Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengungkapÂkan, penyidik sudah menerima pemberitahuan dari pihak Rita mengenai ketidakhadiran meÂmenuhi panggilan pemeriksaan. "Tersangka KHR juga belum bisa memenuhi panggilan hari ini (kemarinóred)," sebutnya
Kepala Bagian Publikasi dan Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha menambahkan, penyidik bakal memanggil ulang kedua terÂsangka. "Sudah dijadwalkan untuk dipanggil ulang," katanya.
Kapan? "Tentu secepatnya," tandas Priharsa.
KPK menetapkan Rita sebagai tersangka karena diduga menÂerima gratifikasi hingga Rp6,97 miliar. Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, mengatakan penetapan Rita itu berdasarkan pengembangan atas bukti perÂmulaan yang cukup atas dugaan tindakan pidana korupsi.
Basaria mengatakan selain Rita, pihaknya pun menetapkan Komisaris PT Media Bangun Bersama, Khairudin, dan Heri Susanto Gun yang merupakan Direktur Utama PT Sawit Golden Prima (SGP) sebagai tersangka.
"Indikasi peran ketiga tersangka tersebut, HSG memberikan seÂjumlah Rp6 miliar terkait dengan pemberian izin operasi untuk kepÂerluan inti dan plasma perkebunan kelapa Sawit di desa Kupang Baru, Kecamatan Muara Kaman kepada PT SGP," ujar Basaria daÂlam jumpa pers di Gedung KPK, 28 September 2017.
"Suap diduga diterima sekitar bulan Juli dan Agustus tahun 2010, dan diindikasikan ditujuÂkan untuk memuluskan proses perizinan lokasi terhadap PT SGP," ungkap Basaria.
Selain itu, Rita diduga menyalahÂgunakan jabatannya sebagai buÂpati bersama Khairudin menerima gratifikasi pada sejumlah proyek di Kutai Kartanegara hingga sebesar US$775 ribu atau Rp 6,97 miliar
Rita disangka melanggar Pasal 12 huruf a, atau Pasal 12 huruf b, atau Pasal 11 Undang Undang Tipikor.
Sedangkan Hari sebagai pemÂberi suap dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a, atau Pasal 5 ayat 1 huruf b, atau Pasal 13 UU Tipikor. Sementara, Khairudin dalam dugaan penerimaan suap bersama Rita diduga melanggar Pasal 12 huruf B UU Tipikor.
Ditetapkan sebagai tersangka, Heri alias Abun akhirnya angkat bicara. Abun menjelaskan pemÂberian uang kepada Rita murni urusan jual beli emas, bukan gratifikasi seperti yang dituduhÂkan KPK.
"Itu hanya jual beli emas. Hal ini juga sebenarnya sudah pernah diperiksa KPK, yang saat itu pimpinan KPK sebelumnya. Semua saksi juga sudah diperikÂsa," ujar Abun di Kota Samarinda, Kaltim, Selasa (3/10).
Ia menjelaskan pada 2010, Abun membeli emas 15 kg milik Rita seharga Rp 6 miliar lebih. Jual beli itu dilakukan legal, dan ditransfer lewat bank. "Makanya, hal ini juga sudah saya jelaskan ke pimpinan KPK lama. Hasil pemeriksaannya juga masih ada. Saat itu ada pemeriksaan dari Dinas Perkebunan hingga Dinas Pertanahan," katanya.
Heri menjelaskan perusahaanÂnya PT SGP sudah lama tak menghasilkan untung. "PT SGP itu perusahaan merugi. Tak bisa diapa-apakan. Masih menunggu izin, dari awal hingga sekarang. Izinnya sama sekali belum seleÂsai," bebernya.
Penjelasan Heri dibenarkan Rita. Ia menegaskan transferan uang dari Heri bukan gratifikasi. Tapi untuk pembayaran jual-beli emas. "Atas nama keadilan dan kebenaran yang semoga masih ada di negeri ini. Saya berani sumpah apapun, bahwa ini jual beli emas," tulis Rita dalam akun Facebook Rita Widyasari, Rabu 4 Oktober 2017.
"Saya dituduh menerima uang dari Bapak Abun ini tanggal 22 Juli 2010 melalui transfer dan 5 Agustus. Saya tanda tangan izin Abun 8 Juli, seminggu pasca menjadi Bupati (periode) pertama," paparnya.
Rita mengungkapkan, Abun pada saat pilkada adalah penduÂkung calon lain. Jadi Rita tidak mau menerima apapun dari yang bersangkutan. "Karena (ini) jual beli emas saya minta ditransfer, dan itulah saya dikatakan terima gratifikasi," tandasnya lagi.
Mengenai PT Citra Gading yang disebut-sebut memberikan uang ke Khairudin untuk dirinya, Rita meminta hal itu dibuktikan. "Jangan hanya katanya, katanya, hukum itu harus adil. Saya hanya mengelus dada atas pemberitaan yang ada," ujarnya.
