WAWANCARA

Abdullah Hehamahua: Masa Untuk Tahu Ada Niat Jahat Badannya Harus Di-rontgen

Kamis, 21 April 2016, 08:53 WIB
Abdullah Hehamahua: Masa Untuk Tahu Ada Niat Jahat Badannya Harus Di-rontgen
Abdullah Hehamahua:net
rmol news logo Usai memeriksa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, selama hampir 12 jam dalam kasus dugaan ko­rupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, Ahok melenggang pulang. Pimpinan KPK mengungkapkan, penyidik masih mencari dua alat bukti kuat. Selain itu, pimpinan lembaga anti-rasuah itu juga memperkenalkan syarat baru dalam penetapan tersangka ko­rupsi, yakni harus ada unsur niat jahat.

Pertanyaannya, bagaimana caranya mengetahui niat jahat seseorang? Apakah diatur di dalam undang-undang. Berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan bekas Penasehat KPK Abdullah Hehamahua;

Sudut pandang Anda meli­hat kerja KPK dalam menan­gani kasus Sumber Waras?
Kembali kepada teman-te­man penyelidik dan penyidik KPK, mereka serius kerja atau tidak. Kalau serius, mereka ikuti SOP (Standard Operational Procedure) yang ada. Artinya kalau sudah ada temuan, segera digelar perkara di direktorat, kemudian di deputi baru pada pimpinan.

Kalau temuannya sudah ada?
Kalau sudah ada, kemudian sengaja disembunyikan, atau mereka tutup-tutupi, itu kan melanggar kode etik, sehingga kemudian pengawas internal bi­sa memproses yang melakukan penyimpangan itu. Majelis Kode Etik bisa mengadilinya. Kalau kesalahannya di pegawai.

Bagaimana jika penyim­pangannya terjadi di level pimpinan?
Kalau penyelidik dan peny­idik sudah menemukan dua alat bukti, kemudian saat gelar perkara terakhir di pimpinan, pimpinan menolak atau punya alasan untuk tidak menetapkan tersangka, pimpinan bisa diper­iksa oleh komite etik yang terdiri dari pimpinan yang tidak ber­masalah, penasehat, dan orang luar KPK. Saya menyarankan kepada pengawas internal, coba mereka melacak, di mana kes­alahan itu terjadi. Apakah ke­salahan itu betul-betul karena alat bukti tidak cukup, atau alat bukti cukup tapi dimanipulasi, atau ditutup-tutupi. Kalau oleh pegawai, pengawas internal bisa langsung memeriksa. Kalau pimpinan, maka pengawas inter­nal boleh menuntut atau mereko­mendasikan membentuk komite etik untuk memeriksa.

Untuk mengetahui unsur niat jahat bagaimana sih?
Kalau disebut tidak ada niat jahat, maka bagaimana menge­tahui niat jahat itu. Salah satunya adalah dicek, apakah ada pelang­garan perundang-undangan, kalau ada berarti sudah niat jahat. Atau apakah pejabat itu atau gubernur Ahok atau siapa saja menerima feedback, baik berupa hadiah, parcel, bantuan keuangan atau sejenisnya adalah indikator niat jahat.

Memangnya unsur niat ja­hat itu diatur dalam undang-undang atau ketentuan khusus di KPK?
Ya kalau di undang-undang tidak disebutkan niat jahat itu. Pimpinan sekarang yang mem­perkenalkan unsur niat jahat itu. Kalau di undang-undang, pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa jika ada tindakan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara untuk keuntungan diri sendiri, orang lain atau korpo­rasi itu sudah korupsi. Pasal 3 disebutkan jika terjadi peny­alahgunaan wewenang yang me­nyebabkan kerugian keuangan negara maka itu korupsi. Tidak ada disebutkan niat jahat.

Jadi kalau ada pimpinan yang mensyaratkan harus ada unsur niat jahat, bagaimana?
Cuma di dalam teori hukum itu disebutkan apa motif seseorang melakukan perbuatan itu. Maka pimpinan sekarang mem­persoalkan (niat jahat).

Bagaimana caranya menge­tahui niat jahat itu?
Ya apa mungkin pimpinan KPK itu harus me-rontgen Ahok, kan tidak kan. Kalau alasannya begitu bawa lah Ahok ke rumah sakit di x-ray atau di-rontgen, baru kemudian pimpinan KPK bisa melihat hatinya jahat atau tidak.

Janggal tidak?
Kan dari dulu saya sudah bil­ang, kalau dari hulu sudah kotor maka di hilir juga kotor. Kan dari dulu waktu masih Pansel kan. Kalau Pansel nya bermasalah, hasilnya juga bermasalah. Jadi saya tidak kaget kalau seperti hari ini sekarang.

Apa masih ada harapan?
Kita kasih kesempatan kepada pimpinan KPK, oleh karena ada audit BPK yang terakhir itu, audit investigasi. Kemudian kita lihat apakah bisa digunakan atau tidak. Sekarang ini kan diduga ada kekhawatiran bahwa ada kondisi di KPK karena faktor ka­sus periode yang lalu, sehingga ada nuansa-nuansa intervensi dan seterusnya.

Pegawai KPK harus ber­sikap?

Dalam kode etik KPK, pe­gawai dilarang menerima per­intah atasan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Itu ekspilisit kode etik. Ini saya ingatkan kepada yang baru-baru si KPK, karena kode etik ini baru direvisi dua atau tiga tahun yang lalu, mung­kin ada yang belum menguasai atau memahami. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA