Roso Jiniwit Katut

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Rabu, 26 April 2017, 14:24 WIB
<i>Roso Jiniwit Katut</i>
Jaya Suprana/Net
SEBELUM meninggalkan dunia fana, Prof. Sarlito Wirawan sempat berkisah kepada saya tentang bagaimana pada suatu hari di sebuah sekolah kelas elit masa kini seorang guru memberikan tugas kepada murid-muridnya untuk membuat karya tulis bertema "Perasaan Saya".

Tugas karya tulis itu ternyata menimbulkan kebingungan para murid sebab tidak mengerti mengenai apa sebenarnya makna tema karya tulis yang diajukan sang guru. Maka ketika aneka ragam karya tulis diserahkan kepada sang guru, giliran sang guru mengalami kebingungan akibat ada karya tulis yang kosong melompong tanpa isi namun ada pula yang terus terang mengaku bahwa “perasaan saya sekarang bingung “sampai ke yang menulis karya tulis melenceng ke sana ke mari tanpa kaitan dengan tema “Perasaan Saya”.  

Kisah Prof Sarlito Wirawan mengindikasikan bahwa generasi muda masa kini tidak mengerti makna apa yang disebut sebagai perasaan akibat pendidikan yang lebih mengutamakan pikiran ketimbang perasaan . Maka tidaklah heran apabila cukup banyak masyarakat Jakarta masa kini mendukung atau minimal membenarkan kebijakan menggusur rakyat miskin secara jelas-jelas melanggar hukum serta HAM.

Rupanya para pendukung kebijakan menggusur rakyat secara sewenang-wenang itu memang tidak mengerti apa yang disebut sebagai perasaan sehingga wajar apabila mereka juga tidak mengerti bahwa para rakyat tergusur sebenarnya memiliki perasaan. Wajar bahwa mereka juga tidak bisa merasakan bahwa yang dirasakan oleh rakyat tergusur adalah perasaan yang tidak menyenangkan seperti sedih akibat kehilangan tempat bermukim, kecewa akibat dipaksa pindah ke rusunawa di luar jangkauan kemampuan bayar sewa serta nun jauh dari lokasi sumber nafkah, prihatin akibat sudah digusur masih dihujat sebagai warga liar perampas tanah negara.

Memang mereka yang bukan korban penggusuran sulit atau bahkan mustahil bisa merasakan derita mereka yang digusur. Adalah mahaguru kemanusiaan saya, Sandyawan Sumardi yang menyadarkan saya bahwa dalam kebudayaan Jawa ada peribahasa “roso jiniwit katut” yang mengungkapkan kemampuan ikut merasakan rasa orang lain yang dijiwit = dicubit.

Tampaknya masyarakat Jakarta yang tidak merasa terancam digusur memang tidak mengenal “roso jiniwit katut” maka tidak mampu ikut merasakan perasaan rakyat yang tergusur. Namun andaikata seluruh masyarakat Jakarta “roso jiniwit katut” pun, permasalahan derita rakyat tergusur tetap tidak terselesaikan.

Yang lebih penting “roso jiniwit katut” adalah pemerintah agar mampu ikut merasakan derita rakyat tergusur maka tidak akan melakukan penggusuran rakyat secara paksa apalagi melanggar hukum dan HAM.

Pemerintah “roso jiniwit katut” tidak akan menggusur namun dengan penuh rasa kemanusiaan adil dan beradab menata pemukiman rakyat agar menjadi lebih tertib, bersih, sehat dan sejahtera.

Andaikata memang pembangunan infra struktur tidak-bisa-tidak memang harus dilakukan dengan penggusuran juga tak masalah. Sebab relokasi pemukiman rakyat dapat ditata laksana tanpa paksaan namun secara musyawarah mufakat antara pemerintah dengan rakyat sesuai kesepakatan antara Ir Joko Widodo dengan rakyat miskin Jakarta yang tertera pada Kontrak Politik “Jakarta Baru“ yang pada hakikatnya selaras dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang telah disepakati para anggota (termasuk Indonesia) Persatuan Bangsa Bangsa sebagai pedoman pembangunan planet bumi abad XXI tanpa mengorbankan alam dan manusia.[***]

Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajar Kemanusiaan



< SEBELUMNYA

Hikmah Heboh Fufufafa

BERIKUTNYA >

Dirgahayu Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA