MENGENAL ISLAM NUSANTARA (2)

Toleransi Dengan Nilai-nilai Lokal

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 06 Agustus 2015, 09:20 WIB
Toleransi Dengan Nilai-nilai Lokal
nasaruddin umar/net
ISLAM memiliki Ajaran Dasar dan Non-Dasar. Aja­ran Dasar bersifat absolut, universal, dan eternal, sep­erti Rukun Iman dan Rukun Islam. Sedangkan Ajaran Non-Dasar besifat fleksibel, kontemporer, dan umum­nya berbicara tentang hal-hal yang bersifat cabang (furu'iyyah). Wacana Islam Nusantara berada di dalam ranah Aja­ran Non-Dasar. Selama Islam Nusantara masih tetap di dalam wacana Ajaran Non-Dasar maka tidak perlu dikhawatirkan akan adanya keranc­uan ajaran, karena Islam sebagai agama akh­ir zaman selalu membuka diri untuk menerima dan diterima oleh nilai-nilai lokal, sepanjang masih sejalan atau tidak bertentangan dengan Ajaran Dasarnya.

Islam sebagai agama terbuka memiliki pola dialektik dengan lingkungan garapannya, memi­liki batas toleransi dan kekuatan adaptasi yang memungkinkan dirinya diterima setiap orang dan kultur lokal, sungguhpun orang dan kul­tur itu samasekali asing dengan dirinya sendiri sebagai agama yang pertama kali diturunkan di dalam masyarakat Arab. Keunikan yang dimiliki Islam, sebagaimana umumnya agama-agama lain, sering berhadapan dengan masalah kon­tekstual dan kontemporer rumit.

Namun perlu dicatat bahwa meskipun Islam memiliki kekuatan toleransi dan adaptasi ter­hadap nilai-nilai kearifan local, tetapi tegak di atas prinsip Ajaran Dasarnya. Kearifan lokal yang tidak sejalan atau bertentangan dengan Ajaran Dasarnya dengan tegas Islam meno­laknya. Islam mengenal dan memperjuangkan toleransi, tetapi Islam juga memiliki konsep bid'ah, yaitu sebuah kriteria yang dapat dijadi­kan ukuran untuk menentukan ajaran mana yang perlu ditolak dan yang dapat diterima. Aja­ran yang menyimpang dari prinsip ajaran atau Ajaran Dasar maka itulah disebut bid’ah.

Memang tidak mudah dan sekaligus memer­lukan waktu untuk menciptakan harmonisasi antara ajaran dan kearifan lokal. Seperti halnya dengan agama-agama lain, persoalan yang ser­ing muncul ialah mestikah keharmonisan diper­tahankan sekalipun ditegakkan di atas landasan yang batil? Atau mestikah harmonisasi itu dikor­bankan demi menegakkan ajaran yang haq? Di sinilah seninya mengembangkan ajaran agama di atas nilai-nilai lokal yang sudah mapan. Satu sisi kita harus mengembangkan ajaran agama secara utuh (kafah) tetapi di sisi lain harus tetap melestarikan kearifan lokal. Di sinilah salahsatu fungsi negara bagaimana menjembatani kete­gangan konseptual yang berhadap-hadapan satu sama lain di dalam Negara.

Islam Nusantara, sekali lagi ditegaskan, tidak bermaksud menaiki level Ajaran Dasar, apala­gi menggesernya, karena kalau hal itu terjadi maka persoalan sinkretisme dan khurafat akan muncul, padahal keduanya ditolak oleh Ajaran Dasar Islam. Islam Nusantara selalu bermain di dalam ranah level bawah, di dalam wilayah Aja­ran Non Dasar. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA