Filosofi & Tasawuf Haji & Umrah (9)

Makna Simbolik Hajar Aswad

Rabu, 24 Agustus 2016, 09:17 WIB
Makna Simbolik Hajar Aswad
Nasaruddin Umar/Net
rmol news logo Dalam perspektif tarekat, haji dimaknai bukan han­ya dari aspek fikih dan as­pek legalitas haji dan um­rah, tetapi agak lebih dalam berusaha menjiwai makna spiritual dari setiap syarat dan rukun haji. Pandangan tarekat selalu berhati-hati di dalam menjalankan set­iap ketentuan dan syarat serta rukun haji dan umrah karena diyakini urgensi ibadah ini bukan pada aspek ritual-simboliknya, tetapi lebih ke­pada makna spiritual yang tersembunyi di balik ketentuan itu.

Pengamalan haji dan umrah dalam perspek­tif ini bukan hanya pengamalan fisik tetapi lebih dalam lagi sebagai pengamalan batin. Seorang caloh haji tidak cukup hanya mengejar kesem­purnaan syarat dan rukun tetapi ke dalam mak­na dan hakekat rukun dan syarat itu yang perlu ditekankan. Apa artinya rukun dan syarat sele­sai jika tidak memberikan bekas dan efek se­cara batin. Penghayatan dan dan pendalaman makna spiritual menjadi ciri khas dari perspek­tif ini.

Kelompok ini mulai menganalisis asal-usul dan hakekat pelaksanaan haji dan umrah den­gan melangkah surut ke masa lampau. Mer­eka menganalisis apa sesungguhnya makna dan hakekat disyari’atkannya haji dan umrah. Seperti kita tahu haji dan umrah ini bukan han­ya ditemukan dalam syari’at Nabi Muhammad tetapi juga di dalam syari’at nabi-nabi sebelum­nya seperti Nabi Ibrahim dan nabi-nabi sebe­lumnya. Bahkan sejak nabi Adam dan Hawa sejak awal memperkenalkan ibadah ini, seba­gaimana dijelaskan dalam ayat:

Sesungguhnya rumah yang mula-mula diban­gun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberka­hi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa me­masukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sang­gup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Ba­rang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memer­lukan sesuatu) dari semesta alam. (Q.S. Ali ‘Imran/3:96-97).

Dari ayat ini difahami bahwa ibadah ritual paling awal dan konsisten umat manusia ialah ibadah haji ini. Karena itu, kalangan ahli tarekat memaknai ibadah haji dan umrah ini lebih da­lam dari sekadar penjelasan yang diperoleh saat mengikuti manasik haji. Mereka mema­hami penekanan haji bukan dari aspek maqbul (diterima atau ditolaknya haji karena terkait dengan keabsahan amalan rukun dan syarat), tetapi lebih menekankan aspek mabrur (terkait dengan berdampak positif secara permanen yang diraih seorang hujjaj pasca pelaksanaan hajinya). Jika dalam perspektif fikih dan syari’ah terlalu membedakan aspek kedisiplinan se­cara fisik mengamalkan seluruh ketentuan haji, maka dalam perspektif tasawuf termasuk juga mendisiplinkan rohani dan spiritual menghayati dan menikmati ajaran dan amalan haji.

Dalam perspektif tarekat, ibadah haji dirasa­kan betul bukan sekadar perjalanan fisik biasa, tetapi lebih merupakan perjalanan spiritual (spir­itual journey) menuju Allah Swt. Jamaah haji In­donesia sesungguhnya sebagian sudah berada di dalam lingkup perspektif ini. Lihat saja pada proses pelepasan jamaah haji, penuh dengan kesan perjalanan spiritual; sebuah perjalanan yang sangat berbeda dengan perjalanan pe­siar ke luar negeri dengan tujuan wisata biasa. Sebagian calon jamaah haji kita sesungguhnya mengikhlaskan dirinya jika dalam perjalanan hajinya dijemput oleh Allah Swt, karena mereka yakin akan gugur sebagai syuhada yang dijem­put syurga. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA