Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sebagian Pulau Pudut Di Teluk Benoa Terendam

Melihat Lokasi Sekitar Proyek Reklamasi

Senin, 15 Agustus 2016, 08:51 WIB
Sebagian Pulau Pudut Di Teluk Benoa Terendam
Foto/Net
rmol news logo Beberapa perahu nelayan bersandar tak jauh dari Pulau Pudut, Teluk Benoa, Badung, Bali. Perahu-perahu tersebut disandarkan di pinggir tanjung, dekat Jalan Segara Gani, Desa Tanjung Benoa.

Pulau Pudut berada di ka­wasan Teluk Benoa, tepatnya di sisi timur Tanjung Benoa yang berjarak 5 kilometer (km) dari Nusa Dua. Dari Tanjung Benoa, Pulau Pudut tampak seperti hamparan pasir dengan tanaman mangrove di atasnya. Pulau itu sendiri dalam kondisi setengah tenggelam. Sebagian pulau tersebut terlihat berada di bawah air.

Perairan yang biru jernih di Tanjung Benoa memungkinkan untuk melihat bagian dari pulau yang tenggelam itu. Pulau Pudut diketahui telah lama terkikis akibat pengerukan dan abrasi. "Kalau airnya lagi surut, kita bisa jalan kaki ke pulau itu," ujar pria berinisial KS, sopir yang mengantar Rakyat Merdeka ke lokasi ini pada Rabu (10/8).

Dia bercerita, Pulau Pudut dulu adalah kawasan pertanian, selain untuk habitat penyu. Aktivitas bercocok tanam berangsur menurun sejak ada pengerukan untuk Pelabuhan Benoa, yang ja­raknya sekitar dua km dari Pulau Pudut. Selanjutnya, abrasi terus menggerus pulau itu. Luas pulau yang semula 10 hektare itu, kini tinggal sekitar satu hektare.

Kondisi ini mengancam pe­nyu yang berkembang di pulau tersebut. "Warga sini pun resah. Karena selain dari melaut, merekamengandalkan pendapatan dari sektor pariwisata, yaitu para turis yang ingin melihat penyu," ucapnya.

Menurut dia, keadaan itu membuat warga sekitar sempat menyambut baik wacana rekla­masi Pulau Pudut dan kawasan Teluk Benoa oleh perusahaan swasta, PT Tirta Wisata Bali Internasional (TWBI).

PT TWBI meminta izin re­klamasi Pulau Pudut dan pe­manfaatannya pada 2012. "Saya tidak paham kenapa sekarang pada menolak. Padahal kalau jadi direklamasi, kawasan Teluk Benoa ini bisa seperti Singapura," ucapnya.

Sementara itu, Bendesa Adat Tanjung Benoa, Made Wijaya menyatakan, penolakan tidak dilakukan atas dasar hanya menjaga kesucian wilayah ini. Penolakan berkaitan dengan sikap warga desa yang sudah tidak akan men­toleransi adanyapengerusakan atas nama reklamasi. Apalagi, Tanjung Benoa akan menjadi kawasan terdampak.

"Jika ada pendangkalan, ke­napa harus diuruk. Itu bukan solusi. Kenapa pasir Lombok akan diuruk ke sini," ujarnya.

Menurut Made, reklamasi akan berdampak pada ekologi dan warisan leluhur yang harus dijaga. Dia pun khawatir, proyek reklamasi hanya akan memper­kaya para investor. Sedangkan, warga atau masyarakat Bali akan tersingkir. "Kita menolak reklamasi," tandasnya.

Made menyatakan, tidak ada satu orang pun berhak mengam­bil tanah Bali, selain warga Bali sendiri. Tanah Bali difungsikan sebagai kawasan konservasi, tidak boleh diubah menjadi kawasan proyek properti. "Itu sama saja membuat warga Bali tersingkir dan tidak menyejahterakan rakyat," tegasnya.

Made mengingatkan, kawasan Teluk Benoa adalah implemen­tasi dari Tri Hita Karana. Ada banyak kegiatan ritual umat yang dilakukan di sana, seperti nganyut, melukat, dan melasti. Artinya, jika proyek ini berjalan, sama saja menghancurkan kawasan ritual umat Hindu di Bali.

Menjaga kesucian laut, tutur dia, adalah upaya penting untuk meneruskan setiap upacara kea­gamaan Hindu di Bali. "Karena Teluk Benoa memiliki keseim­bangan hidup. Kami berdasarkan paruman agung (rapat besar) menolak dalih apapun, termasuk dalih revitalisasi," tuturnya.

Beberapa bulan lalu, warga dari empat banjar adat Tanjung Benoa ikut turun konvoi menggunakan boat ke tengah lautan. Mereka melakukan aksi atas rencana proyek Reklamasi Teluk Benoa yang luasnya diperkirakan sekitar 700 hektar. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu pemuda dan bapak-bapak dari empat Banjar adat turun mengenakan pakaian adat madya Bali dan pakaian bebas.

Dalam aksinya, warga turun ke tengah laut menggunakan sekitar 500-an boat. Kemudian, pergi ke Tol Bali Mandara untuk melaku­kan penutupan tol. Sekitar 15 menitan penutupan dilakukan. Penutupan dilakukan dengan seruan melakukan penolakan reklamasi Teluk Benoa.

Tak hanya itu, warga juga melakukan aksi bersih-bersih sampah di Pulau Pudut, Minggu (7/2/2016). Aksi tersebut meru­pakan aksi untuk menolak re­klamasi Teluk Tanjung Benoa. Sudah selama tiga tahun ini, Desa Adat Tanjung Benoa berupaya menolak reklamasi Teluk Benoa.

Seorang warga Desa Adat Tanjung Benoa mengakui, warga di sekitar wilayah tersebut umumnya tidak memahami tentang alasan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa. Warga dari empat banjar (desa) di kawasan tersebut hanya mengikuti arahan dari bendadesa (pimpinan adat).

"Arahan itu diberikan saat paruman (rapat) desa bersa­ma warga, sekitar tahun 2014. Arahan tersebut ditetapkan tanpa melalui diskusi terbuka dengan warga," akunya.

Dia menjelaskan, sang pemimpin hanya menghadirkan seorang ahli reklamasi, dari sebuah universitas di Denpasar. Ahli tersebut datang dengan membawa makalah berisi ka­jian tentang reklamasi Teluk Benoa. Di mana hasil kajian itu menyimpulkan, kalau reklamasi Teluk Benoa berdampak negatif dan harus ditolak. Dengan alasan itulah petinggi desa menetapkan arahan tersebut.

"Kami tidak berani memban­tah karena tidak punya hasil ka­jian yang berlawanan. Mungkin kalau ada hasil kajian ilmiah lainnya, sikap kami bisa ber­beda," jelasnya.

Dia menyatakan, warga Desa Tanjung Benoa bisa saja mengambil sikap lain. Asal, ada hasil kajian akademis yang menujukkan jika reklamasi tersebut tidak merusak alam, menguntungkan warga Bali secara ekonomi, serta tetap mengikuti adat dan budaya di Pulau Dewata tersebut. Lalu juga perubahan sikap itu harus disetujui oleh para pemimpin desa.

"Karena adat di sini memang begitu. Bukannya kami alergi terhadap perubahan dan kema­juan. Hanya saja itu merupakan salah satu cara kami untuk me­lestarikan adat dan budaya Bali," tuturnya.

Latar Belakang
332 Hektare Lahan Reklamasi Tanjung Benoa Untuk Perumahan


PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) dan PT Dinamika Atria Raya menyatakan, revitalisasidi Teluk Benoa, se­bagian besar untuk area residen­sial atau perumahan. Fasilitas akomodasi seperti vila dan hotel hanya sebagian kecil.

Hal tersebut terungkap dalam pembahasan analisis dampak lingkungan (amdal) rencana kegiatanrevitalisasi Teluk Benoa dan Penambangan Pasir Laut di Lombok, di Kantor Gubernur Bali, Denpasar.

Ribuan masyarakat Bali yang menolak rencana revitalisasi tersebut, berdemonstrasi di depankantor Gubernur saat pemaparan amdal di hadapan tim penilai amdal pusat.

Dalam dokumen yang dipaparkan TWBI terungkap, dari total lahan revitalisasi yang mencapai 638 hektar (Ha), 52,1 persennya atau seluas 332,9 Ha akan diman­faatkan untuk residensial, sebanyak127,5 Ha untuk tamankota, seluas 48,8 Ha untuk infrastruktur dan 44,4 Ha untuk komersial. Sisanya seluas 26,6 Ha untuk villa dan hotel, seluas 35,2 Ha untuk taman rekreasi, dan hanya 22,6 Ha untuk fasilitas umum.

Nantinya, seluruh fasilitas tersebut akan dibangun di atas pulau-pulau yang dibagi dalam zona tertentu. Diperkirakan sebanyak 210.806 orang tenaga kerja, dan minimal 75 persen berasal dari lokal akan terserap apabila proyek ini terealisasi.

"Kami mempunyai ide bagaimana caranya agar Teluk Benoa diperhatikan secara khusus, agar daya saingnya meningkat di tingkat nasional maupun dunia. Paling penting, akan kami jadikan ini pulau budaya, komitmen tegakkan filsafat Tri Hita Karana, akan kami jadikan utama mandala," ujar Komisaris PT TWBI Marvin Lieano di hadapan tim penilai dari pusat.

Hadir dalam diskusi amdaltersebut, tim dari TWBI dan Dinamika Atria Raya, tim penilai amdal pusat, anggota DPRD Bali, serta perwakilan masyarakat yang menolak maupun menerima rencana proyek ini.

Konsultan TWBI Iwan Setiawan menyatakan, pihaknya akan membangun sebanyak 12 pulau buatan di Teluk Benoa secara bertahap. Penambangan dan reklamasi dijadwalkan mulai pertengahan semester II/2016 hingga akhir 2018. Setelah itu, barulah akan dilakukan pembangunan kawasan wisata sesuai dengan zonasi yang telah ditetapkan hingga 2033.

"Material pasir untuk pen­gurukan lokasi pulau buatan akan ditambang dari Selat Alas, Lombok sebanyak 30 juta me­ter kubik, dan 10 juta meter kubik dari hasil reklamasi di Teluk Benoa. Saya jamin selama pelaksanaan reklamasi, akan dikontrol oleh lembaga sistem pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang independen untuk mengawasi," kata dia.

Dia juga memberikan garansi aksesibilitas menuju lokasi tidak hanya melalui tol, melainkan jalan darat serta tidak akan mereklamasi hutan bakau di sekitar teluk yang disucikan tersebut. Bahkan, untuk sungai yang bermuara ke teluk tersebut dijamin tetap seperti biasa tanpa gangguan akibat pem­bangunan. Sementara itu terkait penyediaanair bersih apabila kawasan itu sudah terbangun, pihaknya menyatakan tidak akan memanfaatkan air bawah tanah dan pasokan dari daratan.

"Kami akan melakukan pemanenan air hujan di zoning tertentu untuk mengganti air yang digu­nakan, kemudian akan mendaur ulang air limbah dan mengolah air laut dengan teknologi RO," jelasnya.

Konsultan TWBI Abdul Muhari yang juga pakar tsunami menambahkan, pembangunan pulau buatan di Teluk Benoa akan mampu mengurangi dampak laju air laut apabila terjadi tsunami. Menurutnya, keberadaan salah satu pulau buatan mampu me­nahan laju air.

"Hal tersebut berbeda dibandingkan apabila tidak ada pulau buatan, tsunami akan merendam kawasan tersebut," ucapnya.

Menanggapi penjelasan terse­but, anggota Komisi I dan Komisi III DPRD Bali setuju dengan re­klamasi dan mendukung rencana TWBI. Namun, dengan catatan mereka meminta kepastian mengenai status lahan reklamasi akan menjadi milik siapa, dan agar persentase tenaga kerja lokal yang dikerjakan tidak 75 persen, tetapi minimal 80 persen. Investor diminta berkomitmen tidak hanya merekrut tenaga kerja lokal dengan skill tinggi, tetapi harus mau memperkerja­kan level bawah.

"Jangan hanya merekrut yang pendidikannya tinggi, kalau perlu harus ikut berkontribusi mendidik pekerja. Kami menagih komitmennya, karena kalau rekrut yang skill tinggi nanti tenaga kerja lokalnya sedikit, sama saja," terang Ketua Komisi III DPRD Bali, Nengah Tamba.

Persoalan rencana Reklamasi Teluk Benoa (RTB) itu mencuat ke publik, usai Made Mangku Pastika memenangi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Bali tahun 2013. Selama proses Pilgub Bali tahun 2013, tidak ada yang menyentuh SK 2138/02-C/HK/2012. Isu reklamasi ini panas menjelang pelantikan Pastika pada Agustus 2013.

Ketika itu, sejumlah politisi, akademis maupun aktivis memulai memasalahkan SK ini dan meminta agar SK tersebut di­cabut. Pada tanggal 16 Agustus 2013, Gubernur Pastika akhirnya mencabut SK 2138/02-C/HK/2012 setelah menerima rekomendasi dari DPRD Bali nomor 900/2569/DPRD tertang­gal 12 Agustus 2013.

Gubernur Pastika kemudianmenerbitkan SK Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. Izin ini diberikan pada Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Penerbitan SK Nomor 1727/01-B/HK/2013 tersebut tetap dipersoalkan karena dinilai memberi hak kepada PT TWBI untuk melakukan kegiatan rekla­masi berupa studi kelayakan di Teluk Benoa.

Aksi protes kembali berlan­jut dengan meminta Gubernur mencabut SK Gubenur Nomor 1727/01-B/HK/2013, karena dinilai bertentangan dengan Perpres No 45 Tahun 2011 tentang Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita, di mana kawasan Teluk Benoa termasuk kawasan konservasi, dan Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang melarang reklamasi dilakukan di kawasan konservasi. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA