WAWANCARA

Daeng M Faqih: Jual-Beli Organ Tubuh Masalah Kriminal, Dokter Yang Terlibat Ditangani Polisi

Senin, 01 Februari 2016, 08:00 WIB
Daeng M Faqih: Jual-Beli Organ Tubuh Masalah Kriminal, Dokter Yang Terlibat Ditangani Polisi
Daeng M Faqih:net
rmol news logo Sindikat perdagangan organ tubuh manusia ternyata belum lenyap dari dunia kedokteran Tanah Air. Belum lama ini, pihak Kepolisian membongkar praktik jual beli organ tubuh di daerah Bandung, Jawa Barat. Dari kasus tersebut diduga kuat meli­batkan pihak rumah sakit selaku tempat terjadinya operasi transplantasi or­gan tubuh.

Kasus perdagangan organ manusia ini melanggar UU 21/ 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Bahkan, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, pen­jualan organ tubuh sama halnya dengan penjualan orang.

Apakah pengawasan yang dilakukan rumah sakit sangat lemah sehingga praktik tersebut masih kerap terjadi? Bagaimana pula mekanisme seseorang yang ingin melakukan donor organ tubuh? Berikut wawancara lengkap Rakyat Merdeka den­gan Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M Faqih:

Apa yang melatar belakangi praktik perdagangan organ ini kerap terjadi di sejumlah wilayah di Tanah Air?
Sebenarnya jual-beli organ itu masuk dalam kategori kriminal murni. Tapi kalau ditanya la­tar belakangnya, mungkin ada pengaruhnya dengan masalah ekonomi. Masyarakat yang be­rada dalam kemiskinan mudah digoda oleh sindikat yang ingin mencari untung dari praktik per­dagangan organ tubuh ini.

Dalam kasus ini, kuat dug­aan ada kongkalikong antara rumah sakit dengan sindikat. Apa benar?
Ya, disinyalir memang begitu. Karena sebenarnya ini kan sudah lama terjadi ya. Lalu setelah itu dibuatlah PP 18 tahun 1981. Sebenarnya itu adalah harapan untuk dapat mengurangi prak­tik-praktik seperti itu. Tetapi, dengan kejadian seperti ini, kita sadar bahwa seharusnya jangan membuat peraturan-peraturan yang sifatnya umum atau global seperti itu. Harus ada peraturan yang lebih rinci.

Berarti peraturan yang ada perlu diubah?

Yang membuat peraturan, harus membuat aturan yang lebih detil lagi. Dalam hal ini pemerintah yang membuat regu­lasi. Dengan terjadinya hal seperti ini, memang harus ada yang dibenahi.

Apa saran Anda?
Seperti siapa yang menga­wasi. Ini yang perlu diatur lebih lanjut, karena aturan dalam PP 18 tahun 1981 dan Permenkes 37 tahun 2014, itu kan tidak di­jelaskan siapa yang mengawasi secara lebih spesifik.

Tidak dijelaskan secara rinci begitu.

Bukankah sudah ada Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS)?

Saya kira BPRS kan baru efek­tif, baru sekitar 3-4 tahun kan.

Anda menilai peran penga­wasan yang dilakukan BPRS kurang efektif?
Artinya, BPRS ini kan masih membenahi struktur dan me­kanisme kerja. Ke depan, ka­lau hal-hal seperti ini akan di-insert ke dalam BPRS, itu merupakan langkah yang sangat konstruktif.

Soalnya, sebelumnya dalam aturan, tidak dijelaskan siapa yang mengawasi hal-hal sep­erti ini, kan begitu. Jadi kalau dimasukkan ke dalam salah satu tugas BPRS, sangat kon­struktif.

Sebenarnya, apa saja syarat mendonorkan organ tubuh?
Ya, yang pertama donor itu harus setuju dan sukarela.

Apakah ada ukuran untuk mengetahui pendonor sukar­ela atau tidak?
Jadi bisa kita lihat, kalau di ilmu kedokteran itu ada isti­lah informed consent, atau tanda persetujuan tindakan medis. Jadi ada bukti informed consent itu. Di situ dijelaskan dulu ke pasiennya itu, kalau misalnya dilakukan ini, risikonya akan seperti ini. Itu dijelaskan semua. Nah kalau sudah oke semuanya, barulah dilakukan tindakan.

Tetapi, meski sudah oke, pakai skala pemeriksaan. Contoh, apakah kalau diambil salah satu ginjalnya berpotensi nggak ba­gus sama pasiennya. Kemudian, diperiksa lagi apakah ginjal yang mau diambil itu cocok dengan yang menerima. Makanya ke­mudian, pendonor itu yang di­cari memang yang paling dekat hubungannya dengan pasien.

Salah satu korban mengaku diajari berbohong oleh pelaku perdagangan organ kepada pihak rumah sakit?

Jadi memang begini, itu kan biasanya nggak sembarang ru­mah sakit yang melakukan op­erasi transplantasi. Itu ditunjuk oleh menteri. Dan di rumah sakit itu biasanya ada tim termasuk tim konselor psikologis. Jadi memang harus ada pendekatan psikologis. Kalau sampai si pasien pendonor itu tidak dengan sukarela, ya itulah kecolongan. Artinya konseling psikologis­nya itu bisa jadi tidak berjalan. Dengan kasus ini, tentunya kedepan perlu dipertajam lagi konseling psikologisnya, seh­ingga memang hadirnya tim itu memang penting untuk pendo­nor. Dan yang pasti, persoalan manusia dan organ di dalamnya, kita tidak bisa hanya bicara per­soalan ekonomi.

Bila terbukti ada dokter yang terlibat apa sanksi yang akan diberikan IDI?
Ini bukan lagi ranah disiplin atau pelanggaran etika dokter. Praktik jual beli organ tubuh manusia merupakan tindak kriminal. Karena kriminal um­um, makanya aparat penegak hukum yang nanti akan menin­daknya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA