Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah menyatakan, empat orang yang dibekuk daÂlam OTT itu adalah seorang Panitera Pengganti (PP) PN Jakarta Selatan berinisial T, dua orang pengacara, dan tenaga honorer di PN Jakarta Selatan berinisial T.
Dia belum bersedia menyebutÂkan nama empat orang tersebut. Menurutnya, dugaan pelanggaÂran hukum yang terjadi berkisar seputar suap menyuap. "Ada duÂgaan terkait dengan penanganan perkara perdata," katanya.
Meski demikian, Febri lagi-laÂgi belum bersedia membeberkan perkara apa yang menjadi pokok pangkal terjadinya penyuapan.
Selain menangkap dan meÂmeriksa empat orang, penyidik juga mengamankan uang sebesar Rp 300 juta dan sebuah mobil Honda HRV hitam bernopol B 160 TMZ. "Sampai malam ini (kemarin--red) masih didalami. Diperiksa seputar motif pembeÂrian uang dan perkara yang diÂtangani pengadilan," tuturnya.
Febri meminta waktu agar penyidik bisa menuntaskan peÂmeriksaan untuk memutuskan status empat orang yang terjarÂing OTT. "Kita memanfaatkan waktu 1 x 24 jam yang ada untuk menyelesaikan pemeriksaan awal," katanya.
Diharapkan, bebernya, hari ini penyidik sudah bisa menyÂimpulkan siapa pihak yang patut dijadikan tersangka atas perkara suap-menyuap ini.
Selain itu, penyidik juga mampu mengungkap modus penyuapan ini. "Kita belum mengetahui, apakah hanya sebatas transaksional secara langsung atau ada pula yang melalui perbankan maupun bentuk lainÂnya," kata Febri.
Pada sekitar pukul 12.00 WIB kemarin, tim KPK melakukan OTT di PN Jakarta Aelatan. Dari operasi itu, seorang panitera pengganti berinisial T diamankÂan sekitar pukul 13.00 WIB.
Setelah itu dua advokat serta seorang tenaga honorer menyÂusul dibawa ke KPK.
Kepala Humas PN Jakarta Selatan Made Sutrisna membeÂnarkan adanya penangkapan di lingkungan institusinya. "Saya belum dapat info soal kasusnya. Mereka ditangkap tidak dalam persidangan," ucapnya.
Ia mengungkapkan panitera yang ditangkap itu bernama Tarmizi. Panitera itu menangani belasan perkara.
Made Sutrisna menandaskan PN Jakarta Selatan akan koopÂeratif terhadap tindakan hukum yang dilakukan KPK terhadap salah satu panitera di sini. "Kita siap memberikan bantuan pada KPK," tandasnya.
Made Sutrisna mengaku beÂlum mendapat informasi dari KPK mengenai kasus yang menÂjerat Tarmizi. "Karena ini sudah tindakan hukum, kita tunggu saja dari KPK," katanya.
PN Jakarta Selatan sudah melaporkan peristiwa ini ke Mahkamah Agung. "Kita konÂsultasikan ke MA untuk menenÂtukan upaya hukum yang sepaÂtutnya," kata Made Sutrisna.
Untuk keperluan mengumÂpulkan barang bukti kasus suap ini, KPK telah menyegel meja kerja dan lemari Tarmizi. Saat digiring ke KPK, Tarmizi terlihat membawa satu bundel berkas perkara.
Kilas Balik
Terima Suap, Panitera PN Jakarta Utara Pasrah Dihukum Tujuh Tahun Penjara
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menÂjatuhkan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Rohadi, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Rohadi menyataÂkan bisa menerima putusan ini.
"Saya bersalah dan saya menÂerimanya Yang Mulia," kata Rohadi menanggapi putusan yang diketuk ketua majelis haÂkim Sumpeno.
Rohadi juga menegaskan tidak akan mengajukan banding. Lantaran itu, dia memohon agar putusan ini segera dieksekusi. "Saya tidak peduli tinggi renÂdahnya putusan. Saya tidak akan melakukan perlawanan apa-apa lagi. Tolong jangan dibuat seolah saya tidak menerima (putusan)," kata Rohadi.
Berbeda dengan Rohadi, jaksa penuntut umum (JPU) KPK meÂnyatakan pikir-pikir. Jaksa henÂdak mempelajari dulu putusan ini sebelum mengambil sikap menerima atau banding.
Putusan ini memang lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yang meminta Rohadi dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan.
Dalam pertimbangan putuÂsannya, majelis hakim menilai Rohadi telah menciderai jabaÂtannya sebagai panitera dengan menerima suap dari pihak berÂperkara.
"Hal yang meringankan, terÂdakwa belum pernah dihukum, berlaku sopan di persidangan, menyesali perbuatannya, serta masih mempunyai tanggungan keluarga," kata hakim Sumpeno.
Majelis hakim menilai, Rohadi terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap untuk mengurus penunjukan majelis hakim yang akan menangani perkara Saipul Jamil di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Serta agar hakim tidak menjatuhkan hukum yang berat terhadap pedangdut itu dalam perkara pelecehan seksual.
Perbuatan Rohadi menerima suap, menurut majelis hakim, telah memenuhi unsur Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi, yang didakwakan kepadanya.
Dalam perkara ini, Rohadi didakwa menerima suap Rp 50 juta terkait penunjukan majelis hakim yang akan menangani perkara Saipul Jamil. Kemudian menerima Rp 250 juta agar Saipul divonis ringan.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam putusanÂnya juga menyatakan, menyita uang Rp 700 juta yang ditemuÂkan di mobil Rohadi ketika ditangkap KPK.
"Menimbang permohonan jaksa penuntut umum yang ingin mempergunakan uang tersebut sebagai barang bukti dalam kasus pencucian uang oleh terdakwa. Maka sudah selayaknya permohonan jaksa dikabulkan," ujar hakim anggota M Idris.
Rohadi berdalih uang itu merupakan pinjaman dari angÂgota DPR Sareh Wiryono untuk keperluan rumah sakit yang didirikannya di Indramayu, Jawa Barat.
Namun jaksa KPK menilai, Rohadi tidak bisa membuktikan asal-asal uang karena tidak ada kuintansi penerimaan dan perÂjanjian pinjam-meminjam.
Jaksa mencurigai uang itu didapat dari pengurusan perkaÂra dan akan dijadikan barang bukti dalam perkara gratifikasi dan pencucian uang Rohadi. Lantaran itu, jaksa meminta agar disita. ***
BERITA TERKAIT: