Mempersiapkan Khaira Ummah (33)

Bhinneka Tunggal Ika: Islam

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 20 Maret 2017, 08:09 WIB
Bhinneka Tunggal Ika: Islam
Nasaruddin Umar/Net
SUBSTANSI Islam sesung­guhnya adalah "Bhinneka Tunggal Ika", yang sering diartikan dengan bercerai berai tetapi tetap satu atau kesatuan di dalam keberag­aman. Istilah ini digunakan para founding fathers kita di dalam memperkenalkan In­donesia di dalam dan di luar negeri. Keberagaman sendiri adalah sunnatul­lah. Menolak keragaman berarti menolak sun­natullah. Dalam Al-Qur’an ditegaskan: Wa lau sya’a Rabbuka laja’alnakum ummatan wahidah (Jika Tuhan-Mu menghendaki niscaya ia men­jadikan kalian suatu umat). Dalam ayat tersebut Allah Swt menggunakan kata/huruf lau, bukan­nya in atau idza. Dalam kaedah Tafsir dijelaskan, apabila Allah menggunakan kata lau (jika) maka sesungguhnya hampir mustahil kenyataan itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Kalau kata in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pasti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi. Masalahnya sekarang kamus bahasa Indonese­ia kita tidak memiliki kosa kata sepadan dengan bahasa Arab, sehingga keseluruhannya diartika dengan "jika" tanpa kualifikasi.

Konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak jarang terjadi karena dipicu sentimen per­bedaan penafsiran kitab suci. Ada segolongan sering memperatasnamakan suatu penafsiran lalu menyerang kelompok lain, karena meng­klaim dirinya paling benar. Ironisnya, tidak ja­rang terjadi justru terkadang kelompok minori­tas yang menyatakan kelompok mayoritas atau mainstream yang sesat. Kelompok pemurni ajaran (puritanisme) seringkali mengklaim diri paling benar dan mereka merasa perlu mem­bersihkan ajaran agama dari berbagai khurafat dan bid’ah. Namun kelompok mayoritas yang diobok-obok seringkali di antaranya tidak men­erima serangan pembid'ahan itu karena merasa dirinya berdasar dari sumber ajaran dan dipan­du oleh ulama besar. Akibatnya kelompok may­oritas melakukan penyerangan terhadap kelom­pok minoritas.

Sesungguhnya kasus seperti tersebut di atas bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara mayoritas muslim lain juga ser­ing ditemukan. Penyerangan aliran yang diang­gap "sesat" oleh majlis ulama seringkali men­jadi target. Di antara berbagai golongan saling mengkafirkan dan saling usir-mengusir dan bah­kan bunuh-bunuhan lantaran dipicu penafsiran sumber ajaran agama. Tentu saja kenyataan ini sangat disesalkan karena mereka sama-sa­ma berpegang kepada kitab suci yang sama tetapi mereka saling bermusuhan satu sama lain. Di Indonesia yang mengenal motto Bhin­neka Tunggal Ika seharusnya konflik horizontal tidak perlu terjadi. Meskipun suku, etnik, agama dengan berbagai aliran dan mazhabnya ber­beda-beda namun persamaan historis sebagai satu bangsa yang pernah mengalami pahit ge­tirnya perjuangan melawan penjajah membuat perbedaan-perbedaan tersebut ibarat sebuah lukisan yang berwarna-warni membuat lukisan itu menjadi lebih indah. Nuansa keindonesiaan ini seharusnya mampu melenturkan kelompok-kelompok etnik dan ajaran agam sebagai di In­donesia.

Sudah sekian lama konflik horizontal serius dan masif tidak pernah terjadi di Indonesia da­lam masa proto Indonesia. Belakangan setelah Indonesia bersentuhan dengan nilai-nilai ke­masyarakat baru, sebagai pengaruh globalisa­si, bangsa Indonesia mulai berkenalan dengan konflik horizontal yang bertema keagamaan, meskipun dengan segera bias terselesaikan se­cara adat. Kristalisasi nilai-nilai keindonesiaan telah berhasil mengantarkan bangsa ini menja­di satu kesatuan wilayah geografis dan kultural yang kuat, sehingga mampu mengusir kekuatan penjajah.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA