"Pembahasan di internal pemerintahan sudah memasuki tahap finalisasi. Jadi kami berÂharap semua pihak termasuk DPR bisa bekerjasama dengan baik sehingga bisa proses pemÂbahasannya cepat selesai," ujar Yasonna Laoly kepada
Rakyat Merdeka. Meskipun terkesan terburu-buru, bekas anggota DPR ini memastikan bila revisi undang-undang ini tidak seperti yang dikhawatirkan banyak orang, yakni akan melanggar hak asasi manusia. Seperti apa penjelasanÂnya, berikut wawancaranya :
Sudah sejauh mana pemerintah menggodok draf revisi Undang-Undang Terorisme?Bisa dikatakan sudah finalisasi. Rencananya, Senin besok, kami akan serahkan pada Presiden sebeÂlum nanti kita bawa ke DPR.
Sebenarnya apa yang menÂjadi fokus pemerintah sehÂingga ngebet merevisi undang-undang ini?Ada banyak. Misalnya, jangka waktu penahanan ditambah dari enam bulan ke 10 (bulan), penangkapan tujuh hari ke 30 hari.
Penyadapan yang sebelumÂnya berdasarkan perintah ketua PN, menjadi cukup hakim penÂgadilan, penetapan hakim saja. Penuntutan tidak saja kepada orang tapi bisa juga korporasi. Dan perluasan tindak pidana terorisme, kegiatan memperÂsiapkan, pemufakatan jahat, percobaan, tergantung tindak pidana terorisme. Jadi diperluas termasuk percobaannya.
Kabarnya dalam revisi ini juga akan dimasukkan soal sanksi bagi WNI yang terbukti terlibat dalam gerakan teroris di luar negeri?Benar. Kami usulkan unÂtuk pencabutan paspor dan kewarganegaraan bagi warga negara yang ikut pelatihan miÂliter atau perang di luar negeri. Termasuk di dalamnya organisasi-organisasi yang melakukan perbuatan teror. Pengawasan terÂhadap terduga terorisme palinglama enam bulan.
Apakah masih ada perdebaÂtan yang krusial dalam penyusunan RUU Terorisme ini?So far dari kita tidak. Jadi kita harapkan teman-teman DPR akan kita ajak untuk berdisÂkusi soal ini. Karena ini demi kepentingan negara, tidak ada maksud kita mengekang hak asasi manusia, ini masih jauh lebih moderat dibanding negara-negara tetangga kita. Ini tidak sama dengan
security-X nya Malaysia, kita masih moderat lah, bahkan dengan negara-negara demokrasi sendiri.
Katanya, mantan narapiÂdana terorisme akan diawasi?Benar. Mantan narapidana teroris ini akan tetap mendaÂpatkan binaan, bukan bebas begitu saja. Perlu rehabilitasi bersifat deradikalisasi. Akan ada pengawasan paling lama satu tahun sejak bebas. Tetapi itu kan
follow-up resmi. Kasus yang kemarin kan mantan narapidana (terorisme). Jadi perlu rehabiliÂtasi dan program khusus, yang bersifat holistik dan komprehenÂsif bagi progam deradikalisasi terpidana teroris. Itu beberapa, yang sampai hari ini masih kita selesaikan.
Penanganan secara komÂprehensif akan dilakukan oleh BNPT?Tidak hanya BNPT, makanya komprehensif. Termasuk keÂmenterian agama, pendidikan, psikolog, diperlukan penanganan yang komprehensif, karena kalau di Lapas kita tidak punya SDM yang cukup. Pernah petugas kami menjadi korban, dimakÂsudkan melakukan deradikalisasi, dia yang diradikalisasi.
Bagaimana soal wacana Lapas khusus bagi teroris?Memang masih ada perdeÂbatan, diskusi kita perlu Lapas khusus atau tidak. Sedang kita kaji. Tetapi memang tempat blok-blok yang dikhususkan keÂpada pelaku tindak pidana teroÂris, memang khusus. Tapi belum pada tingkat Lapas khusus, sedang dikaji.
Maksudnya?Kalau yang (teroris) super maksimum kan masih di Pasir Putih, Nusa Kambangan. Akan kita buat di beberapa daerah yang blok-blok khusus. Jadi salah satu Lapas, contoh Gunung Sindur itu untuk narkoba. Gunung Sindur itu Lapas umum tidak hanya narkoba, tapi satu blok khusus kita buat Napi narkoba. Penanganannya khusus, securiÂty-nya khusus. Pemantauannya khusus dan lain-lain.
Pengkhususan ini sudah berÂjalan apa belum sih?Sekarang ada dua yang kita rotasi. Sembari kita persiapkan tempat-tempat lainnya, karena ini kan memerlukan anggaran dan persiapan. ***
BERITA TERKAIT: