menÂjalani pemeriksaan.
Setelah pemeriksaan awal, kepala sekolah berinisial T dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk, Harjanto dibawa ke Jakarta. Mereka menÂjalani pemeriksaan lanjutan di gedung KPK.
Kilas Balik
Bupati Klaten Ikhlas Dipenjara 11 Tahun Jual-Beli Jabatan
Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini batal mengajukan bandingatas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. Ia menerima dihukum11 tahun penjara.
Deddy Suwadi, kuasa huÂkum Sri Hartini mengungkapÂkan, sedianya berkas permoÂhonan bandingakan dikirim ke Pengadilan Tipikor Semarang pada Rabu, 27 September 2017.
"Tapi Rabu siang Ibu minta ketemu lagi. Ternyata nggak jadi banding. Ibu menerima (vonis)," katanya.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor memvonis Sri Hartini dipenjara 11 tahun penjara dan didenda Rp 900 juta subsider 10 bulan kurungan. Sri Hartini terÂbukti menerima suap, gratifikasi dan melakukan pemotongan dana bantuan keuangan desa.
"Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Antonis Widjantono.
Sri Hartini dinyatakan terbukti menerima suap dalam pengisian Satuan Organisasi Tata Kerja (SOTK) di Kabupaten Klaten dengan total Rp 2,9 miliar, sebaÂgaimana dakwaan pertama.
Kemudian Sri Hartini juga dinilai terbukti menerima gratiÂfikasi sebagaimana dakwaan kedua. Pemberian itu berkaitan dengan pencairan dana bantuan keuangan desa, titipan dalam penerimaan calon pegawai di BUMD, mutasi kepala sekoÂlah, serta
'fee' proyek di Dinas Pendidikan.
Total gratifikasi yang tidak pernah dilaporkan bupati yang belum genap setahun menjabat saat ditangkap KPK itu menÂcapai Rp 9,8 miliar. "Terdakwa secara sadar melakukan tindak pidana korupsisecara berlanjut," ujar ketua majelis.
Menurut pertimbangan majeÂlis hakim, Sri terbukti melanggar ketentuan pasal 12 huruf AmenÂgenai suap, dan kasus gratifikasi seperti dimuat dalam pasal 12B Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan korupsi terdakwa juga dilakukan secara berlanjut sebagaimana disebutÂkan dalam pasal 64 KUHP.
Vonis ini lebih ringan setaÂhun dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta majelis menjatuhÂkan pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Sri Hartini mengajukan diri sebagai
justice collaborator (JC) untuk mengurangi hukumanÂnya. Namun KPK menolaknya. Alasannya, Sri adalah pelaku utama dalam kasus suap dan gratifikasi di Kabupaten Klaten.
"Karena sebagai pelaku utaÂma, pengajuan
justice collaboraÂtor tidak dikabulkan," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Afni Karolina.
Sri yang dilantik pada Februari 2016 itu ditangkap KPK pada Jumat, 30 Desember 2016. Dari operasi tangkap tangan itu, komisi anti rasuah menyita uang dalam kardus sekitar Rp 2 miliar. Dari penggeledahan selanjutnya, KPK juga menyita uang Rp 3,2 miliar dari rumah dinasnya.
Sebanyak Rp 200 juta di antaranya adalah suap dari Suramlan, Kepala Seksi SMPDinas Pendidikan Kabupaten Klaten. Suramlan pada Mei lalu divonis 1,8 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Dia terbukti memberikan suap jabatan keÂpada Sri sebesar Rp200 juta.
Menurut Deddy, Sri Hartini akan membantu KPK mengungkap kasus-kasus korupsi yang terjadi di Klaten. "Meski
justice collaborator Hartini diÂtolak tapi tetap kooperatif jika nanti dibutuhkan keterangan. Kami akan bantu sesuai dengan yang dipahami dan diketahui," katanya.
KPK memang sedang mengusut kasus sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten yang pernah memÂberikan suap dan gratifikasi kepada Sri Hartini. Sri yang dilantik pada Februari 2016 itu ditangkap KPK pada Jumat, 30 Desember 2016.
Dari OTT itu, KPK menyiÂta uang dalam kardus sekitar Rp 2 miliar. Dari penggeledahan selanjutnya, KPK juga menyita uang Rp 3,2 miliar dari rumah dinasnya. ***
BERITA TERKAIT: