Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menyoal Diamnya Mendagri Dalam Soal Pemilu Liberal 2019

Tjahjo Kumolo 'Tidak Masuk Angin' Kan?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Rabu, 21 Juni 2017, 08:18 WIB
Menyoal Diamnya Mendagri Dalam Soal Pemilu Liberal 2019
Tjahjo Kumolo/Net
SEJAK perdebatan masalah UUD 45 yang diamandemen tahun 2002, mengemuka, saya disadarkan oleh banyak pihak. Bahwa DPR dan MPR-RI serta pemerintah Indonesia, tanpa sadar sudah kecolongan oleh masuknya konsep politik liberal.

Dan masuknya konsep itu, entah dengan cara bagaimana, yang pasti semua baru tersadar setelah beberapa tahun kemudian pembahasan final, berakhir.

Setidaknya ada dua tokoh yang “mengadu” kepada saya tentang betapa cerdiknya konseptor atas perubahan UUD 45. Sehingga anggota-anggota MPR-RI (Majels Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia), tidak berdaya menolak konsep amandemen atas UUD 45.

Keduanya adalah Letjen (Purn) Slamet Suprijadi dan Irjen Pol (Purn) Taufiqurachman Ruki. Slamet Suprijadi saat itu menjadi Wakil Ketua MPR-RI sementara Taufiqurachman Ruki - duduk sebagai anggota dari Fraksi ABRI. Hari-hari terakhir tentara dan polisi bergabung dalam satu fraksi di MPR-RI.

Bahwa pada saat pembahasan UUD 45 yag menghasilkan terjadinya amandemen (perubahan) sebagaimana yang kita laksanakan saat ini, keduanya sebetulnya sudah merasakan adanya hal-hal yang janggal.

Tetapi entah bagaimana, keduanya tidak punya kesempatan atau kekuatan sama sekali untuk mempersoalkan perubahan tersebut.

Kesadaran atas telah terjadinya inflitrasi, penyusupan, baru muncul di tahun 2016 atau setelah 14 tahun kemudian.

Pengakuan serta kejujuran kedua jenderal ini membawa saya pada ingatan di tahun 2000.

Saat itu saya direkrut oleh Peter F. Gontha, sekarang Dubes RI untuk Polandia, untuk memimpin tiga buah media dengan jabatan Senior Chief Editor. Dua dari tiga media itu adalah harian berbahasa Inggeris “Indonesian Observer” dan “Quick Channel” TV. Channel yang terakhir ini, menyatu dengan channel-channel lainnya di Indovision, TV berlangganan pertama di Indonesia.

Nah di TV berlangganan itu ada channel yang bernama “SWARA”. Saat itu, Indovision masih merupakan salah satu bisnis milik Peter Gontha.

Ketika ada yang mempersoalkan bahwa channel “SWARA” sebagai saluran yang tidak menarik, karena hanya menyiarkan sidang-sidang komisi DPR-RI, sehingga perlu diganti, Gontha, menolaknya.

Bagaimana tidak dikatakan tak menarik - sepanjang siarannya, 24 jam penuh, acara “SWARA” hanya diisi dengan pernyataan anggota-anggota DPR yang duduk di berbagai komisi. Tidak ada tanya jawab atau perdebatan.

Peter Gontha menolak dengan memberi alasan bahwa channel “SWARA” itu dikontrak oleh sebuah LSM dari Amerika. Semua pembicaraan di tiap komisi DPR-RI, direkam oleh ”SWARA” lalu disalurkan melalui satelit langsung ke Washington.

Kalau tidak salah, Peter Gontha menyebut untuk penggunaan channel “SWARA” tersebut LSM Amerika membayar ke Indovision sebesar Rp. 400,- juta per tahun.

Di ibukota negara Amerika Serikat itu, kata Peter, para ahli mengenai Indonesia, menyadur dan mempelajari apa yang dibicarakan oleh Parlemen Indonesia.

Ketika itu saya belum “ngeh” dan saya yakin Peter Gontha juga sama dengan saya. Bahwa pemantauan semua pembicaraan di sidang DPR RI, merupakan bagian dari sebuah agenda besar negara besar itu untuk mengubah sistem politik Indonesia sesuai demokrasi Amerika.

LSM Amerika yang ditugaskan menyewa “SWARA”, mempelajari bagaimana bentuk konsep RUU Pemilu yang cocok diterapkan di Indonesia pada tahun 2004. Konsep ini, ketika ditawarkan kepada Indonesia, diusahakan sedemikian rupa, tidak menimbulkan kecurigaan.

Strateginya adalah sebelum memperkenalkan konsep RUU Pemilu yang baru, batang tubuh utama dari semua UU yaitu UUD 45 terlebih dahulu harus diamandemen. Sehingga amandemen itulah yang diagendakan pada tahun 2002.

Tidak heran jika inflitrasi untuk mengubah sistem politik Indonesia, secara kronologis berlangsung sebagai berikut: tahun 2000-20001, dilakukan pemantauan apa yang menjadi pembicaraan di Gedung DPR, melalu "SWARA" channel. Yang dipantau termasuk para wakil rakyat yang dianggap penting.

Tahun 2002, dilakukan perubahan UUD 45, diikuti oleh perubahan UU Partai Politik untuk pelaksanaan Pemilu Demokratis Pertama tahun 2004.

Dan hasilnya sejak 2004, sistem Pemilu di Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar.

Namun bangsa kita sendiri rata-rata merasa nyaman dengan sistem Pemilu Setengah Liberal tersebut. Sehingga tiga kali Pemilu Separuh Liberal, kita laksanakan 2004, 2009 dan 2014.

Setelah tiga kali, baru muncul perasaan tidak puas atau tak nyaman. Ketidakpuasan ini sudah diantisipasi. Sehingga di saat ada ketidakpuasan itu muncul tawaran perubahan UU Pemilu.

Dan realisasinya adalah RUU Pemilu 2019 yang Liberal Penuh. Pemilu ala Amerika Serikat yang saat ini dibahas oleh DPR dan pemerintah.

Rakyat Indonesia yang cinta pada keutuhan NKRI, patut bersyukur karena pembahasan RUU Pemilu 2019 antara pemerintah dan DPR-RI mengalami jalan buntu atau “dead-lock”.

Sebab kalau lancar-lancar saja RUU Pemilu 2019 sudah lama diketok palu, sah menjadi UU. Dan Pemilu 2019 pun serta merta akan digelar dengan format baru yang sangat mirip dengan Pemilu di Amerika Serikat.

Lantas apa yang salah kalau Indonesia mengikuti format Pemilu Amerika Serikat?

Jelas bukan hanya salah. Tapi sangat berbahaya atau beresiko. Dan patut dipertanyakan, mengapa RUU Pemilu Liberal itu sampai bisa masuk dalam agenda DPR-RI?

Pertama, Rancangan Undang Undang Pemilu dengan format seperti Amerika itu, tidak pernah disebut-sebut sama sekali. Ujug-ujug sudah menjadi materi penting di Parlemen dan hanya disebutkan Pemilu 2019 nanti disebut Pemilu Serentak. Dimana pemilihan Presiden dilangsungkan bersamaan dengan pemilihan anggota-anggota legislatif.

Di sini ada kesan, usaha menggolkan RUU yang berjiwa liberal ini, sengaja dilakukan secara diam-diam. Diusahakan semaksimal mungkin, tidak mengundang reaksi dan kontroversi.

Kedua, bukannya anti pada apa yang berbau Amerika - terutama dalam sistem politik dan format Pemilu. Tetapi sudah bukan rahasia lagi, tiga kali kita menyelengarakan Pemilu dengan sistem setengah liberal: 2004. 2009 dan 2014, hasilnya selalu menyisakan persoalan.

Ketiga pemilu dengan format Amerika itu jelas sesuatu yang baru. Sebagai sebuah sistem yang masih baru, pelaksanaannya mengandung banyak resiko.

Di sini muncul pertanyaan, mengapa sebuah sistem politik yang baru, diadopsi dari sistem Amerika, belum pernah diujicobakan, tidak pernah diwacanakan kepada masyarakat, tiba-tiba sudah muncul sebagai dokumen penting di Senayan?

Sebagai warga negara yang punya kepedulian, boleh dong bertanya: siapa yang melakukan inisiatif atas pengajuan RUU Pemilu 2019 ini? Apakah pemerintah atau DPR-RI?

Saya curiga RUU ini berasal dari pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri.

Nah loh, jika kecurigaan ini benar, datangnya dari pemerintah atau Kementerian Dalam Negeri, lalu apakah Kementerian yang dipimpin oleh kader PDIP ini tidak kecolongan?

Maka yang menjadi pertanyaan, apa iya seorang Mendagri sekaliber Tjahjo Kumolo yang banyak makan garam dalam dunia politik sejak Orde Baru, tidak bisa mencium bahwa RUU Pemilu 2019 yang kontennya bersifat Liberal ini - sesuatu yang berbahaya ?.

Semoga Pak Mendagri kita tidak sampai 'masuk angin' sehingga gagal mengantisipasi jebakan yang bersifat perang asimetris. Agenda untuk menghancurkan Indonesia melalui perubahan sistem politik, menggeser UUD 45 dan Pancasila.

Maksud saya semoga tidak kebobolan dan salah paham ya Mas Tjahjo. Terima Kasih. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA