Suatu ketika seorang pelacur mencari ulama untuk curhat dan sekaligus meminta nasihat baÂgaimana meninggalkan dunia hitam yang selama ini degelutinya. Ia juga akan menanyakan masih adakah harapan Tuhan memaafkan dan meneriÂma tobatnya setelah malang melintang dalamlumÂpur dosa. Mendengarkan keinginan itu, sang ahli ibadah itu menolak harapan perempuan nakal itu dengan mengatakan, aku tidak mau menodai diriÂku dengan berkomunikasi orang kotor seperti itu. Mendengarkan cerita itu maka Nabi mengatakan, sang ahli ibadah itu penghuni neraka dan peremÂpuan yang karena ketulusannya ingin bertobat adalah penghuni syurga,
subhanallah. Kisah ini mengingatkan kita kepada Q.S. al- Ma’un, yang intinya menjelaskan kriteria kualiÂtas keberagamaan seseorang tidak diukur dari banyaknya ibadah
mahdhah yang dilakukan tetapi ibadah sosial, seperti memperhatikan nasib fakir miskin dan anak yatim piatu. BahÂkan dalam surah itu juga dinyatakan celakalah bagi orang salat yang salatnya tidak membawa dampak sosial kemasyarakatan. Aktivitas ibaÂdah dan spiritual yang dilakukan tanpa memÂpedulikan lingkungan masyarakat di mana ia berada malah dikhawatirkan terjebak dengan apa yang disebut dengan ego spiritual.
Kekuatan ego tidak semata-mata bisa diukur berdasarkan ukuran-ukuran fisik, seperti keingiÂnan kuat untuk memiliki jabatan kekayaan fisik lainnya, tetapi juga dalam bidang spiritual. SerÂingkali seseorang terlihat
low profile, tetapi seÂcara spiritual menyimpan sesuatu yang tercela di mata Tuhan. Ego spiritual terjadi ketika orang-orang yang terlalu mengedepankan hubungan vertikalnya dengan Tuhan tanpa mau tahu lingÂkungan masyarakat sekitarnya. Bahkan ia cenderung menghindarinya, karena seolah-olah dirinya sudah tidak selevel dengan mereka. Ia mengÂklaim dirinya sebagai orang-orang kelas atas daÂlam dunia spiritual. Ia memilah-milih sahabat dan menghindari orang-orang yang justru memerÂlukan perhatian dan kasih sayang serta bimbinÂgan. Jika orang-orang ini dijauhi lantas mereka semakin jauh dengan Tuhan, sementara kita dengan asyiknya beribadah sendirian tanpa keÂhadiran mereka yang boleh jadi menyita waktu, tenaga, pikiran, dan materi, maka kita termasuk kategori ego spiritual.
Ego spiritual tak ada ubahnya dengan ego duniawi yang lebih menekankan ego individualiÂtasnya. Orang-orang seperti inilah yang disebut di dalam Al-Qur'an tidak memiliki bekas-bekas sujud (
atsar al-sujud). Bekas sujud dalam Al-Qur'an buÂkan dengan sengaja menghitamkan dahi di atas kening seperti dilakukan segelintir orang yang memahami secara tekstual ayat tadi.
Atsar suÂjud ialah komoitmen sosial yang tang tinggi dimiÂliki seseorang sebagai bagian dari penghayatan nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya.
Termasuk juga dalam ego spiritual ialah meÂnikmati pujian orang-orang yang mengaguminya lantaran banyaknya ibadah yang dilakukan. Mungkin ia melaksanakan puasa Senin-Kamis, salat-salat
rawatib tidak ada yang ditinggalkan, dan zikirnya jalan terus, lalu dengan enteng meÂmandang enteng orang lain yang tidak seperti dengannya. Amal-amal kebajikannya lebih banÂyak digunakan untuk mengaktualisasikan diri sehingga orang takjub dan menikmati pujian-puÂjian mereka. Padahal mungkin yang bersangkuÂtan pada saat yang bersamaan meninggalkan aib-aiab dan dosa-dosa langganan yang terus menerus di lakukan. Hanya karena keterampiÂlannya menggunakan topeng-topeng kepalsuan ia tidak dipermalukan orang lain. Jika tidak ada yang memujinya, misalnya dengan mencium tanÂgan atau berbagai macam bentuk kultus lainnya, maka seharian itu kehilangan semangat. Semakin banyak yang memujinya semakin mabuk dengan pujian itu, lantas rekayasa dilakukan sedemikian rupa agar orang lain mengaguminya.