Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan penyidik telah menjadwalkan ulang peÂmeriksaan terhadap Kaswanto. Sedianya, Kaswanto diperiksa pada Rabu 13 September 2017 lalu. Namun dia tak datang.
Penyidik pun menjadwalkan ulangpemeriksaan Kaswanto pada Jumat, 22 September 2017. Lagi-lagi, Kaswanto tak nongol.
Febri mengimbau Kaswanto bersikap kooperatif. Ada konÂsekuensi bagi pihak yang beruÂlang kali tak memenuhi panggiÂlan KPK. Mulai dijemput paksa hingga dianggap menghalangi penyidikan.
Kaswanto hendak diperiksa penyidik KPK sebagai saksi kasus suap hakim Dewi Suryana. Kaswanto dan Dewi Suryana adalah majelis hakim yang menangani perkara korupsi Wilson.
"Kesaksian hakim KS diperÂlukan untuk melengkapi berkas perkara tersangka hakim DS," kata Febri. "Saksi pernah menjaÂbat sebagai ketua majelis hakim yang menangani perkara korupsi terdakwa Wilson."
Lantaran posisi sebagai ketua majelis, Kaswanto dianggap mengetahui proses pengambilan putusan untuk menjatuhkan huÂkuman 1 tahun 3 bulan kepada Wilson.
Untuk diketahui, hakim Dewi Suryana ditangkap penyidik KPK di kediamannya pada 7 September 2017 dini hari. Dewi Suryana diduga menerima suap terkait putusan perkara Wilson.
Wilson yang menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Kota Bengkulu diseret ke meja hijau lantaran diduga melakukan korupsi Rp 500 juta.
Uang suap sebanyak Rp 40 juta yang dibungkus koran dan ditaruh di kantong plastik hitam sempat dibuang Dewi ke halaÂman belakang rumahnya ketika penyidik KPK menyergap.
Dewi menerima uang suap itu dari Syuhadatul Islamy. Syuhadatul yang merupakan kerabat Wilson. Ia diciduk penyidik KPK di Hotel Santika, Bogor, Jawa Barat.
KPK akhirnya menetapkan tiga orang tersangka kasus suap ini: Dewi Suryana, Syuhadatul Islamy dan Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Bengkulu, Hendra Kurniawan.
"Kita masih terus mengembangÂkan perkara ini. Apakah masih ada pihak lain yang ikut terlibat, Kita tunggu saja hasil penyidikannya. Nanti akan disampaikan kemaÂjuannya," kata Febri.
Juru Bicara MA Suhadi menÂegaskan, pihaknya mendukung upaya KPK menguak kasus suap hakim PN Bengkulu. "Kita dukung sepenuhnya langkah KPK dalam menuntaskan kasus tersebut," terangnya.
Mengenai mangkirnya haÂkim Kaswanto, ia menyerahÂkan sepenuhnya kepada KPK. "Kita tidak ingin turut campur apalagi mengintervensi langkah hukum yang dilakukan KPK," tandasnya.
Badan Pengawas (Bawas) MA juga menyelidiki dugaan Kaswanto melakukan pelangÂgaran etik profesi hakim dalam menangani perkara Wilson.
"Jika terbukti memenuhi unÂsur-unsur pelanggaran kode etik dan profesi, pasti akan ditindak sesuai ketentuan yang ada. Saat ini proses pemeriksaannya masih berjalan," kata Suhadi.
Kaswanto telah dinonaktifkan dari jabatan Ketua Pengadilan Negeri Bengkulu. Ketua Bawas MA, Sunarto menyatakan, tindaÂkan ini merupakan teguran keras kepada Kaswanto. "Jadi atasan langsung harus ikut bertanggung jawab," katanya.
Selain Kaswanto, Panitera PNBengkulu juga dinonaktifkan karena anak buahnya terlibat kasus suap ini. Keduanya juga bakal disidang di MA.
"Apakah yang bersangkutan sudah memberikan pembinaan dan pengawasan yang layak terhadap anak buahnya. Kalau nggak terbukti, kita akan rehaÂbilitasi dan kembalikan ke posisi semula," kata Sunarto.
"Tapi kalau Ketua PN yang dinonaktifkan tidak memberiÂkan pembinaan yang layak terhadap anak buahnya, maka nonaktif dari pejabat itu akan diteruskan secara permanen," ujarnya.
Kilas Balik
Jual Beli Vonis Bebas, 2 Hakim Tipikor Bengkulu Divonis 7 Tahun Penjara
Bukan kali ini saja, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu terlibat suap jual beli putusan. Sebelumnya, dua Janner Purba dan Toton, dua hakim pengadilan ini juga diciduk KPK karena menerima rasuah dari pihak berperkiara.