Rita yakin, tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada diÂrinya tidak akan terbukti. "Saya katakan sekali lagi, penetapan saya sebagai tersangka terlalu terburu-buru. Saya akan samÂpaikan pada dunia saya tidak bersalah, saya tidak korupsi," tegasnya.
Kilas Balik
Sakit Permanen, Syaukani Dapat Grasi Rita Widyasari ditetapkan seÂbagai tersangka kasus korupsi. Status ini bakal mengganjalnya mengikuti pemilihan gubernur (pilgub) Kalimantan Timur. Padahal, Partai Golkar telah resmi mengusungnya menjadi calon gubernur untuk perhelatan 2018 nanti.
Nasib serupa pernah dialaÂmi ayahnya, Syaukani Hasan Rais. Pria yang akrab disapa Pak Kaning sudah dua periode menÂjabat Bupati Kutai Kartanegara dan ingin ìnaik kelasî menjadi gubernur. Partai Golkar pula yang mengusungnya menjadi calon guÂbernur di Pilgub Kaltim 2008.
Karier politik Syaukani terÂjerembap lantaran dia dijerat KPK. Syaukani ditetapkan seÂbagai tersangka kasus korupsi. Sempat mangkir dari pangÂgil KPK dengan dalih tengah menjalani perawatan, Syaukani dijemput paksa untuk menjalani pemeriksaan.
Kasusnya bergulir sampai ke pengadilan. Syaukani didakwa melakukan perbuatan yang bertenÂtangan dengan peraturan yaitu menÂetapkan dan menandatangani Surat Keputusan (SK) tentang Penetapan Pembagian Uang Perangsang atas Penerimaan daerah terhadap minÂyak bumi dan gas bumi sejumlah Rp 27,843 miliar.
Tindakan ini memperkaya diri sendiri dan juga orang lain orang lain sebanyak Rp 65,360 miliar. Dalam kasus ini, negara dirugikan mencapai Rp 93,204 miliar.
Tak hanya itu, Syaukani didakÂwa melakukan penunjukan langÂsung pekerjaan studi kelayakan pembangunan bandar udara Loa Kulu. Dalam pelaksanaannya Syaukani mengambil dan mengÂgunakan dana pembangunan banÂdar udara yang berasal dari APBD Kutai Kartanegara tahun 2004.
Syaukani dianggap memÂperkaya dirinya sebanyak Rp15,250 miliar dan Vonnie APanambunan, Direktur PT Mahakam Diastar Internasional sebanyak Rp 4,047 miliar dari proyek tersebut.
Terakhir, Syaukani didakÂwa menggunakan dana kesÂejahteraan rakyat/bantuan sosial yang berasal dari APBD Kutai Kartanegara 2005 sehingga memperkaya dirinya sebanyak Rp7,750 miliar.
Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), perbuatan Syaukani telah meÂnyebabkan kerugian negara denÂgan total Rp120,251 miliar.
Jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Syaukani diÂjatuhi hukuman penjara seÂlama 8 tahun, denda Rp250 juta subsider 5 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp35.593.988.279,95 subsider satu tahun penjara.
Namun Pengadilan Tipikor Jakarta dalam putusan perkara nomor 11/PID.B/TPK/2007/ PN.JKT.PST, tanggal 14 Desember 2007 hanya menghuÂkum Syaukani dihukum penÂjara 2,5 tahun, denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp34.117.938.279,95 subsider satu tahun penjara.
Di tingkat banding, vonis penjara yang dijatuhkan kepada Syaukani. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan perkara nomor hanya mengubah denda yang harus dibayarkan Syaukani. Jadi Rp250 juta subÂsider 5 bulan kurungan.
Kalah di tingkat banding, Syaukani mengajukan kasasi. Mahkamah Agung (MA) malah memperberat hukuman Syaukani menjadi 6 tahun penjara. Uang pengganti yang harus dibayarÂkan Syaukani juga ditambah menjadi Rp 49.367.938.279,95 subsider tiga tahun penjara. Putusan perkara nomor 868 K/ Pid.Sus/2008 itu diketuk pada 28 Juli 2008. Upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) juga ditolak.
Syaukani dikeluarkan dari Lapas Cipinang setelah mendaÂpat grasi. Presiden SBY memÂberikan diberikan grasi dengan pertimbangan kemanusiaan. Syaukani menderita sakit perÂmanen. Terhitung sejak 18 Agustus 2010, Syaukani bebas.
Sempat dirawat di Singapura, kesehatan Syaukani tak kunjung pulih. Syaukani mengembuskan napas terakhir pada 27 Juli 2016 dalam usia 67 tahun. ***
BERITA TERKAIT: