"Menetapkan ASW selaku Pejabat Bupati 2007-2009 dan Bupati Konawe Utara periode 2011-2016 sebagai tersangka," ujarWakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers kemarin.
Menurut Saut, Aswad diduga menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain dan korporasi terkait pemberian izin kuasa perÂtambangan eksplorasi, eksploitasi,serta izin operasi produksi nikel di Kabupaten Konawe Utara pada 2007-2014.
Saut membeberkan, pada 2007 ketika menjadi Pejabat Bupati Konawe Utara, Aswad mencabut izin tambang milik PT Antam.
"Tersangka diduga secara sepÂihak mencabut kuasa pertambanÂgan milik PT Antam yang berada di Kecamatan Langgikima dan Kecamatan Molawe," ujarnya.
Aswad lalu menerima pengajuan permohonan kuasa pertambangan (KP) eksplorasi dari perusahaan atas lahan konsesi milik PT Antam. "ASW menerÂbitkan 30 SK (surat keputusan) kuasa pertambangan eksplorasi. Diduga, ASW menerima uang dari masing-masing perusaÂhaan," kata Saut.
"ASW selaku pejabat Bupati Konawe Utara periode 2007-2009, diduga telah menerimauang Rp 13 miliar," lanjut Saut.
Namun Saut tak bersedia mengungkapkan perusahaan apa saja yang mendapat izin dengan menyuap Aswad. "Tadi kita sebut ada beberapa company. Beberapa company tersebut masih kita dalami," elaknya.
Dari beberapa SK kuasa perÂtambangan yang diterbitkan Aswad, ada yang diteruskan hingga tahap produk biji nikel atau ore dan diekspor ke luar sampai 2014.
Akibatnya negara dirugikan atas perbuatan Aswad yang menerbitkan izin tambang keÂpada perusahaan-perusahaan itu. "Indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya sebesar Rp 2,7 triliun, yang berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh akibat perizinan yang melawan huÂkum," kata Saut.
Aswad bakal dijerat denganPasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah denganUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kabupaten Konawe Utara terkenal dengan hasil tambang nikel. Wilayah tersebut menÂjadi penghasil nikel terbesar di Sulawesi Tenggara.
Sejumlah perusahaan yang mengeruk nikel di wilayah itu, di antaranya PT Unaaha Bakti Persada, Konawe Nikel Nusantara (KNN), Bososi Pratama Nikel, Bumi Karya Utama (BKU), Dwi Multi Guna Sejahtera (DMS).
Kemudian Tristako, Singa Raja, PT Kimko, PT Seicho, PT Duta, PT Masempo Dalle, Cv Eka Sari Indah, PT Titisan Berkah, PT CDS, PT MPM, PT Konawe Bumi Nunsantara (KB), dan PT Surya Tenggara.
Sehari sebelum mengumumÂkan penetapan Aswad sebagai tersangka, penyidik KPK mengÂgeledah rumah pribadi Aswad di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Penggeledahan diÂlanjutkan ke kantor Bupati Konawe Utara.
Penyidik mencari dokumen-dokumen terkait penerbitan izin tambang kepada sejumlah peruÂsahaan yang dilakukan di masa Aswad menjabat bupati.
Kilas Balik
KPK Gandeng BPK Dan Ahli ITB Hitung Kerugian Kasus Nur Alam
Gubernur Sulawesi Tenggara Nur A lam juga terjerat kasus penerbitan izin tambang. Akibat perbuatannya negara diduga dirugikan triliun rupiah.
Untuk menghitung kerugian negara itu, penyidik KPK dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dikirim ke Sultra. "Tim penyidik bersama BPK melakuÂkan pengecekan fisik lokasi tambang di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Dalam cek fisik ini, penyidik juga melibatkan ahli lingkungan hidup dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Sementara unÂtuk mendapatkan informasi lebih banyak, penyidik dan tim BPK mendatangi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tenggara.
Dalam perkara ini, Nur Alam diduga melakukan perbutan melawan hukum dan menyÂalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi.
Selain itu, Nur Alam juga menerbitkan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah, selaku perusahaan yang melakukan penambangannikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
Nur Alam diduga menerima suap terkait penerbitan izin kepada PT Anugrah Harisma Barakah itu. Perbuatan itu dianggap merugikan negara hingga Rp3,3 triliun.
Hal itu terungkap dalam perÂsidangan praperadilan yang diaÂjukan Nur Alam di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Hasil penghitungan ahli ITB memÂpertimbangkan dampak lingÂkungan hidup, kerugian semenÂtaranya Rp3.359.192.670.950," papar Kepala Biro Hukum KPK Setiadi.
Penghitungan kerugian lingÂkungan itu menjadi salah satu alat bukti bahwa keputusan Nur Alam mengeluarkan IUP untuk PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) menyebabkan kerugian materil.
Sebelumnya, pengacara Nur Alam, Maqdir Ismail memperÂsoalkan penetapan tersangka kliennya tanpa disertai penghiÂtungan kerugian negara.
Menurut Setiadi, penghitungankerugian negara tak perlu dihiÂtung pada tingkat penyelidikan selama bukti-bukti yang ada mengarah terjadinya potensi kerugian negara.
"Timbulnya akibat korupsi berupa kerugian negara tidak harus nyata terjadi. Tapi dibukÂtikan dengan potensi terjadinya kerugian negara yang terpenuhi dalam penyidikan," kata dia.
Mengenai lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara, KPK tak terbatas pada Badan Pemeriksa Keuangan. Selama ini, KPK banyak menggunakan jasa audit dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kedua lembaga tersebut, kata Setiadi, sama-sama berwenang melakukan audit dan penghiÂtungan kerugian negara sesuai undang-undang. "Potensi keruÂgian negara akan dilengkapi agar penghitungan kerugian negara komperhensif didasarkan bukti-bukti," ujar Setiadi.
Meski belum selesai dihitung, Setiadi menegaskan bahwa tindakan Nur Alam yang mengeÂluarkan IUP di Sultra berpotensi menyebabkan kerugian negara. "Potensi kerugian negaranya ada, potensi kerugian lingkunÂgan juga ada. Kerugian negara pun nanti ada, tapi itu belum fix," kata Setiadi. ***
BERITA TERKAIT: