Negara-negara tempat tujuan lahir generasi kedua mereka yang tetap beragama Islam (
the western-born and the second-generation musÂlim). Dari manapun dan di manapun komunitas Islam itu berada selalu menciptakan lingkungan sosial unik karena mereka memiliki simbol-simbol perekat (
melting pot) berupa mesjid, halal food, pendidikan dasar keagamaan untuk anak-anak mereka, dan majlis taklim untuk para orang tua, bahkan terakhir ini memiliki media telivisi dan meÂdia sosial lainnya, yang bisa lebih merekatkan hubungan mereka satu sama lain. Bahkan terjadi hubungan akrab antara muslim pendatang denÂgan muslim lokal sedemikian kuat, yang ditanÂdai dengan lahirnya berbagai produk yang saling menguntungkan satu sama lain.
Di antara fenomena khusus dapat disaksikan ialah keterikatan mereka dengan negara asal sangat kuat karena tokoh-tokoh keagamaan kharismatik dari negerinya tetap dijalin. BahÂkan secara periodik mereka menziarahi tokoh tersebut atau tokoh spiritual itu didatangkan ke negeri baru ini untuk memberikan pencerahan kepada segenap warga muslim, baik generasi awal maupun generasi kedua. Yang lebih meÂnarik ialah generasi kedua muslim ini dituntut oleh negeri baru ini untuk memberikan loyaliÂtas penuh sebagaimana halnya warga lainnya yang lahir di negeri asal masing-masing.
Perkembangan menarik untuk diamati ialah satu sisi secara emosional dan spiritual warga muslim masih tetap terikat dengan negeri asal, tetapi secara hukum ketatanegaraan setempat mengharuskan mereka untuk sepenuhnya loyal kepada negara barunya. Kenyataan umat Islam di negera "kedua" ini membayar pajaknya keÂpada negara di mana mereka berdomisili, tetapi zakat harta, waqaf, infaq, dan shadaqah, bahÂkan terkadang hewan qurban dan aqiqah serta dam masih disalurkan kenegeri asal leluhurnya. Tidak sedikit dana yang diperoleh di negeri baru dialirkan ke negeri asalnya karena mereka yakin lebih afdhal memberikan waqaf dan zakat harta ke negeri asalnya ketimbang di negeri barunya. Belum lagi keterikatan emosional dengan keluarÂga leluhurnya, misalnya masih sempat membanÂgunkan rumah orangtuanya yang masih hidup di negeri asal, merehab sekolah dan masjid yang pernah menempanya, dan lain-lain, mereka kemÂbalikan ke negeri asalnya. Bahkan, sebagian di antara mereka masih menyerahkan binatang kurban dan kambing 'aqikah ke negerinya. SeÂbagian juga menginvestasikan keuntungannya di negeri sendiri karena mungkin masih ada haraÂpan untuk menjalani masa pensiun atau mau mati di negeri asal mereka.
Fenomena kaum migran muslim seperti tersebut di atas umumnya masih berlangsung hingga sekarang, kecuali beberapa warga yang sudah kehilangan kampung halaman di negerinya, seperti warga Palestina, Rohingya, Bosnia, yang kampung serta propertinya sudah hilang. Yang terakhir ini memilih untuk membangun koÂmunitas khusus di negeri keduanya. Mungkin fenomena baru akan muncul, jika generasi perÂtama sudah pergi dan tinggal hanya generasi lapis kedua, ketiga, dan seterusnya, yang suÂdah lahir dan berbudaya setempat, meskipun masih tetap beragama Islam, tetapi jalan pikiran dan prilakunya lebih diwarnai oleh budaya barat (
westernized). ***