Pengamalan haji dan umrah dalam perspekÂtif ini bukan hanya pengamalan fisik tetapi lebih dalam lagi sebagai pengamalan batin. Seorang caloh haji tidak cukup hanya mengejar kesemÂpurnaan syarat dan rukun tetapi ke dalam makÂna dan hakekat rukun dan syarat itu yang perlu ditekankan. Apa artinya rukun dan syarat seleÂsai jika tidak memberikan bekas dan efek seÂcara batin. Penghayatan dan dan pendalaman makna spiritual menjadi ciri khas dari perspekÂtif ini.
Kelompok ini mulai menganalisis asal-usul dan hakekat pelaksanaan haji dan umrah denÂgan melangkah surut ke masa lampau. MerÂeka menganalisis apa sesungguhnya makna dan hakekat disyari’atkannya haji dan umrah. Seperti kita tahu haji dan umrah ini bukan hanÂya ditemukan dalam syari’at Nabi Muhammad tetapi juga di dalam syari’at nabi-nabi sebelumÂnya seperti Nabi Ibrahim dan nabi-nabi sebeÂlumnya. Bahkan sejak nabi Adam dan Hawa sejak awal memperkenalkan ibadah ini, sebaÂgaimana dijelaskan dalam ayat:
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibanÂgun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkaÂhi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa meÂmasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sangÂgup mengadakan perjalanan ke Baitullah; BaÂrang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerÂlukan sesuatu) dari semesta alam. (Q.S. Ali ‘Imran/3:96-97).
Dari ayat ini difahami bahwa ibadah ritual paling awal dan konsisten umat manusia ialah ibadah haji ini. Karena itu, kalangan ahli tarekat memaknai ibadah haji dan umrah ini lebih daÂlam dari sekadar penjelasan yang diperoleh saat mengikuti manasik haji. Mereka memaÂhami penekanan haji bukan dari aspek maqbul (diterima atau ditolaknya haji karena terkait dengan keabsahan amalan rukun dan syarat), tetapi lebih menekankan aspek mabrur (terkait dengan berdampak positif secara permanen yang diraih seorang hujjaj pasca pelaksanaan hajinya). Jika dalam perspektif fikih dan syari’ah terlalu membedakan aspek kedisiplinan seÂcara fisik mengamalkan seluruh ketentuan haji, maka dalam perspektif tasawuf termasuk juga mendisiplinkan rohani dan spiritual menghayati dan menikmati ajaran dan amalan haji.
Dalam perspektif tarekat, ibadah haji dirasaÂkan betul bukan sekadar perjalanan fisik biasa, tetapi lebih merupakan perjalanan spiritual (spirÂitual journey) menuju Allah Swt. Jamaah haji InÂdonesia sesungguhnya sebagian sudah berada di dalam lingkup perspektif ini. Lihat saja pada proses pelepasan jamaah haji, penuh dengan kesan perjalanan spiritual; sebuah perjalanan yang sangat berbeda dengan perjalanan peÂsiar ke luar negeri dengan tujuan wisata biasa. Sebagian calon jamaah haji kita sesungguhnya mengikhlaskan dirinya jika dalam perjalanan hajinya dijemput oleh Allah Swt, karena mereka yakin akan gugur sebagai syuhada yang dijemÂput syurga. ***