"Pencegahan dilakukan untuk enam bulan, terhitung sejak akhir Juni lalu," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Pencekalan dilakukan untukmempermudah penyidik meÂmeriksa Fayakhun. "Jadi ada kebutuhan pemeriksaan agar proses penyidikan berjalan lebih efektif, tidak terganggu atau terhambat apabila yang bersangkutan ke luar negeri," kata Febri.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan, lembaganya telah mendalami aliran dana untuk anggota DPR sebagaimana terungkap di perÂsidangan kasus ini.
Menyikapi fakta-fakta perÂsidangan itu, KPK pun melakuÂkan gelar perkara. Keputusannya, bakal ada tersangka baru. "Sudah ada tersangka lainnya," ujar Agus, Senin (10/7) lalu.
Nama-nama anggota DPR yangdiduga menerima aliran dana tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Fahmi Darmawansyah yang dibacakan jaksa.
Fahmi adalah pemilik PT Melati Technofo Indonesia (MTI), rekanan Bakamla dalam pengadaan monitoring satelit, yang juga menjadi tersangka kasus penyuapan ini.
Nama-nama itu adalah Eva Kusuma Sundari (PDIP), Bertus Merlas (PKB), Fayakhun Andriadi (Golkar) dan Doni Imam Priyambodo (Nasdem).
Dalam BAP, Fahmi mengaku ada jatah sebesar 6 persen dari nilai proyek sebesar Rp 400 miliar atau Rp 24 miliar ke sejumlah anggota DPR. Uang itu diserahkan melalui peranÂtara Ali Fahmi sebagai pelicin pembahasan anggaran proyek di Senayan.
Anggaran pengadaan moniÂtoring satelit akhirnya lolos di DPR. Belakangan, pemerintah memangkas anggaran itu hingga tinggal Rp 220 miliar.
Fahmi pun menuntut Ali mengembalikan sebagian uang atau Rp 10,8 miliar lantaran anggaran proyek ini berkurang. Namun Ali menolak mengembalikan uang. Ia berdalih uang sudah diserahkan kepada anggota DPR.
"Waktu saya tagih, dia beÂralasan panjang," kata Fahmi ketika memberikan kesaksian di persidangan Jumat (7/4) lalu.
Menindaklanjuti fakta perÂsidangan ini, KPK memanggil Fayakhun. Pada 25 April 2017, politisi Partai Golkar itu datang ke KPK untuk menjalani peÂmeriksaan.
Usai diperiksa 5 jam, Fayakhun menolak berkomentar mengenai dugaan dirinya menerima aliran dana untuk menggolkan angÂgaran pengadaan monitoring satelit.
"Saya sudah bertemu denÂgan pemeriksa. Sudah menÂjawab pertanyaan-pertanyaan," elaknya sambil bergegas masuk mobil Toyota Innova hitam B 2980 SKH.
Kasus suap ini terbongkar setelah KPK menangkap tanÂgan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi pada 14 Desember 2016 lalu. KPK juga mencidik Hardy Stefanus dan M Adami Okta, dua anak buah Fahmi Darmawansyah.
Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK mengamankan Rp 2 miliar dalam bentuk mata uang dolar Amerika dan dolar Singapura dari tangan Eko.
Fahmi, Hardy dan Adami diÂjadikan tersangka pemberi suap. Mereka dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor junto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Sedangkan, Eko ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Dia disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Direktur Data dan Informasi Bakamla, Laksamana Pertama Bambang Udoyo menyusul ditetapkan sebagai tersangÂka. Lantaran anggota militer, Bambang disidik Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Tak lama, KPK kembali menetapkan tersangka dari kalangan sipil. Yakni Nofel Hasan, Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran Bakamla. Nofel diduga mendapat jatah Rp 1 miliardari pengadaanmonitoring satelit.
Kilas Balik
Dapat Arahan Kepala Bakamla, Eko Tagih Fee Saat Kunjungan Di JermanBekas Deputi Informasi, Hukumdan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi mengaku meÂminta fee proyek kepada staf PT Melati Technofo Indonesia (MTI) M Adami Okta saat beradadi Jerman. Permintaan fee itu disebut atas perintah Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo.
"Untuk penyampaian amanahdari beliau karena nggak sempat ketemu Adami pagi. Arahan (dari Arie diberikan) siang. Saya samÂpaikan arahan itu di Jerman," kata Eko saat menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 5 Juni 2017.
Eko melakukan ke Jerman dalam rangka mengecek kesiapan perangÂkat monitoring satelit yang akan dibeli Bakamla. Saat itu, Eko juga mengaku mendapat pesan dari Arie agar fee dibagikan kepada dua peÂjabat di Bakamla, yaitu Laksamana Pertama Bambang Udoyo (Direktur Data dan Informasi) dan Nofel Hasan (Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi).
Eko pun meneruskan permintaan itu kepada Adami. "Saya bilang ke Adami, tolong yang 2 persen itu Rp 1 miliar dikasih ke Bambang Udoyo, Rp 1 miliar ke Pak Nofel Hasan, demikian saya sampaikan terserah sisanya kapan," tutur Eko.
"Dari 2 persen ini nilainya berapa," tanya jaksa KPK. "Rp 4 miliar," jawab Eko.
Eko melanjutkan, uang Rp 4 miliar itu dibagikan kepada Nofel dan Bambang masing-masing Rp 1 miliar. "Sisanya pegang dulu. Saya dijatah berapa kurang tahu. Belum ada arahan dari beliau (Arie). Waktu di OTT (operasi tangkap tangan) belum saya sampaikan ke beliau (soal sisa Rp 2 miliar)," katanya.
Jaksa mencecar apakah uang Rp 2 miliar adalah jatah Eko. "Apakah disimpan untuk jatah terdakwa," tanya jaksa kepada Eko. "Kebijakan nanti untuk siap saja saya nggak tahu," ujar Eko.
PT MTI berkomitmen memberikan fee 7,5 persen dari nilai kontrak pengadaan satellite monitoring Rp 222 miliar. Fee dua persen sudah dicairkan. Jaksa pun mencecar peruntukan sisa fee 5 persen.
"Itu jatah siapa?" tanyanya. "Saya nggak tahu," jawab Eko.
Selain fee, Eko meminta uang operasional kepada Adami sebeÂsar 5.000 dolar Amerika dan 5.000 euro. Namun Adami justru menawarkan jumlah lebih besar: 10 ribu dolar Amerika dan 10 ribu Euro.
Mengenai pemberian uang itu, Eko berdalih dirinya meminjam dari Adami untuk keperluan kunjungan ke Jerman. "Bukan uang saku, saya pinjam," katanya.
"Dari Pak Adami Okta, saya waktu pas mau berangkat ke Jerman. Saya bilang, 'Dam, pinjam dulu uangmu, saya kan ketua rombongan pinjam 5 ribu Euro sajalah dan 5 ribu dolar Amerika'," ucap Eko.
"Dijawab, 'Berapa Pak Eko, tangÂgung ah Pak kalau 5. 10-10 ya'. Itu judulnya saya pinjam," ujar Eko.
Belakangan, Eko mengetahui uang "pinjaman" itu dimasukkan ke catatan fee 2 persen yang diÂjanjikan PT MTI untuk Bakamla. Eko mengaku sudah mengembaÂlikan uang pinjaman tersebut kepada KPK.
"Saya bilang kalau yang diberikan Pak Adami memang dikurangkan dari 2 persen akan saya kembalikan. Sekitar Rp 287 juta," ujarnya. ***
BERITA TERKAIT: