Kepala Subdit V Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bareskrim Komisaris Besar Indarto mengatakan, gubernur Papua diperiksa sebagai saksi kasus ini. Pemeriksaan untuk mengetahui prosedur dan meÂkanisme penyusunan anggaran serta penggunaan anggaran, katanya.
Dalam pemeriksaan yang berlangsung tujuh jam itu, Lukas dicecar 31 pertanyaan. Pemeriksaan terhadap Lukas untuk menyimpulkan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus ini.
"Tujuan penyidikan membuat terang kasus dan menemukansiaÂpa tersangkanya," kata Indarto.
Bareskrim mengusut sejumlah dugaan korupsi dana APBD Papua. Mulai dari penyaluran dana beasiswa hingga dana pelaksanaan proyek-proyek.
"Tindak lanjut penanganan perkara ini dilakukan setelah kepolisian berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan," kata Wakil Direktur Tipikor Bareskrim, Komisaris Besar Erwanto Kurniadi.
Ia menyebutkan perkara dugaankorupsi penyaluran dana beasiswa sudah masuk tahap penyidikan. Namun belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam perkara ini, penyidik Bareskrim telah memeriksa 15 saksi. Pengusutan kasus ini dimulai dengan diterbitkan Surat Perintah Penyelidikan (Sprin Lidik) Nomor 73/VIII/2017/ Tipidkor tanggal 16 Agustus 2017 lalu. "Sejak akhir Agustus 2017, kasus ini sudah ditingkatÂkan statusnya ke penyidikan," kata Erwanto.
Untuk mendalami kasus ini, penyidik Bareskrim memeriksaKepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Papua, Ridwan Rumasukun, dan Kuasa Bendahara Umum Pemprov Papua Theodorus. "Pejabat Papua itu diperiksa dalam kapasitas saksi," katanya.
Menurut Erwanto, secara adÂministratif, penyidikan perkara dugaan korupsi di Pemprov Papua sudah memenuhi prosedur. Penyidik sudah mengantongi bukti-bukti terjadinya korupsi.
Erwanto belum bersedia memÂbeberkan jumlah kerugian negara dalam kasus korupsi penyaluran dana beasiswa ini.
Kuasa hukum Lukas Enembe, Yance Salambauw menilai peÂnyidikan kasus dugaan korupsi yang menyeret-seret kliennya terkesan dipaksakan.
"Kami sempat bertanya atau meminta klarifikasi pemeriksaan ini, yang telah ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan, apa argumen awal atau buktinya apa? Tetapi Bareskrim dalam rangka penyidikan menutup informasi itu," katanya ketika datang ke Direktorat Tipikor Bareskrim di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, kemarin.
Menurut Yance, hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan Pemprov Papua pada 2015 berstatus Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan hasil peÂmeriksaan BPK tahun 2016 Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
"Dalam pemeriksaan ini, peÂnyidik bertanya juga soal angÂgaran 2017, masalahnya kurang tepat karena anggaran 2017 belum terserap," katanya.
Sementara kuasa hukum Lukas lainnya, Anthon Raharusun meÂnyatakan pihaknya siap mengiÂkuti proses penyidikan yang dilakukan Bareskrim.
Hanya saja, ia meminta penyidikan kasus ini tidak dikaitkan dengan politik. "Artinya polisi harus mengedepankan kepentingan hukum, bukan politik. Artinya proses pemeriksaan itu jangan dicampurkan dengan urusan politik itu bisa mengaburÂkan," kata Anthon.
Kilas Balik
Lukas Enembe Marah-marah Kantornya Digeledah KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih dulu mengusut kasusdugaan korupsiproyek di Pemprov Papua. Untuk mengumpulkan barang bukti, penyidik lembaga antirasuah itu menggeledah kantor Pemprov Papua.
Gubernur Papua Lukas Enembe melontarkan kemarahannya usai KPK menggeledah Kantor Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan Unit Layanan Pengadaan (ULP), yang kebetulan bersebelahan dengan ruang kerjanya.
"Dokumen staf saya juga diÂambil, telepon selularnya juga. Ini ada apa? Jika mau tuduh saya korupsi, dokumen itu tak ada di saya. Ada di SKPD sana," kata Lukas.
Selama menjadi Gubernur Papua, Lukas mengklaim tak pernah terlibat uang korupsi dan main proyek. "Kalau saya mau berurusan dengan uang, kenapa harus saya gelontorkan 80 persenuang itu ke rakyat langsung yang ada di kabupaten? Saya ini hanya urus rakyat, sejak dulu hanya ingin rakyat Papua sejahtera dan menyiapkan mereka menÂjadi pemimpin," katanya.
Lukas juga menyebutkan penggeledahan sejumlah ruangantersebut diduga untuk menjatuhkan dirinya jelang Pilkada Gubernur 2018. Indikasinya adalah dirinya tak pernah diperiksa oleh KPK, namun ada penggeledahan di ruangannya.
"Jika penggeledahan ini meÂmang sesuai dengan bukti-bukti dalam persidangan, silakan saja. Tetapi, jika ini hanya untuk keÂpentingan politik 2018, atau kepentingan golongan dan partai politik, saya siap nyatakan perang di Papua, kita akan buat kacau," ucap dia.
Indikasi penunjukkan langÂsung dalam proyek Jalan Kemiri-Depapre, juga dibantah oleh Lukas. Dia menyebutkan selama ini, siapapun orangnya, baik adik ataupun saudaranya, tetap harus melewati proses tender. "Tak ada penunjukkan langsung. Semua lewat LPSE," tegas dia.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Papua, Mikael Kambuaya tersangka dalam dugaan kasus koÂrupsi pembangunan Jalan kemiri-Depapre senilai Rp 89 miliar.
Selain menggeledah rumah dan ruang kerja Dinas Pekerjaan Umum Papua, KPK juga mengÂgeledah ruang LPSE, ULP hingga ruang kerja staf Gubernur Papua.
Belakangan, KPK menetapÂkan David Manibui selaku peÂmegang saham mayoritas PT Bintuni Energy Persada sebagai tersangka kasus ini.
"DM diduga melakukan perÂbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendÂiri dan orang lain," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Rabu (22/3/2017).
Menurut Febri, penyidik KPK menduga ada perbuatan bersama-sama yang dilakukan, sehingga ada penyalahgunaan wewenang yang menghilangkan setengah anggaran proyek.
Menurut Febri, proyek peningkatan ruas jalan Kemiri-Depapre di Provinsi Papua tersebut senilai Rp 89,5 miliar. Adapun, anggaran proyek tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun 2015.
Dalam penyelidikan, KPK meÂnemukan indikasi kerugian negara sekitar Rp 42 miliar, atau hampir setengah dari nilai proyek.
Perusahaan pemenang tender dalam proyek tersebut adalah PT Bintuni Energy Persada. Perusahaan tersebut berkantor di daerah Jakarta Pusat.
David disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. ***
BERITA TERKAIT: