Seperti diketahui, Ahok mengajukan uji materiil terhadap Pasal 70 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mewajibkan cagub petahana cuti saat masa kampanye. Berikut pernyatan lengkap Yusril;
Anda mengatakan kandÂungan pasal 70 sudah cukup jelas. Bisa dijelaskan? Manurut saya Pasal 70 ayat (3) huruf a yang digugat oleh pemohon itu tidak bisa ditafsirkan lain. Bunyi kalimatnya jelas, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang ingin mencalonkan kembali pada daerah yang sama selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan, yaitu menjalani cuti di luar tanggungan negara. Kata "harus" pada pasal itu berbeda dengan kata "harus" dalam huÂkum fikih yang merupakan terÂjemahan dari kata "mubah" atau "jaiz". Kata "mubah" atau "jaiz" bermakna norma yang netral.
Dalam perumusan norma huÂkum di Indonesia, kata "harus" adalah padanan kata yang sama artinya dengan wajib dalam ilmu fikih. Wajib dalam ilmu fikih artÂinya suatu suruhan di mana akan mendapat pahala jika dikerjakan dan mendapat dosa jika tidak. Harus dan wajib adalah norma yang bersifat imperetatif, yakni sesuatu yang mesti dikerjakan. Jika tidak, yang melanggarnya akan dikenakan sanksi.
Tapi undang-undang kan beda dengan ilmu fikih?Undang-undang bisa saja tidak mengatur sanksi apa pun terhadap petahana yang melanggarnya. Namun aparat penegak hukum bisa menimbang sanksi yang pantas dijatuhkan kepada pelanggarnya. Dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat saja menerbitkan peraturan pelaksana yang isinya, jika petahana tidak bersedia melakÂsanakan cuti di luar tanggungan negara, maka yang bersangkutan tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pilkada.
Meski tidak multitafsir, pemohon juga beranggapan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 45. Kalau menuÂrut Anda?Menurut saya tidak ada perÂtentangan antara Pasal 70 ayat (3) huruf a yang digugat oleh pemohon, dengan norma konstitusi dalam pasal -pasal a quo UUD 1945. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang pilkada yang wajib demokratis. Misalnya, apakah Pemilihan Gubernur 2017 akan jadi tidak demokratis jika pemohon cuti di luar tanggungan? Saya tidak melihat logika yang masuk akal yang dikemukakan pemohon dalam positanya.
Kalau dengan Pasal 27 ayat (1) bagaimana?Sama saja, pemohon tidak menguraikan dengan jelas perÂtentangan antara kedua pasal itu. Dalam gugatannya pemohon hanya membandingkan jabatan gubernur dengan presiden yang sama-sama lima tahun. Dalam undang-undang, presiden tidak wajib cuti ketika maju sebagai petahana, sehingga bisa menÂjalankan tugasnya selama lima tahun. Sementara itu, masa jabaÂtan gubernur petahana dianggap pemohon berkurang 4-6 bulan akibat cuti.
Tapi perlu diketahui kalau cuti di luar tanggungan negara sebetulnya tidak dikatakan menÂgurangi masa jabatan. Sebab ketentuan soal itu sudah diatur dalam undang-undang.
Bukankah itu artinya berÂtentangan dengan Pasal 27 UUD 45?Tidak dong. Jabatan presiden itu memang diatur dalam norma konstitusi, yaitu Pasal 7 UUD 1945. Sementara masa jabatan gubernur tidak. Masa jabatan gubernur hanya diatur melalui undang-undang. Tapi di lain pihak, undang-undang juga mewajibkan gubernur petahana untuk cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye. Keduanya diatur dalam undang-undang yang secara hirarkhi kedudukannya setara. Pembuat undang-undang tentu memperÂtimbangkan dengan seksama mengapa ketentuan tersebut berlaku bagi gubernur,bupati, dan walikota.
Tapi kan itu artinya tidak sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan seperti yang diamanatkan UUD?Kita harus ingat, walau sama-sama menjalakan roda pemerintahan, namun ada perbedaan besar dalam hal wewenang dan tanggung jawab. Presiden menurut UUD 45 berwenang menyatakan perang, menyatakan keadaan bahaya dan kewenangan lainnya yang tidak dimiliki gubernur.
Kalau presiden dan wakil presiden harus cuti karena menÂcalonkan diri lagi, tidak ada yang bisa mengambil tanggung jawab jika negara menghadapi situasi genting. Bisa bahaya negara ini.
Meski ada potensi presiden dan wapres petahana juga bisa menyalahgunakan wewenangÂnya untuk kampanye?Iya. Karena itu saya berpendaÂpat kalau kedudukan presiden dan gubernur dalam hal cuti sebagai petahana tidaklah sama. Kemudian kalau hal ini diangÂgap sebagak hak konstitusional oleh pemohon, maka Pasal 28J UUD 1945 dapat membatasi hak konstitusional tersebut.
Kemudian, terkait dengan pemohon yang beranggapan aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D UUD 45 bagaimana?Menurut saya tidak ada perÂtentangan. Norma mewajibkan cuti di luar tanggungan justru sejalan dengan norma keadilan dan kepastian hukum. ***
BERITA TERKAIT: