WAWANCARA

Jenderal Badrodin Haiti: Polisi Labil Biasanya Karena WIL, Kalau WIL-nya Hamil Pasti Ganggu Psikologis

Selasa, 15 Maret 2016, 09:00 WIB
Jenderal Badrodin Haiti: Polisi Labil Biasanya Karena WIL, Kalau WIL-nya Hamil Pasti Ganggu Psikologis
Jenderal Badrodin Haiti:net
rmol news logo Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti mengakui ada saja anggota Kepolisian yang labil. Labilnya anggota polisi tertentu karena beban pikiran dan faktor-faktor psikologis yang meng­gelayuti mereka.

"Sejauh ini, anggota yang labil sebagian besar disebabkan oleh adanya persoalan inter­nal dirinya, yaitu persoalan WIL (Wanita Idaman Lain). Itu yang masih paling mendominasi. Kalau persoalan perekonomian kayaknya tidak terlalu. Sebab, persoalan ekonomi masih bisa diselesaikan dengan berbagai cara atau jalan keluar dengan berbagai usaha. Kalau persoalan WIL, wah tak semua siap meng­hadapinya," ungkap Jenderal Badrodin Haiti kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.

Badorin menegaskan, setiap anggota yang memiliki persoalan dengan WIL, jika sampai ke insti­tusi, pasti akan dijatuhi hukuman yang tidak ringan; mulai sanksi kepangkatan hingga sanksi berat lainnya.

"Nah, kalau ada anggota yang memiliki masalah dalam rumah tangganya terkait WIL, inilah yang menimbulkan efek banyak atau multiplier effect kepada si anggota. Bisa karena tak siap ber­cerai, urusan anak-anaknya, kelu­arga besarnya. Tekanan psikologis pun kian menumpuk dan seterus­nya, dan ini membuat dia labil," ujar Badrodin. Berikut petikan wawancara selengkapnya:

Apakah ada prosedur pen­anganan anggota polisi labil di Kepolisian?
Kalau dimulai dari proses rekrutmen semua sesuai stan­dar. Artinya, pada saat rekrut­men jika terlihat ada persoalan psikologis yang labil, ya pasti­nya sudah tidak diterima. Dan pada saat rekturmen kan ada tes psikologi. Kita kan memiliki Biro Psikologi.

Nah, kalau dikarenakan penu­gasan khusus, seperti ke daerah-daerah khusus, misalnya ke Poso, ke Papua, di Kepolisian ada prosesdur rolling. Penugasan ke daerah-daerah seperti itu di­lakukan pergantian setiap enam bulan sekali. Dibuat rotasi. Itu perlu untuk menghindari ke­jenuhan dan sejumlah tekanan di dalam melaksanakan tugas. Kalau itu ya rutin dilakukan.

Jadi, selain faktor WIL, fak­tor apa lagi yang memungkinkan anggota polisi menjadi labil?

Memang banyak faktor, ya bermacam-macam sih. Misalnya, untuk anggota yang di Melawi, Kalimantan itu, yang membunuh anaknya, itu berkaitan dengan kepercayaan pribadi si anggota. Dia seperti kerasukan oleh suara-suara, berhalusinasi, seolah-olah itu bisikan yang harus dilaksana­kannya, sebagai persembahan kepada kekuatan tertentu maka dia membunuh anaknya. Faktor seperti itu sangat jarang terjadi. Tetapi memang ada yang seperti itu kan.

Apakah ada pola penan­ganan lainnya yang harus di­lakukan untuk menghindari adanya anggota yang labil?
Sebenarnya, anggota yang sudah mulai mengalami peruba­han sikap atau perilaku, mestinya dapat direspons dengan cepat oleh pimpinannya. Biasanya sih pimpi­nan di kesatuannya, misalnya, cepat mengetahui kondisi anak buahnya. Maka, pimpinannya perlu mengajak bicara si anggota yang dimaksud. Diajak ngobrol, diskusi dan mengetahui apa saja persoalan yang membuatnya begitu.

Meskipun tidak semua pimpi­nannya bergelar psikolog, tetapi dengan berbicara dan mengobrol biasanya akan ada rasa plong dari si anggota karena persoalannya bisa disampaikan. Dan kemudian, bisa dicarikan solusinya yang baik atau disarankan melakukan solusi atas persoalannya.

Bukankah di Kepolisian ada Biro Psikologi?
Di Kepolisian ada Biro Psikologi, yang bekerja sama den­gan para sarjana psikologi.Dan biasanya untuk anggota yang labil ya dikonsultasikan di sana. Juga untuk persoalan-persoalan spontanitas dan laten kejiwaan, juga dibicarakan dan dicarikan solusinya.

Selain itu?
Di Kepolisian juga rutin di­lakukan tes Kesamaptaan jas­mani dan rohani. Pemeriksaan-pemeriksaan dilakukan secara berkala, enam bulan dan hingga sekali setahun. Nah, biasan­ya, dari tes-tes itu akan keli­hatan anggota yang memiliki sympthom-sympthom (gejala-ge­jala) apakah memiliki persoalan dengan kejiwaan atau tidak.

Harus kita pahami juga, meskipun sudah menjadi anggota polisi, dalam banyak persoalan di keluarga atau tekanan psikis, tidak semuanya memiliki daya tahan dan kekuatan yang bagus. Ada saja yang kekuatannya lemah, nah di situlah dia kena.

Apakah perlu dilakukan perubahan sistem rekrutmen dan atau sistem pelatihan?
Saya kira, kita sudah memiliki standar yang bagus. Memiliki pola rekrutmen yang baik. Dan sejumlah tes, juga cara penan­ganan anggota yang terkena sympthom-sympthon begitu. Yang mungkin perlu ditingkatkan adalah kecekatan pimpinannya di kesatuan. Pimpinannya harus mengajak bicara, diskusi atau membicarakan persoalan yang dihadapi anggotanya. Ini kan per­soalan psikologis seseorang, jadi ya perlu pendekatan seperti itu.

Apakah Kepolisian menin­dak anggotanya yang labil?
Ya tentulah. Dan sanksinya tidak ringan. Hanya saja, untuk persoalan psikologis ya perlu pendekatan yang lebih baik. Yang tetap paling banyak saya dapat laporan sih adalah perso­alan WIL.

Misalnya, kalau WIL-nya hamil dan menuntut macam-macam, ya itu pasti akan meng­ganggu psikologis dia. Belum lagi tuntutan dari istri, kelu­arga, masyarakat, anak-anaknya, teman-temannya dan seterusnya. Yang pasti, kalau ada persoalan WIL, kita ambil sikap dan jatuhi sanksi. Mungkin di situlah si anggota tidak siap. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA