Indonesia yang memiliki ribuan pulau denÂgan berbagai etnik tidak dapat disangkal juga memilki kearifan lokal yang amat kaya. KeariÂfan itu sendiri berasal dari bahasa Arab dari akar kata 'arafa-ya'rifu berarti memahami atau menghayati, kemudian membentuk kata "keariÂfan" yang bisa diartikan dengan sikap, pemaÂhaman, dan kesadaran yang tinggi terhadap sesuatu. Kearifan adalah kebenaran yang berÂsifat universal sehingga jika ditambahkan denÂgan kata lokal maka bisa mereduksi pengertian kearifan itu sendiri. Setiap kali kita berbicara tentang kearifan maka setiap itu pula kita berÂbicara tentang kebenaran dan nilai-nilai univerÂsal. Menentang kearifan lokal berarti menolak kebenaran universal. Kebenaran universal itu sesungguhnya akumulasi dari nilai-nilai keÂbenaran lokal. Tidak ada kebenaran universal tanpa kearifan lokal. Jadi tidak tepat memperhÂadap-hadapkan antara kearifan lokal dan kebeÂnaran universal.
Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an diseÂbutkan bahwa: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung". (Q.S. Ali 'Imran/3:104): Untuk urusan kebaikan Allah menggunakan kata menyerukan (yad’una) dan untuk kata makruf digunakan istlah menyuruh (ya'muruna). Kata makruf (ma'ruf) dapat disinonimkan dengan kearifan yang disepakati kebenarannya oleh umumnya komunitas. Sedangkan kebaikan (al-khair) adalah kebenaran yang belum serta-merÂta diterima oleh sebagiaan orang non Islam,
Kearifan lokal sudah menjadi istilah bagi nilai-nilai istimewa dan unggul di dalam suatu masyakat. Mungkin anggapan itu benar namun masih mengesankan sebuah kearifan lokal tidak serta-merta diterima sebagai kebenaran universal melainkan harus menunggu waktu yang cukup lama untuk diakui sebagai kearifan bangsa, yang melintasi sejumlah nilai-nilai etÂnik. Contoh kearifan lokal ialah gotongroyong menyelesaikan sarana umum, tolransidi daÂlam merayakan seremoni keagamaan, urung rembut (musyawarah) di dalam menentukan pemimpin, dan menyerahkan kepada lembaga adat untuk menyelesaikan konflik.
Dalam era globalisasi saat ini kearifan lokal semakin diperlukan. Bukan saja untuk objek promosi wisata tetapi untuk menyelesaikan perÂsoalan-persoalan tertentu yang tidak bisa disÂelesaikan dengan baik oleh hukum formal kita. Kearifan lokal juga bisa menyelesaikan konfÂlik yang bertema keagamaan. Biasanya para pihak yang bertikai mempunyai agama, aliran, dan mazhab yang berbeda tetapi memiliki buÂdaya leluhur yang sama. Budaya luhur inilah berpotensi menjembatani para pihak yang berÂtikai. ***