Mereka yang membenarkan penggusuran tampaknya tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah memenangkan gugatan warga Bukit Duri terkait sejumlah surat peringatan (SP) penggusuran yang dikeluarkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Selatan pada akhir Agustus 2016. Putusan tersebut resmi dibacakan majelis hakim PTUN Jakarta pada petang hari Kamis 5 Januari 2017.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan keseluruhan gugatan warga Bukit Duri terkait sejumlah surat peringatan (SP) penggusuran yang dikeluarkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Selatan beberapa bulan lalu. PTUN menyatakan membatalkan SP tersebut karena dinilai tidak sah dan melanggar hukum.
"Terhadap objek sengketa objek sengketa (SP1, SP2, dan SP3), majelis menyatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata majelis PTUN Jakarta yang dipimpin hakim Baiq Yuliani.
Selain membatalkan tiga SP yang diterbitkan Satpol PP Jakarta Selatan, majelis hakim PTUN juga mengakui hak kepemilikan warga Bukit Duri atas tanah yang dirampas oleh Pemprov DKI, beberapa bulan lalu. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis mengatakan tanah yang digunakan pemerintah pusat dan Pemprov DKI serta Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) adalah tanah milik warga Bukit Duri yang telah dimiliki secara turun temurun.
"Majelis berpendapat, kepemilikan tanah-tanah warga Bukit Duri sudah sesuai dengan UU No 2/2012 juncto Perpres No 71/2012," ungkap hakim.
PTUN menilai penerbitan SP1, SP2, dan SP3 oleh Satpol PP Jakarta Selatan telah menyalahi izin lingkungan, izin kelayakan lingkungan, dan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan).
Di samping itu, ketiga SP tersebut juga bertentangan dengan UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Perpres No 71/2012, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU HAM.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat, Pemprov DKI Jakarta wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari diterbitkannya objek sengketa (SP1, SP2, dan SP3). Mulai dari dihancurkannya rumah-rumah warga, hingga dirampasnya tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak.
Majelis hakim PTUN juga menilai pelaksanaan pembebasan tanah warga Bukit Duri tidak berdasarkan pada tahap-tahap yang diperintahkan dalam UU Pengadaan Tanah. Tahap-tahap itu antara lain melakukan inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; penilaian ganti kerugian; musyawarah penetapan ganti kerugian; pemberian ganti kerugian, dan; pelepasan tanah instansi.
Hakim juga menyatakan Pemprov DKI telah melanggar asas partisipasi, asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan dalam menjalankan tindakan faktual berupa penggusuran warga Bukit Duri.
Majelis Hakim PTUN memutuskan bahwa Pemprov DKI harus memulihkan hak-hak warga Bukit Duri yang telah dilanggar dan memberikan ganti rugi kepada mereka.
Berdasar putusan Majelis Hakim PTUN itu dapat diyakini bahwa warga Bukit Duri sebenarnya sama sekali bukan warga liar yang bermukim secara ilegal alias melanggar hukum. Rakyat tergusur sudah cukup menderita digusur, maka mohon jangan ditambah lagi dengan derita difitnah sebagai warga liar pelanggar hukum atau fitnahan apa pun. Atas nama kemanusiaan adil dan beradab, mohon jangan fitnah rakyat tergusur. [***]
Penulis adalah pemrihatin nasib rakyat tergusur
BERITA TERKAIT: