Haris menjelaskan, selama ini dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme pemerintah cenderung terfokus pada penghukuman pelaku terorisme saja, sementara para korban masih minim diperjuangkan.
Berikut pemaparan Abdul Haris terkait usulan agar didaÂlam revisi Undang-Undang Antiteroris juga membahas hak para korban;
Apa saja poin-poin usulan yang akan diajukan LPSK terkait hak para korban terorisme?Pertama, soal perlu adanya hukum acaranya tentang dana kompensasi ini. Supaya ke deÂpannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di pengadilan tidak lagi ragu-ragu memperjuangkan kompensasi terhadap korban terorisme.
Kedua, harus ada penyederÂhanaan pemberian kompenÂsasi. Misalnya, tak perlu melalui pengadilan. Cukup dinyatakan penggantian kerugian dengan skema tertentu yang sudah diÂtentukan pemerintah. Tanpa harus menunggu putusan (penÂgadilan).
Poin berikutnya?Terakhir, mengenai pihak yang berwenang menyatakan, bahwa seseorang merupakan korban tindak pidana terorisme. Hal itu diperlukan agar jelas siapa saja yang berhak mendaÂpatkan kompensasi. Tapi yang jadi masalah, adalah belum ada kepastian lembaga mana yang berwenang.
Bukankah seharusnya LPSK yang berwenang?Tidak, menurut saya pihak yang bisa diberi kewenangan adalah kepolisian. LPSK cuma memberikan rekomendasi. Sebab, mereka adalah pihak yang mengetahui persis siapa pelaku dan korban dari peristiwa terorisme.
Masalahnya, selama ini keÂpolisian terkadang tidak mau memberikan keterangan terseÂbut. Padahal, keterangan itu sangat berguna bagi korban agar bisa mendapatkan layanan.
Kenapa kepolisian suka engÂgak mau kasih keterangan?Mungkin karena mereka engÂgak punya data pasti tentang siapa saja korbannya. Setelah kejadian mereka kan fokus kepada pengungkapan kasus, mencari barang bukti, saksi, dan lain sebagainya. Akibatnya kebutuhan korban agak terbengÂkalai.
Kalau begitu korban enggak dapat bantuan dong?Iya. Makanya Ini perlu ada keÂjelasan. Dalam revisi juga perlu diwajibkan bahwa polisi bisa mengeluarkan surat keterangan tersebut.
Bisa disebutkan contoh korÂban kasus terorisme yang ngÂgak dapat kompensasi karena masalah ini?
Misalnya dalam kasus Bom Thamrin dan Bom Bali. Masih banyak korban yang hingga saat ini masih menunggu haknya. Korban Bom Bali itu malah banyak bantuannya dari negara lain, seperti Australia. Lalu korÂban Bom Marriott justru dapat bantuan dari yayasan.
Terkait poin kedua, yaitu penyederhanaan mekanisme pemberian kompensasi. Itu maksudnya gimana?Begini, berdasarkan ketenÂtuan, dana kompensasi hanya bisa diberikan berdasarkan puÂtusan atas kasus tindak terorismenya. Masalahnya adalah, satu perjalanan sidangnya lama, dan kedua pelakunya meninÂggal akibat bentrok dengan polisi. Kalau sudah begitu kan surah bagi korban untuk dapat kompensasi. Makanya harus ada cara lainnya.
Caranya?Misalnya dengan cara menerapkan model asuransi atau keÂcelakaan lalu lintas kan sudah ada. Kan ada tuh aturannya, meninggal sekian, cacat sekian, luka berat sekian, dan lain sebagainya. Dengan begitu kompensasi bisa diberikan tanpa harus menunggu putusan pengadilan.
Kalau begitu bukannya daÂna kompensasi yang diterima para korban mungkin jadi lebih kecil?Memang, tapi daripada ngÂgak dapat apa-apa selain dibuat berharap sidangnya akan selesai. Memang tidak seberapa, tapi paling nggak akan terjamin dapat. ***