Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dipanggil KPK, Politisi PDIP Kembali Mangkir

Kasus Suap Proyek Satmon Bakamla

Selasa, 01 Agustus 2017, 10:51 WIB
Dipanggil KPK, Politisi PDIP Kembali Mangkir
Fahmi Habsyi/Net
rmol news logo Politisi PDIP Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi kembali dipanggil untuk diperiksa dalam kasus suap pengadaan satellite monitoring (satmon) di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Lagi-lagi, staf khusus Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo itu mangkir.
Selamat Berpuasa

Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah menyatakan, pe­nyidik berkeyakinan Ali masih berada di Indonesia. "AF adalah saksi yang pernah diperiksa KPK, namun tidak bisa hadir di persidangan. Kami masih laku­kan pencarian," katanya.

KPK bekerja sama dengan Ditjen Imigrasi untuk memantau keberadaan Ali. "Berdasarkan catatan Imigrasi, belum melintas ke luar negeri," ucapnya.

Atas informasi dan data-data yang dikantongi penyidik, KPK pun menerbitkan permohonan perpanjangan cegah kepada Ali. Perpanjangan ini untuk menghin­dari Ali lari ke luar negeri.

Febri mengatakan, Ali diduga punya informasi penting menge­nai kasus suap proyek satmon tahun 2016 itu "Kita berusaha optimal untuk menghadirkan saksi tersebut," katanya.

Kehadiran dan keterangan Ali dianggap penting karena dia diduga terlibat pengaturan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) agar bisa mendapatkan proyek satmon.

Dalam dakwaan para terdakwa kasus suap ini, Ali disebutkan sebagai orang yang mengajak Fahmi Darmawansyah, bos PT MTI untuk ikut proyek di Bakamla. Namun dengan syarat Fahmi harus membayar fee 15 persen dari nilai proyek.

Memanfaatkan posisinya sebagai anggota staf khusus Kepala Bakamla Arie Soedewo di bidang anggaran dan perencanaan, Ali mengaku bisa mengatur siapa pemenang lelang proyek satmon.

Untuk itu, dia meminta biaya jasa sebesar Rp 54 miliar buat proyek yang waktu itu diberi pagu anggaran Rp 402 miliar. Belakangan, ketika pagu proyek diturunkan menjadi Rp 222 mil­iar, Ali Fahmi mengembalikan uang jasanya Rp 9 miliar.

Fahmi lalu memerintahkan dua anak buahnya M Adami Okta dan Stefanus Hardy untuk menyerahkan uang kepada Ali guna mengurus anggaran proyek satmon. Fahmi mengaku sudah menyerahkan Rp 54 miliar ke­pada Ali.

Selain Ali Fahmi, empat saksi lainnya juga diperiksa untuk tersangka Nofel Hasan, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla.

Keempat saksi tersebut adalah, anggota Tim Teknis Pendampingan Pelaksanaan dan Pengadaan Bakamla Dikki Triwasananda, dua PNS Bakamla yakni Wakhid Mamun dan Trinanda Wicaksono, serta se­orang karyawan swasta Slamet Tripono.

Keempat saksi itu tampak hadir memenuhi panggilan pe­nyidik. Mereka mendatangi Gedung KPK sekitar pukul 09.30 WIB. Ditanya mengenai materi pemeriksaan saksi-saksi itu, Febri menolak menguraikan. "Tunggu saja setelah pemerik­saan tuntas," sergahnya.

Intinya sebut dia, saksi-saksi diperiksa untuk tersangka Nofel Hasan yang dituduh melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Kilas Balik
Hakim Sebut Keterlibatan Kepala Bakamla Minta Fee


Keterlibatan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Arie Soedewo disebut dalam pertimbangan vonis hakim untuk terdakwa Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi.

Arie Soedewo disebut memerintahkan Eko untuk menanyakan fee yang akan diberikan PT Melati Technofo Indonesia, selaku perusahaan pemenang proyek pengadaan monitoring satelit di Bakamla.

"Bahwa terdakwa diminta oleh Kepala Bakamla untuk mencari tahu ada bagian untuk Bakamla," ujar hakim Sofialdi saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 17 Juli 2017.

Menurut hakim, seusai menda­pat arahan dari Arie Soedewo, Eko menindaklanjutinya dengan menanyakan jatah fee untuk Bakamla kepada pegawai PT Melati Technofo Indonesia, Muhammad Adami Okta. Eko me­minta agar jatah untuk Bakamla sebesar 7,5 persen, diberikan lebih dulu sebesar 2 persen.

Nama Arie Soedewo su­dah disebut-sebut dalam surat dakwaan terhadap Eko. Jaksa Penuntut Umum KPK mendak­wa Eko Susilo Hadi menerima suap 88.500 dolar Amerika dan 100 ribu dolar Singapura

Uang suap itu diterima dari Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (MTI), Fahmi Dharmawansyah. Tujuannya agar PT MTI ditunjuk menjadi rekanan dalam proyek monitor­ing satelit Rp 400 miliar.

Eko menerima suap bersama Direktur Data dan Informasi Bakamla, Laksamana Pertama Bambang Udoyo serta Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla, Nofel Hasan.

"Telah menerima uang dari Fahmi Darmawansyah yang diserahkan melalui Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus (anak buah Fahmi—red)," kata Jaksa Kresno Anto Wibowo membacakan surat dakwaan.

Jaksa membeberkan pada Maret 2016, Staf Khusus Kepala Bakamla, Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi menemui Fahmi Darmawansyah dan Adami Okta di kantor PT Merial Esa. Ali Fahmi menawarkan Fahmi Darmawansyah ikut proyek di Bakamla. Namun syaratnya har­us memberikan fee 15 persen.

Bakamla lalu membuka lelang proyek monitoring satelite. PT MTI terpilih menjadi penyedia monitoring satelit. Setelah penunjukan rekanan, Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo memanggil Eko ke ruangannya.

Arie menyampaikan kepada Eko mengenai jatah yang akan diberikan PT MTI. "Adapun dari jatah 15 persen terse­but, yang sebesar 7,5 persen akan diberikan oleh PT Melati Technofo Indonesia kepada pihak Bakamla, yang dalam real­isasinya akan diberikan terlebih dahulu sebesar 2 persen," sebut jaksa Kresno.

Atas arahan Arie, lanjut jaksa, Eko meminta Bambang Udoyo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memanggil PT MTI. Pada 9 November 2016, Adami Okta datang menghadap. Ia setuju untuk mencairkan jatah 2 persen terlebih dulu.

"Kemudian Arie Soedewo memberikan arahan kepada terdakwa agar menerimanya dan membagikan kepada Nofel Hasan dan Bambang Udoyo, masing-masing Rp 1 miliar, sedangkan Rp 2 miliar untuk terdakwa," jelas jaksa.

Sebelumnya, nama Arie Soedewo juga disebut dalam surat dakwaan Fahmi Darmawansyah. Ia disebut sebagai pengatur pen­cairan fee PT MTI dan jatah duit untuk pejabat Bakamla.

Eko ketika menjadi saksi per­sidangan Fahmi membenarkan Arie yang meminta pencairan fee 2 persen dulu.

Dalam perkara ini, Eko akhirnya divonis 4 tahun 3 bulan penjara. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bu­lan kurungan. Eko memutuskan menerima putusan ini. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA