MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (2)

Apa Itu Kebhinnekaan?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Minggu, 30 Agustus 2015, 08:42 WIB
Apa Itu Kebhinnekaan?
nasaruddin umar/net
ISTILAH "bhinneka" perta­ma kali dipopulerkan oleh Empu Tantular dalam kitab 'Hutasoma'-nya. Ia melukis­kan keindahan masyarakat nusantara dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika (ber­cerai berai tetapi tetap satu). Mungkin Empu Tantular tidak pernah tahu kalau isti­lah yang diciptakannya kemudian mengisi pita yang dicengkeram oleh burug Garuda sebagai lambang kebanggaan dan pemersatu bangsa.

Dalam Islam, keberagaman itu sendiri adalah sunnatullah. Menolak keragaman berarti menolak sunnatullah. Dalam Al-Qur'an ditegaskan: Wa lau sya'a Rabbuka laja'alnakum ummatan wahidah (Jika Tuhan-Mu menghendaki niscaya ia men­jadikan kalian suatu umat/(Q.S. al-Maidah/5:48). Dalam ayat tersebut Allah Swt menggunakan kata lau, bukannya kata in atau idza. Dalam kae­dah Tafsir dijelaskan, apabila Allah mengguna­kan kata lau (jika) maka sesungguhnya hampir mustahil kenyataan itu akan terjadi. Kalau huruf in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pas­ti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi. Masalahnya sekarang kamus bahasa Indonese­ia kita tidak memiliki kosa kata sepadan dengan bahasa Arab, sehingga keseluruhannya diartika dengan jika atau apabila.

Ketegangan konseptual bahkan konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak jarang terjadi karena dipicu sentimen perbedaan penafsiran kitab suci. Ada segolongan sering memperatasnamakan suatu penafsiran lalu menyerang kelompok lain, karena mengklaim dirinya paling benar. Ironisnya, tidak jarang terjadi justru terkadang kelompok minoritas yang me­nyatakan kelompok mayoritas atau mainstream yang sesat. Kelompok pemurni ajaran (puritan­isme) seringkali mengklaim diri paling benar dan mereka merasa perlu membersihkan aja­ran agama dari berbagai khurafat dan bid'ah. Namun kelompok mayoritas yang diobok-obok seringkali di antaranya tidak menerima seran­gan pembid’ahan itu karena merasa dirinya berdasar dari sumber ajaran dan dipandu oleh ulama besar. Akibatnya kelompok mayoritas melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas. Sebaliknya kelompok minoritas sela­lu mengusik kelompok mayoritas. Kasus seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara yang didominasi satu kelom­pok agama atau etnik mayoritas.

Penyerangan aliran yang dianggap kelompok "sesat" oleh majlis ulama seringkali menjadi tar­get. Di antara berbagai golongan saling meng­kafirkan dan saling usir-mengusir dan bahkan bunuh-bunuhan lantaran dipicu penafsiran sumber ajaran agama. Tentu saja kenyataan ini sangat disesalkan karena mereka sama-sama berpegang kepada kitab suci yang sama tetapi mereka saling bermusuhan satu sama lain.

Indonesia yang menghayati motto: Bhinneka Tunggal Ika seharusnya konflik horizontal tidak perlu terjadi. Meskipun suku, etnik, agama den­gan berbagai aliran dan mazhabnya berbeda-beda namun persamaan historis sebagai satu bangsa yang pernah mengalami pahit getirnya perjuangan melawan penjajah membuat perbe­daan-perbedaan tersebut ibarat sebuah lukisan yang berwarna-warni membuat lukisan itu men­jadi lebih indah. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA