Di kedua undang-undang itu disebutkan para korban akan mendapat kompensasi bila sudah diputuskan oleh pengadilan. "Lalu bagaimana misal pelaku terorisme terbunuh di tempat? Kalau pelaku meninggal di temÂpat maka tidak perlu ada sidang. Kalau tidak ada sidang berarti korban tidak mendapat kompenÂsasi," ujar Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai di Jakarta, kemarin.
Dia meminta ada penyederÂhanaan prosedur, supaya korban bisa lebih mudah mengakses biaÂya kompensasi tersebut. Caranya dengan merevisi kedua undang â€" undang tersebut. "Pemerintah harus peduli pada korban terÂorisme dan korban pelecehan seksual pada perempuan dan anak karena mereka adalah warga dan generasi penerus Indonesia," katanya. Berikut penuturan Haris;
Perubahan seperti apa yang harus dilakukan untuk memÂpermudah prosedur pemÂberian kompensasi kepada korban?Dalam revisinya masukan saja ketentuan tentang nominal ganti rugi bagi korban meninggal, luka ringan, sedang, dan berat tanpa harus melalui proses pengadilan. Jadi begitu ditemukan adanya korban, langsung bisa diberi ganti rugi tanpa harus menunggu proses hukum yang sedang berÂjalan. Sehingga para korban juga tidak harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkannya. Supaya jangan seperti seorang korban pelanggaran HAM yang kasusnya terjadi 2003, tapi baru memperoleh konpensasinya taÂhun ini. Bayangkan korban harus menunggu 13 tahun untuk mendapatkan haknya.
Jika nilai nominalnya sudah ditetapkan, artinya nilai ganti rugi para korban jumlahnya sudah pasti. Bagaimana dengankorban yang mengalami luka ringan, tetapi menderita luka psikologis parah misalnya?Dalam undang-undang yang ditetapkan cukup nilai miniÂmal atau maksimalnya saja. Sementara besaran pastinya diÂlihat dari bagaimana kondisi korban tersebut baik secara fisik maupun psikologis.
Kalau tidak melalui pengadilan, bagaimana bisa meÂnentukan nominal kelayakan ganti ruginya?Untuk memperoleh ganti rugi, warga yang menjadi korban harus mendapatkan rekomendasi dari instansi terkait terlebih daÂhulu. Merela harus mengajukan permohonan ganti rugi kepada kepolisian atau Komnas HAM. Selanjutnya instansi tinggal menurunkan tim guna menyeÂlidiki kebenaran, dan memastiÂkan kondisi korbannya. Setelah itu baru rekomendasi diturunkÂan, dan ganti rugi bisa diberikan. Konsep ini sudah diiterapkan di beberapa negara, salah satunya Amerika Serikat. Sementara untuk di Indonesia sendiri sebeÂnarnya konsep serupa sudah ada, yaitu dalam kecelakaan lalu lintas, dimana korbannya langsung mendapat ganti rugi meski proses hukumnya masih berjalan. Jadi sebetulnya sudah bukan hal yang aneh.
Nanti yang membayarkan ganti ruginya siapa?LPSK. Kepolisian dan Komnas HAM cukup memberikan rekoÂmendasinya. Sebab sebenarnya Undang-Undang LPSK sudah mengatur soal ganti rugi ini. Begitu juga dengan KUHP. Tapi kan baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan, dan saat ini Undang -Undang LPSK tidak sedang direvisi.
Kalau sudah diatur dalam KUHP, artinya masalahnya tinggal pelaksaannya saja dong?Tidak, dalam KUHP juga harÂus dibuat aturan baru lagi. Sebab dalam KUHP soal ganti rugi ini belum dijelaskan. KUHP hanya menetapkan adanya ganti rugi bagi para korban. Sementara keÂtentuan untuk melaksanakannya seharusnya dijelaskan melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang jadi turunannya. Tapi dari tahun 1981 hingga saat ini, aturan tuÂrunannya belum dibuat.
Itu kan bagi korban. Kalau untuk saksi yang misalnya menderita trauma karena aksi pelanggaran HAM berat bagaimana?Sama, pemberian kompenÂsasinya juga rumit. Undang â€" Undang LPSK sudah mengatur soal kompensasi ini, tapi juga baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan. Jadi menuÂrut saya juga harus dibuat aturan yang jelas dalam revisi Undang-Undang KUHP tentang itu. Tapi kompensasinya jangan hanya untuk saksi dari kejadian pelangÂgaran HAM. Saksi di pengadilan juga harus dibuatkan ketentuan soal kompensasi ini. ***
BERITA TERKAIT: