Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengusaha Hotel Diperiksa, Ngaku Pernah Transaksi Dengan Tersangka

Kasus Suap Walikota Batu Eddy Rumpoko

Kamis, 12 Oktober 2017, 10:50 WIB
Pengusaha Hotel Diperiksa, Ngaku Pernah Transaksi Dengan Tersangka
Walikota Batu Eddy Rumpoko/Net
rmol news logo Direktur Utama Hotel Ijen Suites yang juga sekaligus Kepala Staf Ketua Umum PSSI, Iwan Budianto, menjalani pemeriksaan penyidik KPK. Iwan diperiksa sebagai saksi kasus suap Walikota Batu Eddy Rumpoko.
Selamat Berpuasa
 
 Usai menjalani pemeriksaan penyidik, Iwan mengaku ditanya sejumlah hal. Termasuk soal hubungannya dengan Eddy. Iwan mengaku memang sudah lama mengenal Eddy.

"Beliau sebelum jadi walikota kanpengusaha, jauh mungkin di tahun 1997 atau 1998. Saya sudah mengenal beliau sebelum menjadi kepala daerah, ketikabeliau menjadi pengusaha properti yang cukup besar. Saya pernah membeli properti dengan dia," kata Iwan di gedung KPK, Jakarta tadi malam.

Ia pun heran dianggap terkait dengan kasus yang menjerat Eddy. Iwan yang juga bekas CEO klub sepakbola Arema FC itu hanya mengaku bahwa dia memang diperiksa sebagai saksi karena posisinya sebagaiDirektur Utama Hotel Ijen Suites.

"Itu juga jadi pertanyaan saya, apakah di tempat saya sebagai tempat kejadian perkara. Saya diundang sebagai direktur hotel itu, ya karena saya memang seba­gai direktur di sana," ujar dia.

Eddy Rumpoko ditangkap KPK karena diduga menerima suap terkait proyek di lingkunganPemda Kota Batu. Sebagian uang itu diduga digunakan Eddy untuk melunasi pembelian mobil Alphard.

Iwan pun mengaku tidak tahu saat disinggung apakah mobil Eddy tersebut dibeli atas nama perusahaan miliknya. Menurut Iwan, hal tersebut juga tidak ditanyakan oleh penyidik.

"Apakah mengetahui bahwa Alphard itu dibeli menggunakan atas nama ini, saya tidak tahu. kami tidak pernah dimintai izin," ujar Iwan.

Saat ini, Eddy sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap untuk memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek di Pemkot Batu. Eddy sendiri membantah mengenai hal tersebut.

Sebagaimana diketahui, Eddy terjaring operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 16 September 2017 lalu. Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Pemkot Batu Edi Setyawan dan Direktur PT Dailbana Prima Filipus Djap turut diciduk.

Eddy diduga menerima suap dari Filipus Djap sebesar Rp 500 juta. Sebanyak Rp 300 dari suap itu digunakan Eddy untuk melu­nasi mobil Alphard miliknya.

Sementara itu, Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Edi Setyawan diduga menerima suap sebesar Rp 100 juta. Suap itu terkait dengan proyek belanja modal dan mesin pengadaan mebelair di Pemkot Batu tahun anggaran 2017 senilai Rp 5,26 miliar, yang dimenangkan PT Dailbana Prima.

Eddy Rumpoko dan Edi Setyawan sebagai pihak yang diduga penerima suap, disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seba­gaimana diubah dengan UUNomor 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Filipus sebagai pihak yang di­duga pemberi suap, disangka me­langgar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayar (1) huruf b atau Pasal 13 UUNomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UUNomor 20 Tahun 2001 junto 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Eddy membantah telah menerimauang suap dari Filipus Djap, yang menenangkan tender pengadaan mebeliar Pemkot Batu. Ia juga menampik uang untuk melunasi mobil Alphard berasal dari Filipus. "Alphard-nya sudah lunas. Enggak tahu duitnya dari mana. Saya enggak tahu. Enggak nerima saya. Itu kepunyaan peru­sahaan," katanya.

Kilas Balik
Bupati Klaten Dipenjara 11 Tahun Terima 'Setoran' Rp 12,7 Miliar

Bupati Klaten Sri Hartini divonis 11 tahun penjara dan denda Rp 900 juta subsider 10 bulan kurungan. Ia terbukti menerima suap, gratifikasi dan melakukan pemotongan dana bantuan keuangan desa sebesar Rp 12,7 miliar.

"Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dan ditam­bahkan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Antonis Widjantono.

Sri Hartini dinyatakan terbukti menerima suap dalam pengisian Satuan Organisasi Tata Kerja (SOTK) di Kabupaten Klaten dengan total Rp 2,9 miliar, sebagaimana dakwaan pertama.

Kemudian Sri Hartini juga dinilai terbukti menerima grati­fikasi sebagaimana dakwaan kedua. Pemberian itu berkaitan dengan pencairan dana bantuan keuangan desa, titipan dalam penerimaan calon pegawai di BUMD, mutasi kepala seko­lah, serta 'fee' proyek di Dinas Pendidikan.

Total gratifikasi yang tidak pernah dilaporkan bupati yang belum genap setahun menjabat saat ditangkap KPK itu men­capai Rp 9,8 miliar. "Terdakwa secara sadar melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut," ujar ketua majelis.

Menurut pertimbangan maje­lis hakim, Sri terbukti melanggar ketentuan pasal 12 huruf Amen­genai suap, dan kasus gratifikasi seperti dimuat dalam pasal 12B Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan korupsi terdakwa juga dilakukan secara berlanjut sebagaimana disebut­kan dalam pasal 64 KUHP.

Baik jaksa penuntut dan ter­dakwa, menyatakan pikir-pikir dengan vonis ini. "Saya meminta waktu untuk pikir-pikir yang mulia," ujar Sri.

Vonis ini lebih ringan seta­hun dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta majelis menjatuh­kan pidana penjara selama†12 tahun dan denda Rp 1 miliar.

Sri Hartini mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) untuk mengurangi huku­mannya. Namun KPK meno­laknya. Alasannya, Sri adalah pelaku utama dalam beberapa kasus suap dan gratifikasi di Kabupaten Klaten.

"Karena sebagai pelaku uta­ma, pengajuan justice collabora­tor tidak dikabulkan," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Afni Karolina.

Penasihat hukum Sri Hartini, Deddy Suwadi menilai vonis ini cukup berat. "Hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta terjadi selama persidangan," kata Deddy.

Menurut dia, tindak suap tersebut terjadi karena kebiasaanyang terjadi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Klaten. Ia menilai kliennya berada dalam posisi pasif.

"Uang syukuran yang diberi­kan berkaitan dengan kebi­asaan yang terjadi selama ini," katanya.

Sri yang dilantik pada Februari 2016 itu ditangkap KPK pada Jumat, 30 Desember 2016. Dari operasi tangkap tangan itu, komisi anti rasuah menyita uang dalam kardus sekitar Rp 2 miliar. Dari penggeledahan selanjutnya, KPK juga menyita uang Rp 3,2 miliar dari rumah dinasnya.

Sebanyak Rp 200 juta di antaranya adalah suap dari Suramlan, Kepala Seksi SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten. Suramlan pada Mei lalu divonis 1,8 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Dia terbukti memberikan suap jabatan ke­pada Sri sebesar Rp 200 juta.

Sebelum menjadi Bupati Klaten, Sri Hartini adalah Wakil Bupati Klaten 2010-2015 dan berpasangan dengan Bupati Sunarna yang menjabat dua pe­riode (2005 -2015). Sri Hartini adalah istri bekas Bupati Klaten periode 2000-2005, Haryanto Wibowo. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA