Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sebanyak Rp 273 triliun dana dari pusat unÂtuk daerah masih mengendap di bank per Juni 2015. Pejabat negara masih ragu-ragu dalam mengambil kebijakan karena takut dijerat hukum.
Padahal, jika daya serap angÂgaran belanja pemerintah optiÂmal, otomatis akan ada
multiÂplier effect, seperti perputaran uang di tengah masyarakat dan menyegarkan kembali ekonomi nasional yang tengah lesu.
Bagaimana upaya pemerintah pusat meyakinkan pemerintah daerah agar bisa mempercepat daya serap anggarannya? Apakah pejabat negara akan diberi karpet merah berupa perlindunÂgan hukum? Simak wawancara
Rakyat Merdeka dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly berikut ini:
Kenapa pemerintah daerah takut menggunakan anggaran?Karena khawatir dipidana. Padahal belum tentu kesengajaan untuk niat jahat mengambil uang.
Berarti pertemuan itu memÂberikan perlindungan?Bukan memberi perlindungan untuk menggunakan anggaran. Tapi menjelaskan SOP (
Standard Operating Procedure)
Bukankah para penegak huÂkum memang perlu menindak para pelaku korupsi?
Betul. Pencolong itu tetap perlu ditindak. Kalau ada niat jahat mengambil uang negara, itu harus ditindak.
Apa tujuan pertemuan itu?Untuk menyamakan persepÂsi, apalagi saat ini serapan angÂgaran masih sangat rendah. Padahal kita ingin mem-push perÂtumbuhan ekonomi. Kalau ini cepat bergerak akan menolong
multiplier effect pertumbuhan ekonomi.
Persamaan persepsi itu daÂlam hal apa?Pelaksanaan hukum, melihat kesalahan administrasi itu seperti apa. Pelanggaran hukum itu seperti apa. Nanti penyimpangan terhadap Kepmen (Keputusan Menteri) saja yang sebetulnya administratif bisa dianggap kerugian negara.
Padahal tidak ada niat jahat, bisa saja kelalaian yang tidak dimaksudkan. Tidak disengaja. Tapi kadang-kadang disamaraÂtakan.
Apa sekarang sudah satu persepsi?Ya, kan Presiden sudah bilang samakan persepsi soal itu, suÂpaya anggaran ini bisa terserap segera.
O ya, pasal penghinaan presiden bagaimana kelanjuÂtannya?Itu terus. Tetap.
Bukankah itu dapat membungkam daya kritis masyarakat?Kita sudah pikirkan menÂgakomodasi kritikan. Harus dibedakan dong, mengkritik presiden dan menghina martabat harkatnya.
Bedanya di mana, bukankah itu hanya masalah persepsi saja?Menkumham itu brengsek, tidak tahu membuat keputusan, malas kerja, ini kritikan.
Kalau menghina?Kalau dibilang menteri itu anak haramjadah. Wah, pas ngÂgak, gitu kan. Harus dibedakan antara kritik dalam jabatan itu dengan mendegradasi harkat dan martabatnya.
Bagaimana kompromi denÂgan DPR supaya dapat mengÂgolkan pasal tersebut, apalagi pasal itu sudah pernah dihaÂpus MK?Barangkali nanti kalau kita baÂhas dengan DPR, komprominya itu sifatnya menjadi delik aduan. Mungkin begitu. ***
BERITA TERKAIT: