Secara khusus ia menyoroti ketentuan yang menyebut keputusan bisnis BUMN tidak diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan tidak dikategorikan sebagai kerugian negara.
Hal ini, menurut Defiyan, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menimbulkan persoalan dalam pengelolaan BUMN.
“Tidak bisa kemudian dengan alasan
business judgment rule lalu terbebas dari pasal merugikan keuangan negara,” kata Defiyan kepada
RMOL, pada Sabtu 8 Februari 2025.
Lanjut Defiyan, setiap keputusan bisnis harus melalui kajian komprehensif dan analisis risiko yang tajam. Jika prinsip ini dijalankan, BPK tidak bisa serta-merta menetapkan suatu keputusan bisnis sebagai penyebab kerugian negara.
Selain itu, ia juga menyoroti potensi penyalahgunaan audit kalau anggota BPK mayoritas berasal dari kader partai politik. Menurutnya, kondisi ini dapat menjadikan direksi BUMN sebagai korban kepentingan politik tertentu.
“Jika anggota BPK sebagian besar berasal dari para kader partai politik-lah yang akan membuat pemeriksaan (audit) terhadap objek
business judgment rule berpotensi menjadikan para direksi BUMN 'korban' dari oknum BPK,” tuturnya.
Berbeda halnya kalau anggota BPK berasal dari kalangan profesional atau teknokrat dengan pengalaman di bidang akuntansi.
Karena itulah Defiyan menegaskan, revisi UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK perlu dilakukan, khususnya dalam hal perekrutan anggota yang harus terbebas dari afiliasi parpol.
Selain itu, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juga perlu ditinjau ulang. Terutama terkait aturan kepemilikan negara dan Penyertaan Modal Negara (PMN).
Lebih jauh, ia menilai proses revisi UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengalami cacat konstitusional karena minimnya ruang bagi partisipasi publik.
“Lebih dari itu, yang tidak bisa diterima secara substansial-konstitusional dari aspek formil dan materil adalah ketiadaan ruang dan partisipasi publik atas proses revisi UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN tersebut,” tegasnya.
BERITA TERKAIT: