Penggunaan dana setengahtriliun itu sempat diperÂsoalkan karena dianggap tak sesuai ketentuan. Meski begitu, auditor BPK tetap mengusulÂkan agar laporan keuangan Kementerian Desa tahun 2016 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Ketua tim pemeriksa laporan keuangan Kementerian Desa dan PDTT untuk tahun 2016, Andi Bonanganom, dihadirkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjelasÂkan temuan itu.
Andi bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin untuk perkara terdakwa Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Sugito dan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan Inspektorat Kemendes, Jarot Budi Prabowo. Keduanya didakwa menyuap auditor BPK.
Dalam persidangan, jaksa KPK Ali Fikri sempat bertanya kepada Andi seputar temuan Rp 550 miliar tersebut. Jaksa menanyakan, apakah temuan itu berpengaruh untuk menentukan opini Kemendes.
Menurut Andi, sesuai panduan pemeriksaan, tim harus memperÂtimbangkan hasil pemeriksaan sebelumnya, termasuk pemerikÂsaan dengan tujuan tertentu.
"Jadi, hasil pemeriksaan dengantujuan tertentu kami analisa,dan memang ada temuan yang cukup besar yaitu mengenaipendampingan dana desa. Secara nilai kami analisa," kata Andi.
Dari hasil analisa tim, diketaÂhui bahwa yang dipermasalahkan adalah mekanisme pertanggungÂjawaban dana pendampingandesa. Setelah dipelajari, ternyata mekanisme pemberian dana bagi pendamping menggunakan meÂkanisme lumpsum.
Menurut Andi, tim pemeriksa keuangan sudah menanyakan kepada pihak Kemendes, mengenai hal-hal apa saja yang sudah dilakukan sebagai tindaklanjut rekomendasi dari hasil temuan sebelumnya.
"Karena mekanisme (pembaÂyaran) lumpsum, itu jadi tidak berpengaruh. Dari hasil yang diperoleh dari Kementerian, kami tahu bahwa Kemendes sudah tindaklanjuti sebagian besar dari rekomendasi itu," kata Andi.
Menurut Andi, terkait temuan Rp 550 miliar, Kemendes telahmenyerahkan bukti Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), bukti transfer, dan daftar penerÂima rekening. Dengan demikian, temuan Rp 550 miliar itu diangÂgap telah selesai diklarifikasi oleh Kemendes.
"Kami uji, apakah asersi untuk belanja tersebut sudah disajiÂkan secara wajar di laporan keuangan," ujarnya.
"Ternyata Rp 550 miliar ini sudah dikirim kepada pendampÂing dana desa. Mekanisme lumpÂsum juga sudah sesuai dengan Menteri Keuangan," kata Andi.
Keterangan Andi mengenai pertanggungjawaban dana Rp 550 miliar itu berbeda dengan keterangan auditor BPK yang menjadi saksi pada persidangan sebelumnya.
Ketua Tim Pemeriksa dengan Tujuan Tertentu BPK Yudi Ayodhyadalam kesaksiannya Rabu (13/9) mengungkapkan ada temuan tak wajar dari pengguÂnaan anggaran oleh Kemendes terkait pemberian honorarium pendamping desa tahun angÂgaran 2015-2016.
"Ada temuan biaya program pendamping dana desa tak wajar yang belum dibayarkan sebesar Rp 425 miliar pada tahun 2015 dan Rp 550 miliar pada tahun 2016," ujar Yudi.
Temuan pengelolaan dana yang belum dibayarkan itu beÂrasal dari total anggaran sebesar Rp1 triliun pada tahun 2015 dan sekitar Rp1,3 triliun pada tahun 2016. "Honor untuk pendamping dana desa itu tidak ada dasar kaÂjiannya," katanya.
Yudi menuturkan, berdasarÂkan hasil kajian BPK biaya penÂdamping dana desa untuk PNS golongan II A mestinya hanya Rp 1,9 juta. Namun dari hasil perhiÂtungan Kemendes dicantumkan sebesar Rp 2,5 juta.
"Itu yang tidak wajar dan sampai akhir Oktober tahun lalu juga tidak ada dokumen yang bisa dipertanggungjawabkan," tuturnya.
Hasil temuan ini juga telah diungkapkan Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendes Taufik Madjid dalam persidangan sebelumnya.
Taufik menyebut honor penÂdamping desa yang belum dibayar pada tahun 2015 sebeÂsar Rp 450 miliar dan Rp 550 miliar pada tahun 2016.
Ia kemudian melaporkan temuan itu pada Sugito dan dilanÂjutkan ke auditor BPK Ali Sadli yang telah menjadi tersangka dalam perkara ini. Namun Ali mengaku tak bisa mengklarifikasi, karena hasilnya nanti akan memengaruhi opini dari BPK tehadap Kemendes.