Keduanya pun divonis berÂsalah menerima suap Rp 780 juta dari Edi Santoni dan Safri. "Mengadili, menyatakan terdakÂwa Janner Purba dan Toton terÂbukti melakukan tindak pidana suap. Menghukum terdakwa 7 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subidear 5 bulan kurungan," putus ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu, Bambang Pramudianto 9 Desember 2016.
Majelis hakim menilai Janner dan Toton terbukti melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/ 2001 junto Pasal ayat 1 ke-1 KUHP junto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Edi dan Safri menyuap Janner dan Toton agar mendapatkan vonis ringan dalam perkara korupsi dana honorer dewan pembina RSUDM Yunus Bengkulu tahun 2011.
Edi adalah bekas Direktur RSUDM Yunus. Sedangkan Safri bekas Kepala Bagian Keuangan RSUDM Yunus. Keduanya menjadi terdakwa kasus korupsi dana honorer itu.
Janner menyatakan akan mempertimbangkan vonis yang dijatuhkan kepadanya. "Ya suÂdah nasib. Putusan dan keadilan kan ada di tangan mereka (maÂjelis). Ya sudah, dan akan saya pikir-pikir dulu," katanya.
Kasus suap ini bermula ketika Edi menemui Toton dan meminta membantu perkaranya. Toton menyanggupi. Namun dia meÂminta disiapkan uang "penebas jalan" yang disepakati sebesar Rp30 juta. Edi menyerahkannya pada sekitar awal Oktober 2015 kepada Toton.
Setelah perkara dilimpahkandi pengadilan, Toton bersama Janner dan Siti Insirah ditunjuk menjadi majelis hakim yang mengadili perkara Edi dan Safri.
Pada akhir Oktober 2015 Edi dan Safri kembali menemui Toton dan minta agar tak dilakuÂkan penahanan. Toton lalu meÂnyampaikan permintaan kedua terdakwa kepada Janner.
Janner menyanggupi dan minta disiapkan uang Rp100 juta. Uang diserahkan kepada Panitera Badaruddin Bachsin di tempat parkir Kantor Badan Perpustakaan Arsip Daerah dan Dokumentasi Provinsi Bengkulu pada 3 dan 12 November 2015.
Janner lalu membagi uang itu. Untuk Toton Rp45 juta. Badaruddin Rp10 juta. Sisanya untuk dirinya.
Di persidangan, Edi dan Safri dituntut masing-msing 3,5 taÂhun penjara ditambah denda Rp 50 juta subsider 6 bulan kurungan. Edi dan Safri kembali menghubungi Toton dan memÂinta agar divonis bebas. Toton menyampaikan permintaan ini kepada Janner.
Janner meminta disiapkan Rp 1 miliar. Rinciannya Rp 750 juta untuk vonis bebas Edi. Sedangkan Safri Rp 250 juta. Edi menawarkan Rp 300 juta. Sedangkan Safri menawar Rp 100 juta. Toton menolak menuÂrunkan "tarif" vonis bebas ini.
Beberapa hari kemudian, Edi kembali menemui Toton. Toton bersedia menurunkan "tarif" vonis bebas. Ia menulis di atas kertas angka Rp 500 juta. "Aduh Pak, tidak mampu. Hancur saya, besar sekali," keluh Edi.
Meski keberatan, Edi akhirnya menyerahkan uang Rp500 juta pada 17 Mei 2016 kepada Janner di area stadion Gelanggang Olah Raga Semarak Sawah Lebar Bengkulu.
Namun karena baru Edi yang menyerahkan uang, sedangkan Safri belum, Toton menyarankan agar putusan yang harusnya dibacakan pada 18 Mei 2016 ditunda menjadi 24 Mei 2016.
Safri masih menawar kepada Toton agar uang untuk vonis beÂbas Rp 150 juta. Ia menjanjikan akan menyerahkannya pada 23 Mei 2016.
Sepakat, Janner meminta Toton menyiapkan konsep puÂtusan dengan vonis Edi dan Safri lepas dari tuntutan hukum.
Safri menyerahkan uang keÂpada Janner di Perkantoran Pemda Kepahiang. Setelah menÂerima uang, Janner pulang ke ruÂmah dinasnya di Jalan Cendana Nomor 1 Samping Pincak Mall Kepahiang. Di tengah jalan dia ditangkap petugas KPK. Saat diÂgeledah di mobilnya ditemukan tas hitam berisi uang Rp 149,9 juta dari Safri. ***
BERITA TERKAIT: