WAWANCARA

Topane Gayus Lumbuun: Fakta Pengadilannya, 25 Ribu Hektare Hutan Terbakar Itu Tidak Cukup Bukti

Senin, 18 Januari 2016, 08:57 WIB
Topane Gayus Lumbuun: Fakta Pengadilannya, 25 Ribu Hektare Hutan Terbakar Itu Tidak Cukup Bukti
Topane Gayus Lumbuun:net
rmol news logo Vonis Hakim Parlas Nababan memicu protes dari ber­bagai kalangan. Hakim Pengadilan Negeri Palembang ini menolak seluruh gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH), perusahaan yang diduga melakukan pemba­karan hutan pada 2014 lalu. Terkait hal ini Hakim Agung Gayus Lumbuun punya pandangan sendiri. Berbincang-bincang ringan dengan Rakyat Merdeka di kantornya, Hakim Gayus memaparkan pendapatnya terkait pu­tusan hakim Parlas dan pandangannya terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) contempt of court alias penghinaan terhadap peradilan yang diajukan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) organisasi profesi yang menjadi tempatnya bernaung.

Terkait vonis terhadap PT BMH, banyak kalangan menilai logika Hakim Parlas Nababan tidak pas dalam memutuskan perkara itu. Tanggapan Anda?
Kalau saya ditanya mengenai logika hakim dalam memutus sebuah perkara, maka sesungguh­nya logika hakim itu tidak berdiri sendiri. Ada dua pasangannya yang mendampingi logika hakim dalam memutus perkara. Apa itu? Pertama, keyakinan hakim dan berikutnya adalah undang-undang atau regulasi. Jadi putusan hakim itu didasarkan pada tiga elemen yaitu; logika hakim, keyakinan hakim dan undang-undang atau regulasi. Logika itu menggam­barkan bahwa hakim berpikir secara logis mengenai perbuatan yang dilakukan pihak-pihak yang berperkara secara independen tidak boleh terpengaruh oleh apapun logikanya. Kemudian kalau keyakinan hakim itu ya memang didasarkan pada nurani hakim itu dalam melihat perkara. Nurani hakim akan berbicara dalam melihat sebuah perkara. Nah kalau undang undang itu hakim menyesuaikan pengaturan yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Kalau ketiga elemen itu dikaitkan dengan putusan hakim Parlas bagaimana hasilnya?
Kalau dikaitkan dengan vonis PN Palembang mengenai ke­bakaran hutan itu kan perkara perdata ya. Dalam pemerosesan perkara perdata itu hakim sifat­nya pasif, tak boleh aktif. Yang dimaksud tidak boleh aktif di sini adalah hakim dalam memvonis perkara perdata itu tidak boleh melebihi apa yang ada di hadapannya yaitu bukti-bukti, saksi-saksi dan kemu­dian fakta-fakta persidangan. Hingga kini belum pernah ada pengembangan konsep perdata. Hingga kini konsep perdata yang masih berlaku adalah tidak bolehnya putusan hakim yang ultra petita. (putusan ultra petita adalah putusan yang mengabul­kan hal-hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut). Dengan keadaan seperti itu maka hakim memutuskan dengan adil. Kemudian kalau kita bicara adil kita bicara soal kepastian hukum dan kemanfaatan putusan itu dari sisi sosiologi hukum.

Jadi menurut Anda putusan Hakim Parlas itu sudah me­menuhi rasa keadilan?
Sebagai sesama hakim saya tidak boleh mencampuri pu­tusan hakim lainnya, apakah memenuhi unsur, apakah bener atau salah (putusannya), saya tidak membahas perkara itu. Pendapat saya kalau kita berbi­cara soal logika hakim pastinya logikanya itu tidak terintervensi misalnya oleh tekan atau desa­kan masyarakat atau pendapat publik.

Apa sebenarnya yang Anda lihat di balik putusan Hakim Parlas ini?
Jadi mungkin ada beberapa hal yang terungkap misalnya, bahwa ini adalah perkara perdata maka fakta-fakta yang diajukan pihak penggugat haruslah lengkap. Sebab putusan perkara perdata itu tidak bisa ultra petita. Sebab saya membaca di media bahwa ukuran 25 ribu hektare (lahan hutan yang terbakar) itu tidak di­dampingi bukti yang cukup. Nah itu kan fakta pengadilannya.

Kalau klaim tersebut tidak disertai bukti yang cukup, ba­gaimana hakim mengukur fakta kerugian yang terjadi, kalau nggak jelas. Saya tidak mau mengatakan bahwa ini kesala­han penggugat, saya tidak mau mengatakan itu. Jadi saya mau mengatakan bahwa ada baiknya (penggugat) selain menggugat secara perdata, juga menggugat ke peradilan pidana dan peradi­lan TUN (Tata Usaha Negara) supaya persoalannya lengkap terselesaikan. Di peradilan TUN nanti kan bisa terungkap apakah ada kekurangan syarat periz­inan.

Di peradilan pidana kan ju­ga bisa terungkap siapa yang melakukan pembakaran, siapa yang bertangggung jawab. Di wilayah pidana hakimnya itu bisa bebas cakupannya bisa sam­pai akar-akar kebenaran formil dan materil.

Namun ada yang berpenda­pat anehnya putusan Hakim Parlas itu lantaran pengadilan kita kurang lengkap sehingga diperlukan pengadilan ling­kungan. Bagaimana tangga­pan Anda?

Itu bagus. Memang kita semua ingin punya pengadilan khusus tentang kehutanan, sehingga perkara seperti itu sekarang gugatannya hanya masuk ke pidana, perdata atau TUN. Ke depan kita harus punya penga­dilan sendiri-sendiri, kehutanan perikanan, korupsi, pajak itu ng­gak menutup kemungkinan.

Beralih ke hal lain. Terkait pengajuan draf RUU contempt of court alias penghinaan terh­adap peradilan apa pendapat Anda?
Saya tidak sepakat dengan draf contempt of court itu, kar­ena membelenggu pers untuk memberi kontribusinya tentang informasi peradilan kepada publik. Contempt of court itu kan sebenarnya bukan kejaha­tan, karena bisa saja orang yang dituduh melakukan itu dia tidak sadar. Contempt of court atau penghinaan pada pengadilan itu artinya penghinaan bukan pada personal, tapi penghinaan pada lembaga peradilan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA