Nabi sangat mencela orang yang suka menghakimi orang lain. Suatu ketika perang usai, tiba-tiba menyelinap seorang musuh mau memasuki wilayah kekuasaan prajurit muslim. Usama ibn Zaid ibn Haritsah yang dikenal PanÂglima Angkatan Perang Nabi yang yang mudah usia memergoki dan mengejarnya. Musuh itu terjebak disebuah tebing, sehingga tidak ada lagi jalan keluar. Mundur ada tebing dan di sampingnya ada jurang. Tiba-tiba saja musuh itu memekikkan dua kalimat syahadat di depan Usamah. Kita tidak tahu apa maksud musuh bebuyutan ini bersyahadat. Usama ibn Zaid menafsirkan syahadat musuh ini hanya untuk mengeco pasukan muslim agar tidak membunuhnya. Usama kemudian menghunus pedangnya dan membunuh orang itu.
Seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa ini melaporkan kepada Nabi bahwa Usama, sang Panglima Angkatan Perang, membunuh orang yang sudah bersyahadat. Menanggai laporan itu Nabi marah sekali hingga terlihat urat di dahinya melintang. Usamah dipanggil Nabi lalu ditanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyaÂhadat? Usamah menjawab hanya sebagai takÂtik, ia membawa senjata dan sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan. Ia dibunuh karena diÂduga syahadatnya palsu. Mendengarkan secara saksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah bersyahadap, maka Nabi mengeluarÂkan pendapat: Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak, dan Allah Swt yang menghuÂkum apa yang tersimpan di hati).
Sikap Nabi ini menunjukkan betapa tidak bolehnya memvonnis keyakinan dan keperÂcayaan orang lain. Jika orang secara formal mempersaksikan syahadatnya secara terbuka maka kita tidak boleh lagi mengusiknya. Soal ada pelanggaran lain, nanti saja proses hokum formal yang akan menyelesaikannya. Usamah pun saat itu memuhon ampun kepada RasulÂlullah akan peristiwa itu dan Usama berjanÂji akan hati-hati jika menemui peristiwa yang sama terjadi di kemudian hari. Jika orang lain diieksekusi maka sesungguhnya yang turut korÂban ialah family terdekat orang itu. Bahkan keÂluarga yang bersangkutan bisa mengurung diri berbulan-bulan lantaran tidak tahan menangÂgung rasa malu. Semua orang harus hati-hati agar jangan begitu gampang memvonnis seseÂorang sebagai kafir, musyrik, ahlul id'ah, karena boleh saja vonnis itu memantul diri sendiri. ***