Kini, bedeng tersebut telah berubah menjadi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kalideres. Sebelumnya, bedeng itu sering digunakan Agus dan teman-temannya sebagai tempat berkumpul. Tempat menggunaÂkan narkoba.
Beberapa fasilitas dibangun dalam RPTRA berukuran 50x20 meter tersebut. Pagarnya terbuat dari besi. Tembok RPTRA dicat dengan warna hijau dan biru.
Sebuah lapangan sepakbola mini berukuran 10x10 meter, dengan dua buah gawang kecilberukuran mini, menjadi salah satu fasilitas di RPTRA Kalideres. Agar nyaman dan teduh saat digunakan warga, di beberap sudut RPTRA ditanami pohon rindang.
Beberapa mainan anak seperti ayunan, papan jungkat-jangkit dan komidi putar hingga perosotan terdapat di dalam taman. Tak cuma arena bermain bagi anak, di dalam taman tersebut juga terdapat fasilitas bagi orangtua anak-anak.
Di dalam taman tersebut juga didirikan sebuah bangunan menyerupai rumah seluas 10x15 meter persegi yang memiliki beberapa ruangan. Antara lain ruangan untuk ibu menyusui, dan ruangan untuk PKK.
Warna bangunan tersebut berbeda dengan dengan tembok RPTRA. Cat temboknya krem, sedangkan kusen-kusen pintu dan jendelanya dicat berwarna putih.
Untuk meminta tanggapan keluarga korban atas vonis terseÂbut, Rakyat Merdeka mendatangi rumah keluarga almarhum PNF. Namun, saat didatangi, orangtua PNF sedang melakukan kegiatan di luar rumah.
Seorang anggota keluarga yang menolak ditulis identitasÂnya mengatakan, usai putusan majelis hakim, enam orang perwakilan dari kejaksaan mendatangi rumah PNF. Rumah alÂmarhum PNF berada di RT 05, RW 07, Nomor 16, tak jauh dari bedeng Agus yang sekarang telah menjadi RPTRA.
Kata perwakilan keluarga PNF ini, jaksa menjelaskan mengenai putusan majelis haÂkim terhadap Agus. "Mereka datang dari jam 12 siang, dan beberapa saat di rumah," cerita pria ini saat berbincang dengan
Rakyat Merdeka pada Selasa sore (27/9).
Usai melakukan kunjungan ke rumah, lanjutnya, rombongan kejaksaan kemudian mengunÂjungi lokasi bekas bedeng Agus, atau kini RPTRA Kalideres. Tak lama berada di sana, rombongan melanjutkan kunjungan ke makam almarhum PNF yang berada tak jauh dari rumah korban.
"Menanggapi vonis terhadap Agus, kami keluarga besar telah menyerahkan semua prosesnya kepada hukum. Tapi, kami meÂmang mengharapkan hukuman yang setimpal dengan perbuatanÂnya," katanya.
Lebih lanjut, kata dia, keluarga Agus juga tidak pernah datang untuk sekadar meminta maaf kepada keluarganya. "Hukuman Tuhan lebih adil dari hukuman manusia," tuturnya.
Dia juga berharap, kasus Agus menjadi pelajaran semua pihak. Ia meminta agar pemuda menÂjauhi narkoba agar tidak berÂdampak pada kejadian-kejadian yang buruk.
"Agus memang dikenal sebaÂgai pemakai narkoba yang keluar masuk sel. Efek narkoba itu yang mungkin membuatnya bertindak nekat," tandasnya.
Senada dengan keluarga PNF, seorang warga yang biasa berÂkumpul di depan RPTRA menyebut, hukuman mati kepada Agus sudah pas. Karena, menurutnya, perbuatan Agus terÂgolong sangat sadis. "Warga sini juga mendukung hukuman mati itu," tegasnya.
Dia menuturkan, keluarga Agus juga sudah tidak mengakui Agus sebagai anak. "Rumah keluarganya besar, tapi orangtuanya sudah masa bodo. Keluarganya dikenal tertutup di lingkungan ini," ucapnya, sambil menunjukÂkan rumah keluarga Agus yang juga tidak jauh dari RPTRA.
Setelah hampir setahun menjalani proses hukum, Agus yang juga pimpinan geng Boel Tacos akhirnya divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam sidang terakhir, Rabu (21/9).
Majelis Hakim yang diketuai Hanry Hengki Suatan menguraiÂkan, Agus terbukti melakukan pembunuhan berencana, sebaÂgaimana yang dituntut Jaksa Penuntut Umum, sesuai Pasal 340 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut hakim, tidak ada yang dapat meringankan terÂdakwa. Hanry menambahkan, dari fakta-fakta persidangan selama ini, terbukti bahwa Agus melakukan pembunuhan terhadap PNF secara sadis dan di luar akal sehat.
Selain dikenakan Pasal 340 KUHP, menurut hakim, Agus juga terbukti melanggar Pasal 76 D jo Pasal 81 ayat 1 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Terhadap putusan tersebut, Agus menyatakan pikir-pikir. Seusai sidang ini, dia belum menuturÂkan, mau mengajukan banding atau tidak.
Agus dicurigai polisi, memerkosa PNF sebelum membunuhÂnya. Kasus ini berawal dari penemuan sesosok mayat dalam karÂdus di Jalan Sahabat, Kelurahan Kamal, Kalideres, Jakarta Barat pada Oktober 2015.
Latar Belakang
Majelis Hakim Berkeyakinan Unsur Pembunuhan Berencana TerpenuhiMajelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PNJakbar) memvonis mati Agus Dermawan alias Agus Boel Tacos.
Agus dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus pencabuÂlan dan pembunuhan terhadap bocah perempuan berinisial PNF. Jenazah PNF ditemuÂkan dalam kardus di Kalideres, Jakarta Barat.
"Menyatakan terdakwa meÂlanggar Pasal 340 KUHP tenÂtang pembunuhan berencana, menghukum terdakwa dengan hukuman mati," tegas Ketua Majelis Hakim Hanry Hengki Suatan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jalan S Parman pada Rabu (21/9).
Dalam putusan ini, Hanry menguraikan, perbuatan Agus sangat keji. Apalagi, korban yang dibunuh Agus adalah seÂorang anak. Perbuatan Agus juga menggoreskan duka yang mendalam kepada orangtua korban.
"Yang memberatkan, perbuaÂtan terdakwa telah mengakiÂbatkan meninggalnya korban. Akibat perbuatan terdakwa ini, orangtua korban kehilangan putrinya," ucap Hanry.
Majelis hakim juga berkeyakiÂnan, unsur pembunuhan berenÂcana pun terpenuhi. Menurutnya, ada persiapan yang dilakukan Agus sebelum membunuh korÂbannya. "Terdakwa sudah meÂnyiapkan kardus sebelum memÂbunuh korban," tandas Hanry.
Agus menghabisi nyawa korÂban di bedengnya. Kemudian, mayat bocah perempuan itu ditemukan dalam kardus di Jalan Sahabat, Kalideres, Jakarta Barat pada 2 Oktober 2015. Agus juga diduga mencabuli anak-anak di sekitar tempat tinggalnya itu.
Agus juga membentuk sebuah geng bernama Boel Tacos berÂsama anak-anak yang sering berÂkumpul di bedengnya itu. Selain Agus, Geng Boel Tacos berisi 13 anak. Mereka terdiri dari 10 anak laki-laki dan tiga anak peremÂpuan. Bahkan, Agus dikenal sebagai pengguna narkoba.
Diduga, Tacos merujuk pada kata "tak cos" dalam Bahasa Jawa. Artinya, saya coblos. Berdasarkan pemaknaan itu, diduga, geng Boel Tacos berarti kelompok sodomi.
"Boel, setelah ditelusuri, suÂdah dapat artinya, yakni dubur. Untuk Tacos belum dapat info. Karena itu, Boel apakah diartiÂkan sama dengan hubungan seks via dubur, itu yang masih didaÂlami," ujar Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya saat itu, Kombes Krishna Murti.
Dalam kesehariannya, Agus meminta anak-anak anggota Boel Tacos untuk menyerahkan uang Rp 20.000 hingga Rp 50.000 untuk modal membeli ganja dan sabu-sabu.
Selain kasus pemerkosaan dan pembunuhan anak, kasus prostiÂtusi anak juga memprihatinkan. Contohnya yang terungkap di Bogor beberapa waktu lalu, dimana tersangka Aryo menjual seÂjumlah anak laki-laki kepada pria penyuka sesama jenis (gay).
"Kekerasan seksual tidak hanya terhadap anak perempuan, tetapi anak laki-laki pun menjadi korban," ingat Kak Seto, pemerÂhati masalah anak.
Lantaran itu, dia menyarankan agar orangtua memberikan perÂhatian ekstra terhadap putra putrinya. "Kita semua harus serius menangani kasus seperti di Bogor ini, agar korban tidak menjadi pelaku pada kemudian hari," tuturnya.
Peran pemerintah dan aparat kepolisian, lanjut Seto, saat ini sangat dibutuhkan, mengingat semakin banyak kasus seperti ini. Kasus yang menimpa anak di bawah umur.
Seto juga menyarankan agar masyarakat membentuk satgas perlindungan anak di setiap RT dan RW. "Agar kita semua bisa lebih peduli terhadap anak-anak," ucap bekas Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini.
Dia pun mengingatkan, keÂjahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tetapi karena ada kesempatan. Untuk itu, masyarakat harus peduli terhadap satu sama lain, hingga tak ada kesempatan bagi pelaku kekerasan seksual.
"Waspadai para predator seksual dengan cara menjaga anak-anak atau saudara-saudara kita untuk saling berkomunikasi yang akrab dan teratur, sehingga jika ada hal yang mencurigakan, bisa segera diantisipasi," saran Seto. ***