Sugito dan Jarot didakwa menyuap Auditor Utama BPK Rochmadi Saptogiri untuk memÂperoleh opini WTP terhadap haÂsil laporan keuangan Kemendes tahun anggaran 2016. Uang suap itu dikumpulkan dengan cara "patungan" dari sejumlah unit kerja eselon I Kemendes sebesar Rp 240 juta.
Uang tersebut kemudian diberikan dengan maksud agar Rochmadi menentukan opiÂni Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes tahun angÂgaran 2016.
Kilas Balik
Diduga Bahas Opini WTP, Mendes Temui RochmadiKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut perÂtemuan antara Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo dengan Auditor Utama Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri sebelum pemberian suap untuk mendapÂatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Pertemuan dilakukan beberapahari sebelum penyerahan uang suap sebesar Rp200 juta kepada auditor BPK. "Nanti akan didalami lagi. Kita dalami dari hasil pemeriksaan di pengadilan," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Agus menegaskan, setiap kasus dugaan korupsi yang ditangani KPK pasti akan dikemÂbangkan, termasuk kasus dugaan suap yang dilakukan pejabat Kemendes untuk memperoleh Opini WTP terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes PDTT Tahun 2016.
Pengembangan dilakukan unÂtuk mendalami apakah ada keterÂlibatan pihak lainnya atau tidak. "Kasus itu kan pasti berkemÂbang. Apa ada keterlibatan dari pihak lain atau nggak kan gitu," kata Agus.
Adanya pertemuan antara Mendesdengan auditor BPK itu diungkapkan Igfirly, staf Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendes ketika bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 30 Agustus 2017 lalu.
Igfirly bersaksi untuk perkara terdakwa Inspektur Jenderal Kemendes Sugito dan Jarot Budi Prabowo, Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan Inspektorat Jendral Kemendes.
Igfirly menuturkan pada 4 Mei 2017, Mendes Eko dan Sekjen Kemendes Anwar Sanusi menyambangi BPK. Ketika itu, dirinya dan Jarot ikut mendampingimenteri dan sekjen menemui Auditor BPK Rochmadi Saptogiri.
"Pada 4 Mei yang mengantar ke kantor BPK, waktu itu yang masuk Pak Sekjen dan Pak Menteri. Saya dan Pak Jarot membawa berkas saja Pak, saya yang bawa," kata Igfirly.
"Saya lihat Pak Menteri dengan BPK di situ. (Orang) BPK-nya saya tidak tahu. Saya baru tahu di dalam penyidikan, itu Pak Rochmadi," sebutnya.
Igfirly sempat menanyakankepada Jarot mengenai isi pertemuan Mendes dengan Rochmadi. "Setahu saya bertemu BPK membahas laporan keuangan. Saya berbicara dengan Pak Jarot karena saya petugas lapangan, saya tanya, 'Pak, WTP pasti?' Terus beliau jawab, 'Wes ngerti'. Maksudnya itu jawabannya," ungkap Igfirly di depan sidang.
Ia menjelaskan, pertanyaan kepada Jarot diajukan saat perÂtemuan berlangsung. "Itu terjadi saat pertemuan. Saya dengan Pak Jarot. Pak Jarot di sini, ini jeda kursi kosong, saya WA (Whatsapp), sambil nunggu PakSugito (Inspektur Jenderal) pulang. Jawaban Pak Jarot, 'wes ngerti', sudah tahu. Berarti udah WTP. Maksudnya 'jangan bilang siapa-siapa', itu pemahaman saya Pak," kata Igfirly.
Setelah pertemuan 4 Mei itu, Igfirly diminta mengantarkan Jarot ke BPK. "Pada 26 Mei sehabis Jumatan saya naik ke lantai empat bertemu Pak Jarot. Dia mengatakan, 'Fir, tolong antar saya ke BPK.' Tapi karena di jalan macet terus pesan Gojek saja, saya menyusul. Sampai di kantor BPK saya stay tidur di mobil,"tutur Igfirly.
Igfirly mengungkapkan saat ke BPK Jarot membawa tas hiÂtam. Namun ia tak tahu isinya. Ia baru tahu isi tas yang dibawa Jarot setelah penyidik KPK menyergap.
"Akhirnya tahu isi tas saat berÂsama penyidik itu. Saya tanya, 'Ada kejadian apa sih Mas?' Dijawab, ‘Itu tadi mau nyuap.' Oh ya sudah, saya tidak lihat uangnya," tambah Igfirly.
Hari itu, Jarot membawa uang Rp 40 juta untuk diserahkan keÂpada auditor BPK. Sebelumnya, Jarot telah memberikan uang kepada auditor BPK Rp 200 juta. Pemberian uang itu atas perintah Irjen Sugito.
Jaksa KPK Muhammad Takdir Suhan memastikan Mendes akan dipanggil ke persidangan untuk menjelaskan pertemuan dengan auditor BPK.
"Pasti didatangkan. Kami akan hadirkan," tandasnya. ***
BERITA TERKAIT: