Din Syamsuddin merasa tidak elok dipertontonkan unÂtuk berhadap-hadapan dengan bekas ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif. Din dan Syafi'i meruÂpakan warga Muhammadiyah. Keduanya berbeda pandangan terkait kasus dugaan penistaan agama yang menjerat cagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Din yang juga baru menyeleÂsaikan jabatan dua periodenya di PP Muhammadiyah menÂegaskan, ucapan Ahok terkait Surat Al-Maidah ayat 51 jelas penistaan agama.
"Mau menggunkan kata 'pakÂai' atau tidak menggunakan kata 'pakai' nggak ada masalah itu. Nah, ini yang seyogyanya janganbanyak dibantah. Apalagi menggunakan mulut-mulut orang Islam, memakai tokoh-tokoh Islam," katanya ketika dihubungi
Rakyat Merdeka tadi malam.
Alasan Din, karena Ahok memberikan penilaian, atau judgemen terhadap penafÂsiran orang lain. Apalagi Ahok, menurutnya, bukan dari kaÂlangan agama yang penafÂsiran kitab sucinya dikomentari dengan menggunakan kata peyoratif.
Untuk diketahui, peyoratif adalah unsur bahasa yang memÂberikan makna menghina, merÂendahkan, dan sebagainya, yang digunakan untuk menyatakan penghinaan atau ketidaksukaan seorang pembicara. Berikut pernyataan Din Syamsuddin selengkapnya;
Sebenarnya bagaimana sih duduk perkara dari kasus duÂgaan penistaan agama ini?Tidak dapat diingkari bahwa apa yang diucapkan Ahok di Pulau Seribu itu adalah peÂnistaan agama, atau kesucian agama. Termasuk yang diwakili oleh para tokoh dan ulama.
Alasan Anda?Alasannya adalah karena dia memberikan penilaian, atau
judgemen terhadap penafsiran orang lain. Apalagi dia bukan dari kalangan agama tersebut dengan menggunakan kata peyÂoratif. Dibodohi, itu dikotak-katik secara gramatikal, nggak bisa tidak, itu penistaan. Karena ada
judgement-nya itu, peÂnilaian. Apalagi kata peyoratif dibodohi.
Tapi aparat penegak hukum beralasan masih belum bisa menyimpulkan Ahok melakuÂkan penistaan agama, lantaran menggunakan kata 'pakai' setÂelah kata dibodohi?Mau menggunakan kata 'pakÂai' atau tidak menggunakan kata 'pakai' nggak ada masalah itu. Nah, ini yang seyogyanya jangan banyak dibantah. Apalagi mengÂgunakan mulut-mulut orang Islam, memakai tokoh-tokoh Islam. Ini membangkitkan reaksi umat. Yang boleh jadi sudah mau memaafkan. Saya kan bilang, karena sudah minta maaf maka perlu diberi maaf. Cuma ternyata tidak selesai.
Sejumlah kalangan merasa tidak cukup hanya dengan minta maaf?Karena pihak sana seolah-olah membela diri, sehingga diangÂgap tidak tulus minta maaf, bahÂkan memakai mulut tokoh-tokoh Islam untuk membela-bela diri.
Siapa itu yang anda makÂsud?Kalau saya sebut, ada Nusron Wahid, Syafii Maarif dan lain-lain. Ini yang membangkitkan reaksi umat. Oleh karena itu, silakan proses hukum. Bagus, sudah disÂepakati dan itu dari awal disangsiÂkan oleh sebagian (rakyat).
Kenapa rakyat menjadi sangsi?Karena melihat kasus reklaÂmasi dan Sumber Waras. Ahok seperti kebal hukum, ini memÂbangkitkan emosi. Sehingga sangsi. Bahkan sekarang pun masih sangsi itu umat. Karena proses hukumnya tidak berkeaÂdilan, maka pesan saya umat tetap tenang. Beri kesempatan pada proses hukum, yang kedua pihak pemerintah, kepolisian jangan main-main. Hukum harus berkeadilan.
Kalau tidak?Kalau tidak berkeadilan, ini bisa lebih besar lagi, ini yang tidak kita inginkan. Karena saya berpendaÂpat, jangan karena nila setitik, ruÂsak susu sebelanga. Jangan karena orang satu, harmoni bangsa terÂganggu. Ini yang harus dipahami oleh elite-elite bangsa.
Anda juga sempat mengaÂtakan ada kekuatan uang di balik kasus ini. Itu maksudnya apa?Oh iya, itu sama sejalan denÂgan (komentar) Panglima TNI itu yang perlu disadari oleh bangsa. Dari pemerintah sampai ke bawah hingga ke atas. Bahwa ini bukan sekadar masalah Pulau Seribu, tapi ada masalah besar di sini. Ada kekuatan uang, ini yang kemudian melumpuhkan sendi-sendi kekuatan bangsa, peÂmerintah, Ormas, Parpol, Pers. Ini kalau tidak segera dihalangi kesenjangan kita sudah tinggi. Segelintir orang kok menguasai aset nasional lebih besar. Nah kesenjangan keadilan akan diÂlawan oleh rakyat. ***
BERITA TERKAIT: