Saat itu, Firmansyah menjabat direktur utama BUMN itu. Ia tak sendirian tersandung kasus. Semua jajaran direksi di era Firmansyah juga ditetapkan sebagai tersangka.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Warih Sadono menyatakan, empat terÂsangka yang ditetapkan sebagai tersangka adalah bekas Direktur Utama Muhammad Firmansyah Arifin, bekas Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha Muhammad Yahya, bekas Direktur Produksi, I Wayan Yoga Djunaedy, dan bekas Direktur Administrasi dan Keuangan Nana Suryana Tahir.
Keempat tersangka dituduh melakukan korupsi dalam pekerjaanpembuatan tangki penÂdam yang memakan anggaran Rp 179 miliar. Dalam proses penyidikan, kejaksaan menemuÂkan pengerjaan proyek tersebut ternyata fiktif.
Kasus bermula saat PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) menandatangani kontrak dengan PT Berdikari Petro pada Agustus 2010. Kontrak itu berkaitan dengan pekerjaan pembangunan tangki pendam di Muara Sabak, Jambi. Adapun nominal proyek tersebut mencapai Rp179,928 miliar.
Namun dalam pelaksanaanÂnya, PT Dok dan Perkapalan Surabaya justru melakukan subkontrak pekerjaan kepada peÂrusahaan Singapura, AE Marine, Pte Ltd. Dalam subkontrak pekerjaan ini, jaksa menemukan data tentang adanya dugaan rekayasa bobot fiktif pada pemÂbangunan tangki pendam.
Anehnya, PT Dok dan Perkapalan Surabaya saat itu memutuskan untuk melakukan transfer dana sebesar 3,96 juta dolar Amerika kepada AE Marine, Pte Ltd. "Setelah diteliti, transfer dana itu ternyata tidak berkaitan dengan proyek tangki pendam. Tidak ada pekerjaan di lapangan atau di lokasi," kata Warih
Diduga, anggaran yang dikirim perusahaan perkapalan milik negara ini digunakan untuk membayar kekurangan pembuaÂtan dua kapal milik Pertamina kepada Zhang Hong, Pte Ltd. Padahal, anggaran pembuatan duakapal itu telah memiliki pos anggaran tersendiri.
"Kontrak dengan Zhang Hong itu diduga tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan barang atau jasa sehingga merugikan PT Dok dan Perkapalan Surabaya," ujar Warih.
Atas pengadaan proyek fiktif tersebut, sambungnya, penyidik kejaksaan menemukan angka kerugian negara yang diperÂkirakan mencapai 4 juta dolar Amerika.
Warih belum bersedia menjabarkan peranan empat tersangka yang berasal dari lingkup direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya.
"Masih dalam pengembangan untuk kepentingan menemukanketerlibatan pelaku lainnya," bekas Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
Warih juga belum mau meÂmaparkan bagaimana peranan dan dugaan penyelewengan oleh pihak swasta di dalam proyek tersebut.
Menurut dia, sebelum melakuÂkan penetapan status tersangka pada empat orang bekas peÂjabat PT Dok dan Perkapalan Surabaya, penyidik telah meÂmanggil dan memeriksa saksi dari pihak perusahaan rekanan. Termasuk Frederick W Darwin, pekerja swasta.
Sampai saat ini, beber Warih dia, sedikitnya sudah 20 orang saksi yang diperiksa penyidik gedung bundar Kejaksaan Agung terkait kasus ini.
Kilas Balik
Terima Rp 14 Miliar Dari Proyek Kapal Perang Filipina, Firmansyah Diciduk KPK
Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) Muhammad Firmansyah Arifin menjadi tersangka suap transaksi ekspor kaÂpal perang Strategic Sealift Vessel (SSV) ke Filipina. Firmansyah dicokok KPK dari kantor PAL di Surabaya dan dibawa ke Jakarta, Kamis, 30 Maret 2017.
Firmansyah diduga terlibat suap terkait cashback atau pemÂberian untuk pejabat PT PAL terkait dengan pembayaran fee agency penjualan dua kapal.
Nilai kontrak penjualan kapal sekitar Rp1 triliun atau 86,90 juta dollar Amerika. Adapun dari nilai transaksi ini, komitmen fee yang diperoleh pejabat PT PAL sekitar 1,25 persen dari nilai kontrak atau 1,087 juta dolar Amerika atau sekitar Rp14,4 miliar.
Sebelum menjadi orang noÂmor satu di PT PAL, Firmansyah menjabat direktur utama PT Dok dan Perkapalan Surabaya. Tahun 2012, Firmansyah digeser ke PT PAL.
Lulusan jurusan Teknik Perkapalan Institut Teknologi Surabaya itu menggantikan Harsusanto dari kursi dirut PT PAL. Karier Harsusanto terpuruk karena perusahaan pelat merah itu tak bisa lepas dari jerat utang.
Dalam sebuah wawancara dengan The World Folio, Firmansyah mengklaim secara perlahan mampu melepaskan PT PAL dari persoalan finansial.
Ketika mulai berkantor di kawasan Ujung Surabaya, kanÂtor pusat PT PAL, Firmansyah menemukan laporan keuangan perusahaan itu selalu negatif dalam lima tahun terakhir.
"Bahkan bank tidak memperÂcayai kami lagi karena mengira PT PAL tidak mampu mengelola bisnis," katanya.
Tahun 2016, ketika PT PAL merayakan hari jadi, Firmansyah mengklaim berhasil mencatat seÂjarah karena mampu mengekspor alutsista laut buatan Indonesia pertama, yakni Kapal SSV 603. Kapal perang itu dipesan khusus pemerintah Filipina.
Kini, Firmansyah menjadi pesakitan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. Jaksa penuntut umum KPK mendakwa Firmansyah menerima suap dari perusaÂhaan perantara Ashanti Sales Incorporated (Inc).
Ashanti Sales Inc adalah agen dalam proyek pembuatan dua kapal perang jenis SSV unÂtuk Kementerian Pertahanan Filipina. Perusahaan itu mendaÂpat fee 4,75 persen dari proyek ini. Sebagian fee itu lalu diberiÂkan untuk direksi PT PAL.
Ashanti Sales Inc memberi suap kepada direksi PT PAL melalui Kirana Kotama, pemilik PT Perusa Sejati.
Dalam penyidikan kasus suap ini, KPK juga menemukan bukti Saiful selaku Direktur Desain dan Teknologi, merangkap Direktur Keuangan PT PAL menerima gratifikasi uang denÂgan jumlah keseluruhan Rp 3,7 miliar dan 80 ribu dolar Amerika dari para perusahaan yang menÂjadi subkontraktor atau supplier yang telah mengerjakan pekerÂjaan pemeliharaan dan perbaikan di PT PAL Indonesia.
Kasus suap ini terungkap saat penyidik KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada akhir Maret lalu. Hasil OTT itu, KPK menetapkan empat orang tersangka yakni General Manager Treasury PT PAL Arif Cahyana, Firmansyah, Saiful, dan Agus Nugroho, seorang perantara Ashanti Sales.
Persidangan perkara Firmansyah masih berlangsung di Pengadilan Tipikor Surabaya. ***
BERITA TERKAIT: